TintaSiyasi.id -- Merefleksi kembali tahun 2024, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat mengungkapkan sepanjang tahun 2024 menemukan gejala-gejala autocratic legalisme (fenomena hukum digunakan untuk memperkuat kekuasaan) yang sangat mengkhawatirkan. Hal itu diungkapkan ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan dalam keterangannya yang diterima TintaSiyasi.Id, Ahad (5/1/2025).
Ia mengungkapkan fenomena autocratic legalism telah menjadi persoalan serius yang mengancam iklim kebebasan sipil. Pertanda munculnya fenomena ini pun telah ada di Indonesia sehingga tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Autocratic legalism kata Chandra, sebenarnya berawal dari sikap otokrasi yang dalam menjalankan agendanya, menggunakan hukum untuk melegitimasi perbuatannya. Secara umum, istilah ini merujuk pada orang-orang yang memegang kekuasaan di eksekutif dan legislatif. Beberapa kasus ada juga yang bekerja di ranah yudikatif memanfaatkan daulat rakyat untuk memilih efek buruk atau hal yang meninggalkan prinsip-prinsip konstitusionalisme, melalui cara-cara tersembunyi dan bertindak atau berlindung di balik (atas nama) hukum.
"Hadirnya seorang autocratic legalist. Dia berjalan sesuai hukum (seolah benar), tetapi sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme. Tujuannya adalah untuk memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik," ujarnya.
Indikator
Chandra mengungkapkan, indikator autocratic legalisme setidaknya ada dua hal. Pertama, pelemahan masyarakat sipil atas kebebasan menyampaikan pendapat dan berkumpul. Mengutip paparan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Atnike Nova Sigiro saat menjadi pembicara Diskusi dan Peluncuran Laporan Studi Kerangka Hukum Pelindungan Civic Space di Indonesia: “Melindungi Ruang, Menjaga Harapan” yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), menyatakan “Ancaman dalam konteks ekspresi politik, diskusi ilmiah, karya jurnalistik, pendapat di muka umum, dan kesaksian di pengadilan".
Kondisi ini, dinilainya, membawa kekhawatiran di tengah masyarakat. Berdasarkan survei terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh Komnas HAM bersama dengan Litbang Kompas di 34 provinsi di Indonesia pada 2020, terlihat kekhawatiran masyarakat ketika berpartisipasi di ruang publik.
Kedua, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen. Salah satu substansi pokok reformasi konstitusi adalah merumuskan peran dan fungsi masing-masing cabang pemerintahan sedemikian rupa. Sehingga masing-masing dapat saling mengawasi dan mengimbangi demi terhindarnya dominasi kekuasaan satu cabang atas cabang-cabang pemerintahan lainnya. Koalisi pemerintahan terkadang membuat fungsi pengawasan dan koreksi “check and balance” menjadi tidak optimal atau bahkan mandul.
Dalam demokrasi terdapat sistem ketatanegaraan yang dikenal Konsep Trias Politica yang digagas oleh John Locke dalam sistem ketatanegaraan yang kemudian dikembangkan Montesquieu, dengan membagi 3 (tiga) kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif konsep ini bertujuan "chek and balance".
"Tampaknya teori tersebut tidak berjalan mengingat terdapat adanya koalisi, koalisi membuat anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) tidak dapat secara independen untuk vokal menyuarakan aspirasi rakyat dikarenakan anggota DPR berada didalam kewenangan partai. Apabila partai menganggap anggota DPR tersebut tidak sejalan dengan partai, maka dapat di re-call," ungkapnya," paparnya.
Koalisi yang gemuk semisal Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, kata Chandra berpotensi proses check and balance antara eksekutif dan legislatif tidak terjadi, tidak berfungsinya parlemen sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif.
Bila koalisi besar terjadi maka akan membuat sistem executive heavy (sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada lembaga eksekutif, khususnya presiden). Executive heavy inilah membuat apa yang dimaui oleh pemerintah akan diiyakan oleh parlemen.[] Rasman