Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Negara Lalai, Pendidikan Tinggi Kian Sempit dan Rumit

Sabtu, 18 Januari 2025 | 18:42 WIB Last Updated 2025-01-18T11:42:58Z

Tintasiyasi.id.com. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, kita menghadapi situasi yang memprihatinkan. Baru-baru ini, keputusan pemerintah untuk menghapus tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN menunjukkan betapa minimnya perhatian negara terhadap pendidikan dan para pendidik.

Kebijakan ini diambil dengan alasan perubahan nomenklatur dan ketiadaan anggaran, tetapi pada kenyataannya, ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnya terhadap pendidikan.

Dosen, sebagai ujung tombak pembentukan generasi penerus, seharusnya mendapatkan dukungan yang layak. Namun, banyak dari mereka yang kini menghadapi kesulitan finansial akibat penghapusan tunjangan ini. 

Situasi ini semakin diperparah dengan protes dari dosen yang telah mengirimkan karangan bunga sebagai bentuk ketidakpuasan mereka atas kebijakan yang merugikan. Ini bukan hanya tentang gaji, tetapi juga tentang penghargaan terhadap dedikasi dan pengabdian mereka dalam mendidik generasi bangsa.

Bagaimana halnya dengan dosen non-ASN dan dosen kampus swasta? Nasib mereka bahkan lebih membuat kita mengelus dada. Ada beberapa dosen kampus swasta yang bahkan tidak menerima tukin atau pun tunjangan lain sebagai wujud apresiasi instansi kepada mereka. 

Dan lagi-lagi alasannya sama, yaitu faktor kekurangan dana. Bagaimana kualitas pengajaran seandainya para pendidiknya masih terbebani dengan masalah finansial untuk bertahan hidup?
Pada awal tahun 2024, Tagar #JanganJadiDosen pernah menjadi topik yang banyak dibicarakan di platform X.

Netizen mendiskusikan mengenai profesi dosen, guru, dan honorer yang memiliki gaji rendah, bahkan di bawah UMR Jakarta. Selain itu, mereka juga menyoroti perundang-undangan yang dinilai merugikan profesi ini.

Akademisi Dr. Aminatun, Ir., M.Si., menyatakan bahwa penetapan gaji terkait erat dengan sistem demokrasi kapitalisme. Ia menjelaskan bahwa pada awal masa kerja, CPNS harus bertahan dengan menerima gaji 80% dari gaji pokok, dan baru mendapatkan gaji penuh setelah menjadi PNS. 

Tunjangan jabatan fungsional juga hanya diberikan setelah memenuhi persyaratan tertentu, termasuk publikasi ilmiah. Kenaikan gaji berkala dan pangkat golongan juga tergantung pada pencapaian kredit poin di Tridarma Perguruan Tinggi.

Merujuk pada UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Aminatun menjelaskan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan yang bertugas mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Dalam UU tersebut, dosen berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, ia mempertanyakan apakah jaminan kesejahteraan ini benar-benar terwujud. Gaji dosen PTN diatur oleh PP 15/2009, dengan gaji PNS ditentukan berdasarkan golongan. Golongan III untuk lulusan S2 hingga S3 berkisar antara Rp2.688.500 hingga Rp4.797.000, sementara golongan IV untuk lulusan S3 berkisar antara Rp3.044.300 hingga Rp5.901.200. 

Dosen PTN juga mendapatkan tunjangan fungsional, tetapi tunjangan ini sering kali tidak diperoleh selama tahun-tahun awal kerja. Aminatun mencatat bahwa tingginya biaya hidup untuk pangan, sandang, dan papan serta kurangnya jaminan negara untuk kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan semakin membuat kehidupan dosen terasa jauh dari sejahtera.

Kenaikan biaya pendidikan dan kesehatan menambah beban bagi dosen yang gajinya terbatas, menandakan bahwa kebijakan negara dalam sistem kapitalisme sering kali menghasilkan kesengsaraan, bukan kesejahteraan.

Di sisi lain, mahasiswa juga merasakan dampak dari kebijakan ini. Ketatnya syarat untuk menerima beasiswa KIP Kuliah 2025 mengakibatkan banyak mahasiswa yang benar-benar membutuhkan bantuan terpaksa terpinggirkan. Pendidikan seharusnya menjadi hak bagi semua, tetapi kenyataannya, akses pendidikan yang layak semakin sulit bagi mereka yang tidak mampu.

