TintaSiyasi.id -- Di penghujung tahun 2024, masyarakat Indonesia diramaikan dengan pemberitaan penetapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan PPN menjadi 12% telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah menegaskan bahwa pemberlakuan kenaikan pajak tersebut merupakan amanah undang-undang yang harus dilaksanakan. Selain itu, kenaikan PPN 12% juga diberlakukan sebagai langkah penting untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka menyukseskan program kerja dan kebijakan pembangunan negara.
Pemberlakuan kenaikan pajak ini menuai berbagai respons, baik dari masyarakat awam hingga para ahli. Salah seorang pengamat ekonomi, Ustadzah Nida Saadah, SE., MEI., Ak., menyampaikan bahwa kenaikan PPN 12% ini memberikan dampak negatif yang sangat besar kepada masyarakat, di tengah kondisi badai PHK dan keterpurukan ekonomi Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: terlepas dari keputusan terbaru tentang pengalihan PPN 12% menjadi PPnBM 12%, haruskah pembangunan negeri dibiayai dengan menggunakan pajak yang dipungut dari rakyat?
APBN Kapitalisme
Sistem kapitalisme yang telah diadopsi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki sistem perekonomian yang khas. Salah satunya adalah penerapan APBN. Dalam APBN kapitalisme, pajak menjadi sumber pendapatan negara yang pertama dan utama sebagai penopang pembangunan negara. Bahkan di Indonesia, lebih dari 80% target pendapatan negara berasal dari pajak. Pendapatan pajak ini setiap tahunnya mengalami kenaikan, dari tahun 2020 sebesar 1.400 triliun rupiah hingga terakhir pada 2024 mencapai 2.300 triliun rupiah. Hal ini selaras dengan kenaikan tarif pungutan yang dibebankan kepada masyarakat setiap tahunnya. Bahkan, kebijakan pungutan baru seperti Tapera, PPh, dan lain sebagainya telah menghiasi lima tahun terakhir.
Anggaran belanja negara yang sangat besar sering kali tidak diperhitungkan secara serius apakah tepat sasaran untuk membangun kesejahteraan masyarakat atau tidak. Akibatnya, anggaran belanja negara cenderung boros dan sarat kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengeluaran negara didorong pada proyek-proyek pembangunan yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, proyek-proyek tersebut justru memberikan dampak negatif, seperti mega proyek IKN yang membabat hutan Kalimantan dan Rempang Eco-City yang menggusur permukiman warga. Lagi-lagi, rakyat menjadi tumbal pembangunan negara.
Ditambah lagi, maraknya kasus korupsi APBN yang dilakukan oleh pejabat negara semakin menambah derita rakyat. Kerugian akibat korupsi menyebabkan rakyat tidak mendapatkan infrastruktur dan fasilitas umum yang memadai untuk menjalani aktivitas sehari-hari.
Di balik pembiayaan negara yang tidak tepat sasaran tersebut, ternyata anggaran belanja negara dirancang membengkak, lebih besar daripada anggaran pendapatan negara. Walhasil, setiap tahunnya negara selalu mengalami defisit atau kerugian anggaran. Defisit ini disebabkan oleh terbatasnya pendapatan negara yang hanya bersumber dari pajak. Akhirnya, pemerintah terdorong untuk berutang ke luar negeri.
Adalah sebuah kewajaran bahwa dengan diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme, utang luar negeri Indonesia terus menumpuk. Hingga awal 2025, utang Indonesia tercatat sekitar USD 395,5 miliar atau setara dengan Rp 6.350 triliun (dengan asumsi nilai tukar 1 USD = Rp 16.000). Inilah lingkaran setan sistem ekonomi kapitalisme, yang diciptakan manusia yang lemah dan terbatas. Sistem ini, ketika diterapkan dalam sebuah negara, menjebak negara-negara penganutnya—terutama negara berkembang—bahkan menjadi uslub penjajahan melalui perjanjian-perjanjian yang merugikan, seperti pembukaan lahan investasi, masuknya tenaga kerja asing, hingga kebijakan impor kebutuhan pokok yang mematikan komoditas usaha rakyat.
Pembangunan Bebas Pajak Negara Islam
Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dari sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam tidak hanya memiliki satu sumber pendapatan negara seperti kapitalisme, tetapi memiliki sumber pendapatan yang kuat berdasarkan mekanisme syariat Islam. Sistem ekonomi Islam mengandalkan Baitul Maal (kas negara) yang diperoleh dari pengelolaan harta kepemilikan negara dan umum.
Islam mengatur harta menjadi tiga kategori: kepemilikan negara, umum, dan individu. Sektor kepemilikan negara dan umum inilah yang dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, termasuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Pos pendapatan dalam Baitul Maal terdiri dari 12 kategori, seperti rampasan perang, pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, jizyah dari non-Muslim yang hidup dalam negara Islam, harta milik negara, perdagangan luar negeri (usyur), harta yang disita dari pejabat negara yang diperoleh secara haram, harta rikaz (harta terpendam), tambang, dan lain sebagainya.
Adapun kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, sesuai dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram." (HR Ibnu Majah)
Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam kitab karya Syeikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Khilafah. Dalam sistem Islam, kekayaan sumber daya alam akan dan hanya boleh dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat. Dengan sumber pemasukan yang tidak bergantung pada pajak, sistem ini mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki sebagaimana yang tercatat dalam sejarah peradaban Islam.
[Wallahu a'lam bish-shawab]
Oleh: Kumala Imaroh
Aktivis Muslimah