TintaSiyasi.id -- Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memperkirakan jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) berpotensi terus meningkat, terutama dari sektor industri tekstil.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mengatakan, setelah 80.000 pekerja terkena PHK pada 2024, angka itu berpotensi bertambah hingga mencapai 280.000 pekerja.
Menurutnya, salah satu penyebab utama dari kondisi ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Berdasarkan laporan dari asosiasi pengusaha, aturan tersebut dinilai kurang mendukung keberlangsungan industri khususnya tekstil. Ia menyebut regulasi ini melemahkan daya saing industri dalam negeri karena mempermudah masuknya bahan baku dan barang jadi ke pasar domestik yang pada akhirnya memaksa industri untuk mengurangi jumlah pekerjanya.(beritasatu.com, 25/12/2024)
Dilansir dari beritasatu.com (24/12/2024) Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan mengatakan gelombang PHK tidak hanya terjadi di dalam negeri,
tetapi juga di seluruh dunia. Ini merupakan bagian dari proses transisi menuju tatanan dunia baru yang tentunya membawa perubahan.
Gelombang PHK di sektor teknologi global masih terus berlanjut sepanjang 2024. Hingga 26 Desember 2024, sebanyak 539 perusahaan teknologi telah melakukan PHK, dengan total karyawan terdampak mencapai 150.034 orang.
PHK tentu akan mengakibatkan dampak buruk bagi para pekerja. Meskipun mereka mandapatkan pesangon, mereka tetap harus membelanjakan uangnya guna memenuhi kebutuhan sehari-hari selama masa menganggur. Ditambah lagi PPN naik 2025 yang juga berimbas pada harga barang dan jasa ikut naik. Alhasil, besar pasak daripada tiang dan kondisi semakin mengkhawatirkan ketika harus berhadapan dengan biaya pendidikan dan kesehatan hingga muncul istilah, "Orang miskin dilarang sakit."
Pada akhirnya, uang pesangon cepat menguap dan sudah tidak bisa dilihat bentuknya lagi. Akhirnya, mereka akan meminimalkan belanja yang berdampak pada lemahnya perputaran ekonomi. Mantan pekerja pun berjuang dengan mencari kerja seadanya, yang penting asap dapur rumahnya bisa ngebul. Masalah pendidikan dan kesehatan nomor sekian.
Kekhawatiran negara apabila banyak pekerja PHK yang belum juga mendapatkan pekerjaan adalah mereka akan menambah deretan pengangguran di negeri sendiri dan tentu saja pemasukan dari pajak pendapatan untuk negara juga merosot.
PHK yang masih terus terjadi hingga hari ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme di tingkat global maupun negeri ini. Pasalnya, negara yang mengadopsi sistem kapitalisme berorientasi pada pasar bebas dan liberalisasi. Liberalisasi ekonomi memungkinkan pasar beroperasi dengan sedikit kendali atau regulasi dari pemerintah. Implikasinya, negara tidak terlibat langsung dalam penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja.
Negara membiarkan industri berkembang sesuai mekanisme pasar. Muncullah persaingan pasar yang tidak sehat, dimana pengusaha raksasa di dalam negeri maupun di luar negeri dibiarkan bersaing dengan pengusaha kecil bermodal kecil. Ditambah orientasi semua pihak adalah bisnis. Termasuk perusahaan, dengan prinsip modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya mereka akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan untung. Sehingga praktik-praktik pada sektor nonriil pun ikut berkembang. Dalam dunia usaha kapitalisme, riba, dan pasar saham berputar secara bebas. Ini membuat perusahaan mengalami kebangkrutan sehingga jalan satu-satunya adalah dengan mengurangi karyawan.
Bahkan negara mengabaikan perannya sebagai raain (pengurus rakyat). Rakyat dibiarkan mencari kerja sendiri. Negara hanya berperan sebagai fasilitator. Semua diserahkan pada swasta atau perusahaan. Bahkan, UU pun lahir sesuai kepentingan pengusaha melalui regulasi yang memudahkan terjadinya impor barang mentah maupun jadi dari luar negeri. Semua itu dilakukan atas nama perdagangan bebas yang merupakan prinsip ekonomi kapitalisme.
