TintaSiyasi.id -- Bisnis perumahan telah mengambil peran penting dalam pertumbuhan ekonomi global dalam tiga dasawarsa terakhir. Sektor perumahan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan industri keuangan, perdagangan, dan jasa-jasa.
Nilai total properti dunia mencapai $379,7 triliun pada akhir tahun 2022. Meskipun nilai ini turun 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya, tren jangka panjang—peningkatan sebesar 18,7% selama tiga tahun terakhir—menunjukkan bahwa properti global tetap bertahan sebagai penyimpan kekayaan yang signifikan.
Real estate bernilai lebih besar dibandingkan gabungan pasar ekuitas dan obligasi global, serta hampir empat kali lipat PDB global. Jika dibandingkan, nilai seluruh emas yang pernah ditambang—sebesar $12,2 triliun—hanya sedikit di atas 3% dari nilai real estate global.
Lebih dari tiga perempat nilai real estate terikat pada properti residensial, yang bernilai $287,6 triliun pada akhir tahun 2022. Properti komersial menyumbang sekitar 13%, sementara lahan pertanian menyumbang 11%.
Namun, bisnis ini juga tidak lepas dari dinamika krisis. Bahkan, bisnis properti telah menjadi sumber guncangan besar dalam krisis ekonomi global yang melanda AS pada tahun 2008 serta China pada tahun 2014 dan 2024.
Meskipun demikian, harapan baru bagi pertumbuhan dan perkembangan sektor ini tetap besar karena perumahan adalah kebutuhan dasar manusia. Sejauh ini, China, AS, dan negara-negara Eropa masih mendominasi bisnis properti.
Pembangunan sektor perumahan adalah kebutuhan mendesak. Permintaan yang besar ini harus dapat dijawab oleh ekonomi modern. Bayangkan, hampir 1 miliar orang di seluruh dunia diperkirakan akan terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam lima tahun ke depan, menurut sebuah studi. Sebanyak 1 dari 5 orang takut kehilangan rumahnya, berdasarkan survei global mengenai persepsi hak kepemilikan.
Rumah untuk Rakyat, Mungkinkah?
Perdebatan awal tentang rencana pembangunan tiga juta rumah di Indonesia adalah apakah rumah tersebut akan dibangun oleh negara lalu dibagikan secara gratis kepada kelompok masyarakat termiskin dan mereka yang tidak memiliki rumah? Ataukah rumah akan dibangun negara bekerja sama dengan swasta lalu dijual kepada rakyat dengan harga murah? Atau menggunakan mekanisme pasar sepenuhnya tanpa intervensi negara dalam penyediaan maupun harga rumah? Pemerintah memiliki banyak opsi untuk mencapai tujuannya.
Perdebatan mengenai sistem pengembangan perumahan adalah masalah paling mendasar. Mengapa? Karena semua pilihan memiliki konsekuensi yang sama beratnya. Saat ini, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, perumahan bukan sekadar membangun rumah, tetapi telah berkembang menjadi bisnis besar yang mengambil porsi signifikan dalam pembangunan, terutama di sektor keuangan. Jika sektor properti di negara seperti China, AS, Inggris, atau Jepang bangkrut, maka sektor keuangan global akan mengalami dampak besar, seperti yang terjadi pada krisis global 2008–2010.
Bayangkan saja, nilai pasar sektor perumahan di dunia setara dengan empat kali PDB Indonesia atau setara dengan empat kali PDB salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Nilai pasar sektor properti saat ini mencapai $4,4 triliun atau sekitar 70 ribu triliun rupiah, yang setara dengan satu setengah kali nilai produksi minyak mentah global.
Pengadaan rumah secara gratis hampir mustahil dilakukan oleh negara. Penyediaan rumah gratis membutuhkan anggaran yang sangat besar. Dengan posisi APBN saat ini—yang dibebani oleh belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, subsidi energi, utang, dan bunga—serta APBN yang relatif stagnan dan tidak bertumbuh, pemerintah tidak akan sanggup membiayainya. Kecuali ada upaya luar biasa untuk meningkatkan penerimaan APBN. Namun, dalam situasi geopolitik saat ini, tampaknya sulit bagi pemerintah untuk memperoleh pendapatan besar.
Pembagian rumah gratis juga akan menciptakan efek diskriminasi yang luas serta menimbulkan dampak pada nilai aset properti lainnya. Konsekuensi ini tidak dapat dihindari akibat peningkatan suplai rumah dalam jumlah besar.
Begitu pula jika rumah dijual murah dengan intervensi pemerintah. Langkah ini akan berdampak pada kejatuhan harga properti, yang akan semakin menghantam industri properti setelah mengalami kemerosotan selama pandemi Covid-19. Penjualan rumah dengan harga murah yang ditentukan oleh pemerintah juga akan menambah beban APBN untuk subsidi kepada pengembang.
Jika menggunakan mekanisme pasar sepenuhnya, maka dapat dipastikan penyediaan tiga juta rumah tidak akan terjangkau oleh daya beli rakyat. Indonesia menghadapi masalah berat dalam sektor perumahan, seperti suku bunga yang tinggi serta berbagai pajak dan pungutan yang memberatkan dunia usaha.
Ada opsi lain, yakni pengadaan rumah untuk disewakan dengan harga murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, hal ini juga berisiko menurunkan harga sewa properti, yang dapat menyebabkan kebangkrutan bagi para pemilik aset perumahan. Banyak pihak yang akan terdampak akibat penurunan harga sewa properti.
Pada akhirnya, pemerintah hanya memiliki satu pilihan, yaitu membangun rumah untuk rakyat karena hal ini merupakan amanat UUD 1945, UU Perumahan Rakyat, serta UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bisakah Perumahan Bangkit?
Sejarah sektor perumahan menunjukkan dinamika yang luar biasa. Kejatuhan sektor keuangan AS pada 2008 dipicu oleh sektor properti. Gelembung finansial di sektor properti menyebabkan raksasa keuangan AS berjatuhan. Krisis ini membuat perekonomian global terguncang.
Di Indonesia, bayang-bayang property bubble mulai terasa sejak 2011–2014. Banyak pihak mengkhawatirkan situasi ini. Property bubble ditandai dengan kenaikan harga rumah yang tidak wajar, sementara permintaan melemah akibat rendahnya pendapatan dan daya beli masyarakat. Situasi ini diperparah oleh pandemi Covid-19, yang dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Gelembung properti juga menyebabkan kenaikan harga tanah yang signifikan. Spekulasi tanah semakin meluas, sehingga menyulitkan banyak orang untuk mendapatkan lahan, baik untuk usaha maupun proyek strategis nasional.
Gelembung properti merupakan anomali. Saat ini, di kota-kota besar banyak properti yang tidak terjual. Di Jakarta, misalnya, diperkirakan lebih dari 70% bangunan kosong, dan hampir setengah dari rumah yang dikembangkan tidak berpenghuni. Penyebab utama kondisi ini adalah harga rumah yang belum terjangkau oleh pendapatan masyarakat.
Di sisi lain, data BPS menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah. Hanya 65,25% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap hunian layak sesuai indikator pemerintah. Sementara itu, angka backlog perumahan pada tahun 2023 mencapai 9,9 juta.
Jadi, masalahnya adalah masyarakat membutuhkan rumah yang layak, tetapi tidak memiliki cukup uang untuk membelinya. Saat ini, di tengah pelemahan ekonomi yang juga dipicu oleh krisis di sektor perumahan, hanya pemerintah yang dapat mengambil alih dan memimpin pembangunan perumahan rakyat. Indonesia pernah memiliki sejarah sukses dalam bidang ini.
(Bersambung...)
Oleh: Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)