Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Membangun Negara Sejahtera Tanpa Pajak, Mungkinkah?

Rabu, 15 Januari 2025 | 08:33 WIB Last Updated 2025-01-15T01:33:46Z

Tintasiyasi.id.com --  Maju mundur keputusan pemerintah terkait wacana kenaikan PPN 12 persen memunculkan berbagai respon di kalangan masyarakat. Setelah santer selama beberapa kurun waktu di akhir tahun 2024 lalu, bahwa terdapat wacana PPN akan dinaikkan dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Dimana kebijakan ini sesuai dengan ketetapan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. Akan tetapi, sikap pemerintah berubah. Presiden Prabowo Subianto memutuskan pada 31 Desember 2024 malam bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, yakni yang selama ini dipungut pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) (CNN Indonesia.com).

Benarkah ini menjadi kabar baik yang harus disambut gembira oleh masyarakat, dengan memberikan apresiasi kepada presiden, bahwa keputusannya ini menunjukkan keberpihakan nya terhadap kepentingan rakyat? Publik patut bertanya-tanya mengapa pemerintah plin plan. Rakyat akan dikejutkan dengan kebijakan apalagi pasca pembatalan ini. 

Apakah pemerintah benar-benar tulus, mendengar keresahan rakyat, atau hanya sebatas mencari simpati rakyat di masa 100 hari pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Seandainya negara ini akan baik-baik saja tanpa menaikkan prosentase PPN, mengapa wacana ini digulirkan.

Lantas, pembatalan ini akan menimbulkan konsekuensi apa, tentu banyak pertanyaan yang membayangi pikiran rakyat, di tengah himpitan persoalan ekonomi yang semakin mencekam hari ini.

Pemalakan rakyat atas nama pajak, menjadi keniscayaan dalam sistem politik demokrasi
Pajak adalah sumber pendapatan utama dalam sistem pemerintahan demokrasi yang diterapkan saat ini. 82,4 persen pemerintah menggantungkan pemasukan dari pajak untuk melangsungkan belanja negara.

Mulai dari anggaran proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, gaji pegawai negara, dan lain-lain. Tidak ada lagi sumber pendapatan yang bisa digenjot oleh pemerintah, selain pajak. Karena itulah, jika pemerintah mengalami defisit anggaran, maka yang diotak atik adalah pajak.

Bisa menaikkan prosentase pajak yang sudah ada, mencari objek pajak baru yang dapat dikenai pajak, atau yang lain.
Karena itu, rakyat tidak akan merasakan kebaikan apapun dari pembatalan kenaikan PPN ini. 

Karena pasti, cepat atau lambat, sekarang atau nanti, tetap saja rakyat yang harus menanggung beban negara. Apakah dalam waktu mendatang, PPN akan benar-benar dinaikkan, tinggal menunggu waktu, atau penarikan pajak-pajak yang lain.

Haram Memalak Rakyat Atas Nama Pajak

Dalam Islam, pemalakan adalah pungutan negara yang hukumnya haram. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).

Pajak hari ini, bukan sebagaimana konsep dhoribah yang ada di dalam Islam. Pajak dipungut setiap saat, kapan pun, dimana pun, dan dalam kondisi apapun. Objek yang dikenai pajak pun, meliputi seluruh sendi kehidupan. PPh, PPN, PBB, pajak kendaraan, dan lain lainnya. Subjek yang wajib membayar pajak pun menyeluruh, semua rakyat baik kaya, menengah, maupun miskin. 

Sehingga seberapapun pungutannya, haram hukumnya di sisi Allah. Berbeda dengan dhoribah dalam konsep negara Islam. Dhoribah hanya dipungut di masa tertentu saja, yaitu pada saat Baitul mal kosong. Pungutannya pun hanya untuk warga negara muslim, laki-laki dan yang kaya. Tidak dibebankan ke seluruh rakyat.

Membangun Negara Sejahtera Tanpa Pajak

Mengurus rakyat dengan pengaturan terbaik, memenuhi hak-hak mereka, adalah kewajiban penguasa. Seluruh pendanaan kebutuhan rakyat, harus disandarkan kepada aturan yang tepat, agar tidak bergantung kepada penarikan pajak.

Aturan itu, tidak lain adalah syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-sunnah. Dengan merujuk pada keduanya, perekonomian yang kuat sebuah negara dapat terwujud, termasuk dalam hal pengelolaan APBN baik pemasukan maupun pengeluarannya.

Tentu, negaralah sebagai pihak pelaksana. Negara tersebut tidak lain adalah khilafah Islam yang menerapkan syariat Islam secara sempurna.

Di dalam sistem pemerintahan khilafah Islam, pemasukan APBN diambil dari 12 sumber, yaitu harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumûs), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari nonmuslim (jizyah), harta milik umum, zakat, harta milik negara, harta yang disita dari pegawai negara karena diperoleh dari cara yang haram, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), dan lain-lain.

Dari sekian banyak sumber pemasukan, yang terbesar adalah harta milik umum (milkiyyah ‘âmah). Terkait harta milik umum ini Rasulullah saw. bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yakni air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud). 

Karena itu para ulama menyimpulkan bahwa semua sumber daya alam, di antaranya tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum, yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat secara langsung maupun tidak langsung, misalnya dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan lain lain.

Haram hukumnya diserahkan kepada individu/swasta apalagi dikuasai oleh pihak asing sebagaimana yang terjadi saat ini.

Menurut ekonom muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara Indonesia dari kekayaan sumber daya alam negeri ini sangat besar.

Dengan perhitungan jumlah produksi per tahunnya, harga rata-rata (dalam kursus dolar), dan mengikuti kursus dolar sesuai hari ini, maka laba yang diperoleh setiap tahun adalah sebagai berikut. 

Minyak mentah sebesar Rp183 triliun, gas alam sebesar Rp136 triliun, batu bara sebesar Rp2.002 triliun, emas sebesar Rp29 triliun, tembaga sebesar Rp159 triliun, nikel sebesar Rp189 triliun. 

Demikian pula dengan hutan. Dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar menurut perhitungan Prof. Dr. Ing. Amhar (2010), setiap tahunnya menghasilkan laba sebesar Rp1.000 triliun. Dan yang terakhir adalah kelautan dengan laba mencapai Rp.1.040 triliun.

Berdasarkan perhitungan beberapa sumber penerimaan APBN tersebut yakni dari delapan harta milik umum saja (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp5.510 triliun (melebihi kebutuhan APBN yang hanya sekitar Rp3.000 triliun). 

Masih terdapat 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar. Karena itu sebenarnya negara tidak perlu menarik paksa pajak dari rakyat ataupun berutang ke luar negeri. Dengan syarat, semua harus dikelola berdasarkan ketentuan syariat Islam.

Karena itu, satu-satunya jalan untuk membangun negara sejahtera tanpa pajak adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishshowab.[]

Oleh: Ainun Nafiah
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update