Hal ini membuktikan tidak ada perlindungan dari negara terhadap produk dalam negeri. Regulasi di sektor perdagangan yang merugikan produsen dalam negeri hingga berujung PHK ini juga menunjukkan watak penguasa yang populis otoriter. Pasalnya dukungan pada rakyat hanya retorika, yang sesungguhnya terjadi adalah negara menzalimi rakyatnya dengan mengabaikan optimalisasi pengadaan produk dalam negeri dan membiarkan negeri ini bergantung pada produk luar negeri. Padahal, sangat jelas kebijakan-kebijakan seperti ini hanya menguntungkan para oligarki.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk mengakhiri carut-marutnya perekonomian yang melanda negeri ini hanyalah dengan kembali pada sistem ekonomi Islam yang bersumber dari Allah Swt. Inilah yang akan mewujudkan ekonomi yang tumbuh, stabil dan bebas dari krisis serta berkeadilan.
Cara Islam Mengatur Perdagangan dan Ketenagakerjaan.
Perdagangan dan ketenagakerjaan adalah dua masalah dalam pembahasan ekonomi yang membutuhkan peran negara untuk menyelesaikannya. Sebagai raa'in ada beberapa cara yang akan dilakukan khilafah, diantaranya:
Pertama, adalah khilafah memiliki wewenang penuh atas pengelolaan perdagangan luar negeri. Negara diperbolehkan untuk melakukan impor sejumlah produk atau bahan baku yang tidak tersedia di dalam negeri. Kebijakan impor yang diterapkan tidak boleh mengancam keberadaan industri lokal seperti yang terjadi saat ini.
Negara hanya akan melakukan impor sesuai dengan kebutuhan dan jika kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi negara akan menghentikan impor tersebut. Negara melarang komoditas impor yang termasuk barang haram dan membawa mudharat bagi masyarakat. Negara melakukan pengawasan ketat di perbatasan. Seluruh mekanisme ini akan dijalankan oleh pemimpin yang amanah dan memiliki kepribadian Islam yang kuat.
Kedua, dalam sistem ekonomi Islam, selain menggunakan standar mata uang emas dan perak (dinar dan dirham) bukan mata uang lainnya, ukuran pertumbuhan ekonomi dilakukan di sektor riil. Haram bagi pemerintah maupun swasta mengembangkan sektor non riil. Pengembangan ekonomi dan bisnis dalam sistem ekonomi Islam bertumpu pada pengembangan industri pertanian kelautan, kehutanan, tambang, pengembangan industri non pertanian ataupun kerjasama bisnis dalam bentuk berbagai sirkah atau kerjasama usaha untuk memfasilitasi para pemilik modal yang tidak memiliki skill bisnis dengan para pengusaha yang membutuhkan modalnya untuk pengembangan usaha serta perdagangan barang dan jasa baik perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.
Dukungan negara dalam pengembangan sektor riil ditujukan untuk memenuhi pengadaan kebutuhan dalam negeri khususnya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Sehingga negara Islam tidak perlu bergantung pada negara lain dalam pengadaan barang-barang tersebut
Ketiga, memastikan terbukanya lapangan kerja dengan memaksimalkan pemasukan melalui SDA yang terkategori sebagai kepemilikan umum dan dikelola secara mandiri oleh negara.
Rasulullah Saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.”
(HR Abu Dawud).
Dengan pengelolaan SDA secara mandiri, maka dipastikan negara akan mampu menciptakan banyak lapangan kerja. alhasil, negaralah yang memiliki peran utama dalam mengontrol ketersediaan lapangan kerja, bukan dunia industri (swasta).
Hanya negara yang mampu mengelolanya, karena ada SDA yang tidak bisa diakses secara langsung oleh semua orang dan memerlukan tenaga ahli, keterampilan, teknologi canggih, dan dana yang besar dalam mengolahnya, seperti minyak, gas, batubara, emas, nikel dan mineral lainnya. Semua hasil yang diperoleh disetorkan ke baitulmal. Khalifah memiliki hak untuk membagikan keuntungan dari SDA ini berdasarkan pertimbangannya demi kebaikan bersama. Seluruh mekanisme ini dijalankan untuk memastikan agar rakyat mampu memenuhi kebutuhan asasi mereka secara menyeluruh.
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis