TintaSiyasi.id -- Lagi-lagi, lembaga sekelas pendidikan tinggi kembali tercoreng. Bagaimana tidak, sekitar 233 lulusan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung terancam ijazahnya dibatalkan lewat Surat Keputusan Ketua Stikom Bandung Nomor 481/Skep-0/E/Stikom/XII/2024. Bahkan, para lulusan tersebut harus kembali kuliah setelah dinyatakan telah menerima ijazah.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: pertama, kampus menyertakan data nilai yang berbeda antara nilai yang tercatat di DIKTI dengan nilai yang terentri ke data siber kampus. Kedua, kurangnya jumlah SKS yang ditempuh mahasiswa, belum dilakukan uji plagiasi terhadap karya mahasiswa, serta belum mencantumkan Penomoran Ijazah Nasional (PIN) pada ijazah mahasiswa periode 2018–2023.
Kondisi ini menuai kritik dari salah satu akademisi, sebagaimana dilansir di tirto.id. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman sekaligus anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herdiansyah Hamzah, menjelaskan bahwa masalah ini merupakan kesalahan sistemik dan administratif yang dimiliki kampus atau lembaga dalam meluluskan mahasiswa yang sebenarnya belum memenuhi standar kelulusan. Dalam kasus ini, mahasiswa lagi-lagi menjadi korban.
Selain itu, pihak kampus dinilai kurang gigih dalam mengawal mahasiswa agar lulus secara profesional, baik dari sisi pemenuhan SKS maupun keaslian tugas akhir. Plagiasi yang masih lebih dari 40% menjadi persoalan serius. Hal ini akan berdampak buruk bagi kredibilitas mahasiswa dan kampus di masa depan, serta menimbulkan pertanyaan tentang kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.
Fenomena ini hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang mencerminkan lemahnya sistem pendidikan tinggi saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik jual-beli ijazah, gelar palsu, hingga jasa joki skripsi sering terjadi. Jika ditelusuri, akar masalahnya terletak pada sistem pendidikan yang salah arah. Pendidikan hanya berfokus mencetak tenaga kerja, baik akademik maupun non-akademik, dengan tujuan utama agar siap kerja dan menghasilkan keuntungan.
Padahal, kehadiran lulusan perguruan tinggi tidak sekadar untuk berpenghasilan atau mencari keuntungan, melainkan juga sebagai motor peradaban dan penggerak perubahan. Bagaimana nasib negeri ini jika diserahkan kepada generasi yang hanya memikirkan untung rugi dan menghalalkan segala cara? Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus diperbaiki.
Namun, tidak cukup menyalahkan sistem pendidikan jika sistem penopang negara secara menyeluruh juga berlandaskan pada sistem kapitalistik, materialistik, dan sekuler. Sistem ini tidak hanya mencetak generasi yang salah orientasi, tetapi juga menjalankan pendidikan tanpa landasan agama, sehingga menghasilkan individu yang sewenang-wenang.
Islam sebagai huda linnas (petunjuk bagi manusia) memandang pendidikan sebagai aspek krusial. Dalam Islam, pendidikan bertujuan agar setiap individu memahami kehidupan dan menjalankan segala aktivitasnya sesuai syariat. Ada dua prinsip utama dalam sistem pendidikan Islam:
1. Pendidikan harus terjamin dan dapat diakses secara cuma-cuma.
2. Pendidikan harus berlandaskan sistem negara yang berasaskan Islam.
Hanya sistem Islam yang mampu menghasilkan generasi dengan standar yang jelas, berdasarkan hukum halal dan haram sesuai syariat. Kualitas generasi ini tidak diragukan lagi karena acuannya bukan hanya materi, tetapi juga akhirat dan ridha Allah semata.
Generasi yang lahir dari sistem Islam memiliki kepekaan tinggi, tidak hanya pada ranah individu tetapi juga pada keadaan sekitar. Mereka selalu berupaya berkontribusi dalam kehidupan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT.
Oleh: Ainun Saifia
Aktivis Surabaya