Dalam sistem kapitalisme yang dominan saat ini, beban hidup semakin berat, dan negara tampak enggan untuk berperan aktif dalam mengatasi masalah ini. Pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas, malah diabaikan.

Di sinilah pentingnya memahami peran pendidik dalam konteks yang lebih luas. Dalam perspektif Islam, pendidik memiliki amanah besar untuk membentuk syakhsiyah Islam generasi. Seharusnya, negara memberikan jaminan kesejahteraan kepada pendidik agar mereka dapat fokus berkarya dan mengembangkan ilmu tanpa terbebani masalah finansial.

Aminatun dalam wawancaranya juga menggarisbawahi bahwa Islam memiliki pengaturan tersendiri dalam hal ini. Syariat Islam mendefinisikan pekerja, termasuk dosen, sebagai mereka yang bekerja dengan upah tertentu. 

Dosen PNS dianggap sebagai pegawai negara dan dapat dikenakan hukum-hukum ijarah (kontrak kerja). Dalam penentuan standar gaji, Islam menggunakan manfaat yang diberikan oleh pegawai, bukan biaya hidup terendah, sehingga menghindari eksploitasi tenaga kerja.

Aminatun menegaskan bahwa Islam menghargai pekerjaan dosen, mengingat pentingnya peran mereka dalam menghasilkan penemuan sains dan teknologi serta mendidik generasi masa depan. 

Pada masa kekhalifahan, gaji guru sangat tinggi, misalnya 15 dinar per bulan. Sistem Islam tidak hanya menawarkan gaji yang tinggi, tetapi juga menjamin pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang ditanggung oleh negara, mengurangi beban hidup dosen.

Ia menekankan pentingnya adanya sistem penggajian yang setimpal dengan kerja yang dilakukan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang dijamin negara, agar kesejahteraan dosen dapat tercapai secara maksimal.

Sejarah juga mencatat bahwa pada masa kekhilafahan, pendidikan tinggi berkembang pesat, dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi mirip dengan universitas. Dahulu, terdapat madrasah dan baitul hikmah yang berperan dalam pendidikan tinggi.

Khalifah Harun al-Rasyid, misalnya, dikenal memberikan gaji yang tinggi kepada para guru dan ilmuwan serta menyediakan fasilitas pendidikan yang baik. Dalam periode ini, lembaga pendidikan seperti Baitul Hikmah di Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, dengan pendidik dihargai setinggi-tingginya.

Mekanisme pendidikan tinggi saat itu mengutamakan pengajaran langsung dari guru kepada murid, dengan penekanan pada diskusi, debat, dan penelitian, menciptakan lingkungan akademis yang produktif.

Penghargaan ini bukan hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga dalam bentuk penghormatan sosial, yang menunjukkan betapa pentingnya peran mereka dalam masyarakat.

Perguruan tinggi memiliki peran penting sebagai tulang punggung peradaban, dari mana tercetak sumber daya manusia (SDM) penggerak negara. Jika negara abai terhadap kualitas apresiasi dosen, yang berimbas pada turunnya kualitas pendidikan tinggi, maka kita harus bersiap-siap menghadapi kehancuran negara tersebut. 

Kualitas pendidikan yang baik tidak hanya menciptakan individu yang berilmu, tetapi juga pemimpin dan inovator yang akan memajukan bangsa. Negara yang mengabaikan pendidikan dan pendidiknya akan kehilangan arah dan potensi untuk tumbuh.

Dalam Islam, negara seharusnya berperan sebagai raa'in, melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat sesuai dengan tuntunan syarak. Jika kita ingin membangun generasi penerus yang tangguh dan berkualitas, perhatian terhadap pendidik dan akses pendidikan yang adil harus menjadi prioritas. 

Sudah saatnya kita merefleksikan kembali kebijakan pendidikan yang ada dan memastikan bahwa setiap individu, baik pendidik maupun mahasiswa, mendapatkan hak dan dukungan yang seharusnya mereka terima.[]

Oleh: Prayudisti Shinta.P
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update