TintaSiyasi.id -- Menyoroti kondisi perempuan, keluarga, dan generasi di sepanjang tahun 2024, Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rochmah menilai, kondisinya makin menjauh dari syariat Islam.
"Kalau kita bicara sudut pandang kita sebagai Muslim, keterkaitan terhadap syariat Islam, kita temukan bahwa di 2024 ini kondisi perempuan, keluarga, maupun generasi muda kita, anak-anak kita, ternyata makin jauh, makin banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Islam," ungkapnya dalam Fokus UIY: Refleksi Akhir Tahun 2024 dan Masa Depan Umat Islam di kanal YouTube UIY Official, Selasa (31/12/2024).
Ia mengungkapkan kondisi pergaulan generasi muda dan anak-anak hari ini makin didominasi oleh pemikiran liberal (liberalisme). Tidak didapati perkembangan positif pada perbaikan kondisi kaum perempuan, keluarga, maupun generasi dari sisi kesesuaiannya dengan nilai-nilai syariat Islam. Ia mencontohkan, dalam hal lifestyle (gaya hidup), misalnya, childfree menjadi pilihan gaya hidup, bahkan belakangan makin populer disampaikan oleh wanita yang justru berkerudung.
Di samping itu, lanjutnya, nilai-nilai Islam dalam kehidupan keluarga juga makin menipis. "Kalau kita bicara tentang bagaimana keterikatan terhadap nilai-nilai Islam dalam kehidupan berkeluarga, itu juga semakin menipis, semakin rendah," imbuhnya.
Dari segi ekonomi pun menurutnya demikian. Kemiskinan makin berat dirasakan oleh kaum perempuan. Dampaknya, kata Iffah, perempuan akhirnya terseret lebih jauh pada dunia kerja yang eksploitatif, sementara pemerintah atau sistem hari tidak memberi dukungan penuh untuk melindungi perempuan di tempat kerjanya, bahkan mendorong perempuan untuk bekerja di tempat yang sangat jauh ribuan kilometer dari keluarganya, seperti menjadi pekerja migran.
Hal ini menurutnya berawal dari visi negara dalam melihat perempuan. Yakni, perempuan hari ini senantiasa dilekatkan pada jumlahnya yang sangat besar yang dipandang bisa berkontribusi bagi pembangunan bangsa secara ekonomi, sehingga kebijakan-kebijakan terkait perempuan maupun generasi, senantiasa dinamakan pemberdayaan atau perlindungan, padahal untuk mengoptimalkan peran ekonomi.
"Rancangan pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), misalnya, itu seolah-olah perhatian terhadap ruang keluarga, yang dibahasakan ada empowerment pemberdayaan dan ada perlindungan. Tetapi kita bisa saksikan bahwa apa yang dimaksud dengan pemberdayaan dan perlindungan itu hanya bermakna pemberdayaan ekonomi. Dan perlindungan pun, perlindungan yang diarahkan untuk mengoptimalkan peran ekonomi perempuan," sesalnya.
Ia menilai, visi tersebut tidak sejalan dengan syariat yang menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus senantiasa mendapatkan perlindungan . Dalam hal ini, imbuhnya, syariat menetapkan bahwa peran utama perempuan dalam masyarakat atau sebuah bangsa adalah sebagai ibu dan rabbatul baiti (sebagai pengatur rumah tangga).
"Dalam kacamata Islam, perempuan bagi sebuah bangsa, bagi sebuah negara mestinya adalah kehormatan yang senantiasa harus mendapatkan perlindungan karena, Allah Ta'ala memang menetapkan demikian," tegasnya.
Karena itu, menurutnya, fakta-fakta buruk yang dari waktu ke waktu makin menyengsarakan perempuan dan generasi saat ini merupakan fenomena yang terjadi secara sistemis karena rezim yang mengarahkan negeri menjauh dari syariat.
"Ini bukan fenomena yang terjadi secara natural, secara alamiah karena perkembangan teknologi dan seterusnya, tapi kita juga melihat bahwa secara sistemis rezim berkuasa itu memang semakin mengarahkan negeri ini, termasuk akhirnya ya semakin besar pengaruhnya pada keluarga dan identitas diri kaum perempuan, kaum muslimin, untuk semakin jauh dari syariat," pungkasnya.[] Saptaningtyas