TintaSiyasi.id -- Lima belas bulan lebih sejak badai Al Aqsa, 7 Oktober 2023, Bumi Palestina masih membara; rakyatnya masih menderita. Israel kembali menyerang Gaza, menewaskan 200 warganya dalam tiga hari. Mayoritas korban kebiadaban Zionis adalah wanita dan anak-anak, rakyat sipil. Korban syahid di Gaza sejak perang dimulai pada Oktober 2023 mencapai 45 ribu jiwa, sementara 108 ribu orang lainnya terluka (m.kumparan.co, 5/01/2025).
Melihat kebrutalan Zionis, negara-negara yang selama ini meneriakkan hak asasi manusia hanya sebatas mengecam. Ironisnya, penguasa di Timur Tengah yang memiliki pasukan, uang, dan persenjataan hanya berpangku tangan melihat saudara seakidah digenosida. Solusi yang ditawarkan adalah duduk bersama di meja perundingan, membagi wilayah tersebut menjadi dua negara. Mediatornya adalah Qatar, Mesir, dan AS. Akankah solusi ini mengakhiri derita rakyat Palestina?
Racun Mematikan Nasionalisme
Derita rakyat Palestina bukan hanya setahun terakhir, namun sejak Zionis laknatullah bercokol mendirikan negara Israel sejak 1948. Ironisnya, hampir dua miliar kaum Muslim tidak mampu melawan Israel yang jumlah penduduknya kurang dari 10 juta.
Jumlah yang banyak namun terkotak-kotak ke dalam nation-state dengan garis imajiner yang diciptakan Barat untuk melemahkan umat Islam. Barat memasukkan paham nasionalisme serta mengaburkan bahwa isme tersebut bukan berasal dari Islam. Seperti hubbul wathan minal iman ("Cinta tanah air sebagian dari iman"). Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syafiq Mughni, slogan tersebut berasal dari misionaris Kristen, Butrus al-Bustani, yang sangat terkenal di dunia Arab, bukan dari teks Al-Qur’an atau hadis Nabi SAW.
Masing-masing negara memiliki bendera berbeda, simbol ashabiyah nasionalisme yang dijunjung tinggi, tanpa menyadari bahwa nasionalisme adalah racun Barat yang mematikan dan dimasukkan ke tengah-tengah kaum Muslim. Ikatan yang sifatnya lemah dan temporer ini telah menggantikan ikatan akidah warisan Baginda Rasulullah SAW.
Ikatan akidah adalah ikatan sahih yang menyatukan umat Islam dalam satu komando kepemimpinan, seorang khalifah yang dibaiat untuk melindungi darah dan nyawa kaum Muslim serta melindungi setiap jengkal tanah mereka. Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
"Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaq ’alaih).
Sejarah mencatat bagaimana ketegasan Sultan Abdul Hamid II. Sang Khalifah selalu menolak tawaran tokoh Zionis internasional, Theodor Herzl, yang berambisi ingin menguasai Palestina. Sultan Abdul Hamid II dengan tegas berkata:
"Andai Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan suatu hari, maka mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Tetapi, bila aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.”
Dakwah Mengembalikan Junnah
Para imam yang mu’tabar sepakat bahwa khalifah merupakan fardhu kifayah, bahkan menjadi tajul furudh (mahkota kewajiban). Karena keberadaan khalifah akan menyebabkan banyak kewajiban dari Allah yang tertunaikan seperti qishash, rajam, potong tangan, dan sebagainya.
Ketika institusi ini belum terwujud, maka dakwah mengembalikannya hukumnya wajib, sesuai kaidah:
"Mā lā yatimmul wājib illā bihi fa huwa wājib" (Suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu ini hukumnya menjadi wajib).
Dakwah mengembalikan khilafah hukumnya wajib dan dilakukan secara berjamaah dalam kutlah dakwah, sebagaimana Nabi contohkan. Beliau membina para sahabat dalam kutlah dakwah. Dakwah Rasul SAW adalah dakwah pemikiran tanpa kekerasan.
Agar berhasil, maka kutlah dakwah harus mengikuti metode dakwah Nabi yang dibagi menjadi tiga tahapan, yakni pembinaan dan pengkaderan, interaksi dengan masyarakat, dan penerapan hukum oleh negara.
Tegaknya khilafah di atas manhaj kenabian adalah janji Allah dan bisyarah Rasulullah yang pasti terjadi. Apakah kita akan mengambil peran ikut berdakwah atau hanya menjadi penonton adalah pilihan. Setiap pilihan ada implikasi terhadap kehidupan di akhirat, surga atau neraka. Pilihan yang harus diambil selagi Allah masih memberi kesempatan sebelum nyawa sampai di kerongkongan.
Wallahu a’lam.
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi