Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menakar Efektivitas Perda Berantas LGBT

Rabu, 15 Januari 2025 | 08:52 WIB Last Updated 2025-01-15T01:52:09Z

Tintasiyasi.id.com --  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sedang mengkaji rencana pembentukan Peraturan Daerah (Perda) untuk memberantas penyakit masyarakat terutama lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Ranah Minang.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumbar Nanda Satria menginformasikan jika saat ini terdapat daerah di Provinsi Sumbar yang sudah lebih dulu membuat Perda pemberantasan LGBT. Oleh karena itu, DPRD menilai pemerintah provinsi juga perlu melakukan hal serupa (Republika.co.id, 04/01/025).

Tentu saja niat untuk mengkaji Perda berantas LGBT adalah keinginan yang sangat baik dan patut diapresiasi. Ini menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab pemimpin dalam mengurus warganya serta menjaga agar tidak semakin meluas kerusakan yang terjadi akibat perbuatan LGBT, di tengah arus normalisasi aktivitas mereka. Diharapkan nantinya jika diterapkan, Perda ini akan mampu memberantas atau menghentikan penyakit masyarakat tersebut.

Apakah Perda ini Efektif?

Untuk menakar apakah Perda berantas LGBT mampu membasmi kasus tersebut sampai tuntas ke akarnya, kita perlu mendalami lagi beberapa poin berikut ini.

Pertama, belum ada upaya sungguh-sungguh dalam memberantas pemicu LGBT. Solusi Perda bertujuan mengatasi masalah di hilir saja. Lantas sumber masalahnya jika tidak diberantas, maka tetap saja pelaku LGBT tidak akan kapok. Penyebab LGBT di antaranya karena salah pergaulan. Ketika seseorang berteman dengan orang yang termasuk LGBT, ada kecenderungan dia akan ikut terbawa arus circle pertemanan dengan menjadi pelaku LGBT pula. 

Ada pula karena faktor pengalaman traumatis. Dikutip dari penelitian tahun 2014 yang dilakukan oleh Ahmad Zaharuddin dan kawan-kawan yang diterbitkan dalam International Journal of Innovation and Scientific Research, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pengalaman traumatis seperti kekerasan seksual dapat menjadi salah satu penyebab seseorang memiliki kecenderungan menjadi pelaku LGBT (detik.com, 12/04/23).

Faktor berikutnya bisa berasal dari pengaruh sosmed. Bisa kita lihat saat ini begitu mudah kita dapati konten-konten bernafaskan LGBT di banyak sosmed seperti tampilan laki-laki yang memakai makeup, berbusana dan bergaya seperti perempuan, transgender yang unjuk diri di publik, bahkan kehidupan mereka sebagai penyuka sesama jenis terblow up di akun-akun sosmed. Semua itu begitu mudah diakses oleh pengguna sosmed bahkan pengguna yang masih belia. Tentu ini akan membawa pengaruh dalam orientasi seks seseorang, apalagi yang melakukan termasuk public figure.

Jika ada upaya memberantas LGBT, seharusnya diikuti pula oleh upaya dalam menghilangkan pemicunya secara tuntas.

Kedua, banyak Perda Syariah yang dibuat daerah tapi terus menerus dipermasalahkan pihak pihak tertentu. Penanganan LGBT sendiri termasuk dalam Perda Syariah. 

Jauh sebelumnya, dua tokoh besar Indonesia pernah terang-terangan menolak Perda Syariah. Mereka adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) almarhum KH Hasyim Muzadi dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Maarif. 

Munculnya Perda Syariah membuat Hasyim berpikir ada berbagai kelompok yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara dan ada kekhawatiran membuat Indonesia pecah. 

Sedangkan Syafi'i mengatakan Perda Syariah Islam tidak perlu ada. Sebab, Indonesia telah memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (tempo.co, 19-11-18).

Untuk perda berantas LGBT sendiri juga pernah mengundang kritik dari aktivis HAM, Bivitri Susanti. Menurutnya, peraturan-peraturan daerah yang dibentuk tersebut melanggar konstitusi, karena akan mendiskriminasi kelompok tertentu di masyarakat.

Munculnya peraturan daerah yang membatasi aktivitas LGBT jelas melanggar UUD 1945, khususnya pasal 28D tentang Hak Asasi Manusia (Tirto.id, 07/12/18).

DPRD Kota Bandung juga pernah mewacanakan penyusunan rancangan Perda terkait pencegahan dan larangan LGBT. Wacana ini muncul setelah adanya aspirasi dari sekelompok masyarakat. 

Namun, wacana itu mendapat sejumlah penolakan. Beberapa di antaranya dari Jaringan Kerja Antarumat Beragama atau Jakatarub. Kelompok tersebut menilai aturan perda larangan dan pencegahan LGBT ini diskriminatif, kata Koordinator Jakatarub Arfi kepada media (Tempo.com 3/2/23).

Itulah beberapa pihak yang pernah menyatakan keberatannya terhadap perda berantas LGBT. Terlihat sekali dalam sistem demokrasi sekuler, bukan Islam yang menjadi acuan, tetapi HAM. 

Ketiga, pelaksanaan perda yang sifatnya terbatas. Perda hanya akan berlalu pada daerah yang menetapkan aturan tersebut. Artinya di wilayah tanpa aturan berantas LGBT, aktivitas mereka akan terus eksis. Padahal seharusnya yang diinginkan adalah penyelesaian secara tuntas, tidak hanya setengah -setengah bergantung daerahnya.

Wajar jika aturan diserahkan kepada otonomi daerah maka kebijakan juga mengikuti kondisi daerah. Wilayah yang menerapkan larangan saja mungkin masih kesulitan memberantas LGBT sampai akarnya, bayangkan yang tidak ada aturan sama sekali.

Keempat, LGBT adalah buah dari sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Sekularisme yaitu suatu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Artinya dalam menjalani kehidupan dan beraktivitas tidak ada standar nilai-nilai agama yang membatasi. 

Semua ditentukan berdasarkan keinginan dan kebebasan manusia berdasarkan suka dan tidak suka atau untung rugi. Dari sini lahirlah HAM yang membuat manusia bebas menentukan kehendaknya sendiri termasuk dalam menentukan orientasi seksualnya. 

Bisa dibayangkan, jika manusia sebagai makhluk yang lemah dan terbatas, dibiarkan bebas dalam menentukan pilihan hidup sementara yang dikedepankan pastilah hawa nafsu, pasti akan muncul kemudaratan yang lainnya. 

Walaupun pelaku LGBT selalu mengeklaim bahwa tidak merugikan orang lain dalam pilihan orientasi seksnya, namun faktanya, perbuatan mereka terbukti banyak memberikan imbas negatif kepada yg lain. Misalnya orang yang normal bisa tertular menjadi LGBT, penyebaran PMS, kriminalitas yang dipicu kecemburuan sesama jenis, sampai dengan terputusnya kelahiran manusia.

Sistem sekularisme seperti inilah yang menumbuh suburkan kemaksiatan ini. Selama sekularisme masih diadopsi sebagai prinsip dalam kehidupan, tidak akan pernah musnah pelaku LGBT.

Dengan menakar keempat poin tersebut dapat disimpulkan bahwa perda tidak akan efektif mengatasi secara tuntas. Mungkin memberikan efek, tapi tidak akan signifikan sebab penyebabnya tidak di basmi, hanya berlaku pada daerah yang menerapkan aturan larangan LGBT dan tidak ada support yg kuat untuk pelaksanaan syariat Islam.

Semua jelas karena sekularisme yang tidak akan pernah menempatkan aturan agama sebagai ukuran dalam melaksanakan aktivitas. 

Islam Efektif Berantas LGBT

LGBT hanya akan dapat diberantas dengan tuntas ketika Islam diterapkan secara kaffah. Bagaimana aturan Islam akan memberantas LGBT sampai tuntas?

Pertama, Negara melakukan pembinaan kepada warganya dengan pemahaman Islam agar terbentuk masyarakat yang pola sikap dan pola pikirnya islami. Sehingga dalam beraktivitas akan menggunakan standar aturan Islam. Upaya pembinaan ini dilakukan pada level individu dan masyarakat, serta dimasukkan juga ke dalam kurikulum sistem pendidikan Islam.

Kedua, Negara menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan beserta
orientasi seksualnya. Semua diatur dalam standar syariat Islam.

Ketiga, Negara akan menutup rapat setiap celah yang akan membuka peluang terjadinya aktivitas LGBT. Hal ini dilakukan dengan cara membasmi penyebab LGBT dan melakukan filter konten-konten di media sosial agar konten yang merusak aqidah dan fitrah tidak bebas berseliweran. Tidak hanya sampai di situ, tetapi juga menutup rapat celah dari pelanggaran-pelanggaran hukum syarak yang lain.

Keempat, Negara menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan atas pelanggaran hukum syarak termasuk dalam penyimpangan orientasi seksual. Selama ini, dalam era sekularisme kapitalisme, pelaku LGBT bebas melanggeng tanpa beban karena tidak ada mekanisme sanksi memberatkan dan menjerakan bagi mereka. Namun hal itu dipastikan tidak akan pernah terjadi dalam negara yang menerapkan sistem
sanksi Islam. 

Islam memandang LGBT sebagai kejahatan atau tindak pidana (al-jarīmah/criminal) dan wajib dihukum dengan sanksi pidana syariah yang tegas. LGBT disebut kejahatan atau kriminal, karena hukumnya haram dalam Islam.

Inilah segenap upaya yang akan dilakukan oleh negara yang menerapkan aturan Islam dalam memberantas LGBT. Semua dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam menjaga masyarakat tetap dalam koridor ketaatan, mencegah maksiat, dan menciptakan kehidupan yang tenang, harmonis dan berkah. 

Dengan langkah-langkah ini dipastikan akan efektif dalam memberantas LGBT dan penyakit masyarakat lainnya secara paripurna. Tentunya semua ini hanya bisa dilaksanakan dalam negara yang menerapkan aturan Islam dalam konstitusinya. Negara itu adalah Daulah al-Khilafah Islamiyyah ala Minhajin Nubuwwah. Wallahua'lam bishshowwab.[]

Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
(Aktivis Muslimah)
 

Opini

×
Berita Terbaru Update