Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Neuropsychology, Dampak Negatif Brain Rot

Rabu, 08 Januari 2025 | 15:07 WIB Last Updated 2025-01-08T08:19:02Z
Tintasiyasi.ID -- Rr. Finandita Utari, M.Psi., Psikolog, CTC, CGA menjelaskan bahwa salah satu dampak negatif dari brain rot adalah gangguan neuropsychology di sinaps otak.

“Dari dampak negatifnya itu sendiri ada gangguan neuropsychology yang terjadi di sinaps otak. Jika kita melatih dengan sesuatu tontonan receh, tontonan kurang bermutu, akhirnya otak kita akan belajar itu terus yang akan dia cari. Nah, sinaps ini lama-lama dia akan melemah,” paparnya dalam Brain Rot Mengintai Gen Z | Halo Indonesia di kanal YouTube DAAI Magazine, Jumat (13/12/2024).


Semakin tambah usia, lanjutnya, dari remaja kemudian masa SMP, SMA, dan kuliah seharusnya kognitifnya sudah berkembang, executive function-nya berkembang, artinya dia sudah bisa berpikir high order thinking skill, namun secara detail ini melemah karena sinapsnya tidak pernah dilatih dengan sesuatu yang baik.


Dampak lebih lanjut sampai mempengaruhi masa depannya, yang menyebabkan kemampuan berpikir tingkat tingginya melemah. Daya pikir kritis, imajinasinya, deep learning, dan kemampuan belajarnya menurun.


“Ini lebih dalamnya bisa berpengaruh ke masa depannya. Lama-lama kemampuan berpikir tingkat tingginya melemah, karena tidak pernah dilatih. Ketika dia masuk ranah kuliah atau pekerjaan, diajak diskusi secara kritis, mendalam, dan berpikir abstraknya kurang mampu. Ada kelemahan di sisi kognitifnya di mana tadi daya berpikir kritis, daya imajinasi, berpikir abstrak, deep learning-nya, juga kemampuan belajarnya menurun,” jelasnya.


Ia menambahkan, segi perilakunya juga terpengaruh, adanya mood swing. Kemudian dari sisi emosionalnya mudah marah, merasa terusik, kemudian terhadap sesuatu yang sifatnya sensitif itu mudah terganggu.


Mbak Fina, sapaannya, menyebutkan bahwa brain rot ini juga dapat menimbulkan rasa membandingkan diri sendiri dengan orang lain serta keinginan memperoleh validasi sosial dari lingkungan.


“Kemudian ketika dia melihat (tontonan di media sosial) timbullah rasa membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Sehingga dia merasa kalau tidak mendapat validasi sosial di lingkungan kayaknya enggak asik, nih. Seolah-olah harus mengikuti gaya seperti ini dan sebagainya,” pungkasnya.[] Sin

Opini

×
Berita Terbaru Update