TintaSiyasi.id -- Merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri lalu akan memaafkan, Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra, mengatakan dalam Islam korupsi adalah dosa besar dan kejahatan serius yang merusak moral individu, masyarakat, dan negara.
"Dalam Islam, korupsi adalah dosa besar dan kejahatan serius yang merusak moral individu, masyarakat, dan negara," tuturnya dalam pernyataan yang diterima TintaSiyasi.id, Rabu (1/1/2025).
Sehingga, kata Sastra, hukum Islam memberikan sanksi tegas yang bertujuan untuk memberikan efek jera, memulihkan keadilan, dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Penegakan hukum yang konsisten, integritas pemimpin, dan kesadaran masyarakat menjadi kunci dalam memberantas korupsi.
Kemudian, dalam perspektif hukum Islam, tindak pidana korupsi dipandang sebagai tindakan yang melanggar syariat karena mencakup berbagai pelanggaran seperti pencurian, pengkhianatan amanah, suap, dan penyalahgunaan harta publik.
"Dalam Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai ghulul (penggelapan harta), risywah (suap), dan bentuk lainnya yang mencerminkan pelanggaran terhadap amanah, keadilan, dan hak publik. Korupsi adalah tindakan haram karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dengan merugikan masyarakat secara luas," jelasnya.
Ia menekankan bahwa Islam mengutuk segala bentuk korupsi berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil..." (QS. Al-Baqarah: 188). Rasulullah SAW bersabda: "Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap." (HR. Abu Dawud).
"Larangan penggelapan harta publik (ghulul): "Barang siapa yang mengkhianati amanah (ghulul), maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil pengkhianatannya itu..." (HR. Bukhari dan Muslim). "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Ma’idah: 64)," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa korupsi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori tindak pidana yang diatur dalam hukum Islam diantaranya adalah, pertama, penyelewengkan harta atau aset negara. Kedua, Mengambil harta yang bukan miliknya. Ketiga, memberikan atau menerima uang untuk memperoleh keuntungan yang tidak semestinya. Keempat, menggunakan jabatan atau otoritas untuk keuntungan pribadi.
Sehingga, hukum Islam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku korupsi berdasarkan tingkat kesalahan dan dampak yang ditimbulkan. Pertama, hudud (hukuman tetap). Jika korupsi masuk dalam kategori pencurian (sariqah), pelaku dapat dikenakan hukuman potong tangan sesuai syarat bahwa nilai harta yang dicuri mencapai batas minimum (nisab) dan tindakannya dilakukan secara sengaja dan sadar.
"Kedua, ta'zir (hukuman yang ditentukan khalifah). Untuk bentuk korupsi lain, seperti suap, penggelapan, atau penyalahgunaan kekuasaan, hukuman ta'zir dapat berupa denda berat untuk mengembalikan kerugian negara. Bisa juga dihukum penjara untuk menimbulkan efek jera dan bisa juga hukuman sosial, seperti pencabutan hak jabatan," tambahnya.
Ia menjelaskan, dalam Islam, pelaku korupsi wajib mengembalikan seluruh harta yang dikorupsi sebagai bentuk tanggung jawab. Selain sanksi dunia, pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman berat di akhirat, seperti yang ditegaskan dalam hadis tentang ghulul.
"Dalam sistem pemerintahan Islam, hukuman harus diterapkan secara adil tanpa memandang status sosial pelaku. Sistem Islam bertujuan mencegah korupsi dengan membangun moral individu dan struktur pemerintahan yang bersih. Fokus pada pengembalian hak masyarakat dan pencegahan kerugian lebih lanjut," paparnya.
Ia memberikan contoh penegakan hukum Islam adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal dengan tindakan tegas terhadap pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan, termasuk mencopot jabatan dan memerintahkan pengembalian harta yang diambil secara tidak sah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberlakukan transparansi keuangan negara dan menindak keras praktik suap serta korupsi.[] Alfia Purwanti