Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Refleksi Hukum 2024, LBH Pelita Umat: Gejala Autokritik Legalisme Difasilitasi Negara

Kamis, 02 Januari 2025 | 23:52 WIB Last Updated 2025-01-03T02:35:51Z


TintaSiyasi.id— Menyorot kondisi hukum sepanjang 2024, LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. angkat bicara. "Gejala autokritik legalisme ini difasilitasi (negara) dan terdapat ruang untuk melakukan itu," tuturnya dalam Spesial Fokus UIY: Refleksi Akhir Tahun 2024 dan Masa Depan Umat Islam, Selasa (31-12-2024) di YouTube UIY Official.

Ia melihat, ada gejala autokritik legalisme, yaitu penguasa itu seolah-olah sesuai dengan hukum, padahal hukum itu sudah diakali terlebih dahulu dan sudah melanggar prinsip hukum itu sendiri. "Jika ada hal yang tidak sesuai, maka dia ubah supaya keinginan hukum itu," 

Menurutnya, gejala autokritik legalisme, sebenarnya sudah banyak yang mengeluarkan riset. Katanya, ada beberapa indikator yang menunjukkan gejala ini. Pertama, ruang kebebasan sipil yakni kebebasan berpendapat, ekspresi, kemudian kebebasan untuk berkumpul dan berserikat yang makin sempit. 

"Kita banyak laporan, banyak kejadian dibubarkan, dipersekusi, sehingga dengan tuduhan tertentu, seolah-olah menjadi legal untuk mempersekusi, padahal tuduhan itu tidak benar. Parahnya, aparat penegak hukum masuk ke dalam narasi itu. Mestinya dia sebagai wasit yang menengahi," tegasnya. 

Ia mengungkapkan, awal 2024, pengadilan Jakarta Timur memberikan putusan kepada Haris Azhar yang tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang dituduhkan. "Haris menyampaikan kritik, terkait kebijakan pemerintah, kemudian dikriminalisasi dengan pencemaran nama baik," tuturnya. 

Menurutnya, ada yang menarik dari putusan majelis hukum itu terkait kutipan dari Romawi yang menjadi inspirasi undang-undang di berbagai negara. "Cogitationis poenam nemo patitur adalah ungkapan dalam Romawi yang artinya tidak ada seorang pun dapat dikriminalkan atas apa yang dipikirkannya. Ruang kebebasan sipil, terancam dalam pemerintahan Jokowi, semoga nanti dalam pemerintahan Prabowo kebebasan sipil tidak makin kecil," harapnya. 

Kedua, terjadi kooptasi terhadap partai. "Jadi prinsip hukum adanya legislatif, yudikatif, dan eksekutif itu tidak berjalan. Mengapa? Karena terjadinya koalisi, ini paradoks dari konsep John Locke yang trias politika itu," ungkapnya.

Hal itu, paparnya, bisa tampak dalam koalisi gemuk dan begitu kuat seperti Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. "Gejala itu tampak pada putusan MK nomor 70 tahun 2024. Bayangkan dalam hitungan jam, DPR dapat melakukan mengeluarkan revisi UU yang seharusnya masuk dalam prolegnas, ternyata tidak," pungkasnya.[] Ika Mawar

Opini

×
Berita Terbaru Update