TintaSiyasi.id—Kisruh kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% sudah geger sejak akhir 2024. Selain itu, wacana kenaikan PPN juga mendapatkan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Namun awal tahun 2025, pemerintah tiba-tiba hadir bak pahlawan kesiangan yang mengumumkan pembatalan kenaikan PPN. Mereka mengumumkan kenaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah.
Dikutip dari CNBCIndonesia (7-1-2025), pemerintah awalnya memperkirakan potensi penerimaan Rp75 triliun dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Sayangnya, kebijakan tersebut dibatalkan dan kenaikan PPN 12% hanya diterapkan bagi barang mewah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pihaknya masih akan melihat dinamika dan perkembangan APBN 2025 ke depannya.
Adapun, dengan batalnya penerapan PPN 12% secara penuh, maka sumbangan penerimaan dari kebijakan ini hanya akan mencapai Rp 1,5 triliun - Rp 3,5 triliun pada tahun ini. Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengatakan ekspektasi penerimaan ini berdasarkan hitungan dari BKF Kemenkeu.
Namun, apakah benar PPN batal naik? Benarkah kenaikan PPN hanya untuk barang-barang mewah? Lalu bagaimana definisi atau kategori barang mewah ini? Padahal fakta di lapangan semua barang sudah merangkak naik walaupun pemerintah batal menaikkan PPN. Kenaikan ini naik menjelang Nataru (Natal dan tahun baru), tetapi barang-barang belum kunjung turun setelah Nataru usai. Mungkinkah kenaikan PPN 12% hanya untuk barang mewah hanya kamuflase kebijakan kapitalisme yang mengelabui rakyat?
Batu Uji Alasan Pemerintah Mengambil Kebijakan untuk Menaikkan PPN Menjadi 12%
Sebelumnya, pemerintah begitu ngotot menaikkan PPN dengan alasan ingin menguatkan pemasukan anggarannya pendapatan belanja negara (APBN). Dikutip dari Suara.com (6-1-2025), pemerintah mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Defisit keuangan negara hingga akhir tahun lalu sebesar 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara Rp507,8 triliun.
CNBC Indonesia (6-1-2025) mengabarlan, defisit terjadi karena belanja negara tumbuh 7,3% secara year on year (yoy) menjadi Rp3.350,3 triliun (100,8%). Sementara penerimaan negara tumbuh 2,1% yoy menjadi Rp2.842,5 triliun (101,4%). Defisit ditutup dengan pembiayaan anggaran yang sebesar Rp553,2 triliun. Keseimbangan primer defisit Rp19,4 triliun.
Melihat 'akrobat' menkeu dalam mengelola keuangan negara memang memprihatinkan. Seolah-olah pemerintah memang kebingungan dan berupaya mencari dana segar menutup defisit APBN. Mereka kesulitan mengelola keuangan negara karena kekeliruan mereka sendiri.
Pemerintah dari dulu hingga hari ini menampakkan wajah ekonomi kapitalisme dalam mengelola ekonominya, sehingga dalam mengatur keuangan negara tidak jauh beda dengan model pengelolaan kapitalisme yang menjadikan pajak atau utang riba sebagai tulang punggung penyelenggaraan ekonomi negara.
Namun pertanyaannya, mengapa yang dikorbankan adalah masyarakat secara keseluruhan menanggung kegagalan pemerintah mengelola keuangan negara? Mengamati fenomena di atas ada beberapa catatan sebagai berikut.
Pertama, kenaikan PPN hanya untuk barang mewah adalah kamuflase dari kenaikan PPN untuk segala sektor baik barang maupun jasa. Sebenarnya sudah menjadi rutinitas kegiatan ekonomi ketikan menjelang Ramadan, Idulfitri, Iduladha, begitu pun Nataru selalu diiringi dengan kenaikan barang-barang.
Wacana kenaikan PPN tepat menyeruak jelang Nataru. Sehingga dampaknya adalah kenaikan harga di berbagai sektor baik barang maupun jasa. Walaupun pemerintah berucap batal kenaikan PPN, tetapi yang terjadi di tengah masyarakat semua barang atau jasa sudah merangkak naik. Wajar saja ini hanya kamuflase kebijakan pemerintah.
Kamuflase ini ditangkap oleh para kapitalis. Oleh karena itu, sebelum pemerintah mengumumkan secara detail barang apa saja yang akan kena kenaikan PPN, mereka sudah berduyun-duyun menaikkan barang dagangan mereka. Jelas ini berdampak nyata terhadap masyarakat, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Karena ketika harga-harga naik, pendapatan mereka tidak naik..
Kedua, defisit APBN lebih cenderung dengan berbagai proyek-proyek pemerintah yang tidak strategis. Bahkan, ada dugaan yang pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan yang populis otoritarianisme. Sebagai contoh, pemerintah menaikkan PPN tetapi dengan melakukan mitigasi bansos. Ini bukan solusi tetapi hanya tambal sulam semata.
Selain itu, program makan siang gratis yang sekarang dijalankan cukup menguras APBN, sampai-sampai ada yang mengabarkan program tersebut masih menggunakan dana pribadi Presiden Prabowo. Sekarang pertanyaannya, betapa kaya rayanya presiden hari ini, hingga bisa mengutangi program negara? Lalu mengapa setidak bisa ini negara mengelola keuangan? Padahal di semua sektor sudah dipajaki? Pajak ditarik oleh pemerintah setingkat negara, provinsi, dan kota/kabupaten. Kok bisa masih kurang?
Ketiga, Indonesia negara yang kaya akan sumber daya energi dan mineral. Sumber daya alam baik dari lahan pertanian, perkebunan, perikanan, dan sebagainya juga luas. Mengapa pemerintah gagal menyejahterakan rakyat dan cenderung memajaki rakyatnya? Inilah akibat nyata ketika sumber daya alam, baik energi maupun mineral diswastanisasi.
Secara undang-undang maupun pandangan Islam, sebenarnya haram hukumnya menyerahkan pengelolaan itu kepada kapitalis apalagi asing maupun aseng. Namun, hari ini sesuatu yang haram itu ditandingi dengan dikeluarkan undang-undang agar kebijakan pemerintah meliberalisasi SDA tampak dah di depan publik.
Andai saja pemerintah mau mengelola sendiri SDA dan hasilnya diberikan ke rakyat, tidak akan pemerintah kebingungan mencari sumber dana segar dalam menyelenggarakan aktivitas negara.
Sehingga dapat diketahui, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara tidak pernah menyelesaikan problematik kehidupan karena dibangun dengan sudut pandang yang salah, yakni ideologi kapitalisme sekuler. Ideologi ini telah mengubah mindset negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat menjadi pebisnis dengan rakyat.
Undang-undang maupun kebijakan yang lahir tidak diperuntukkan untuk rakyat tetapi untuk menzalimi mereka. Pemerintah tampak lemah terhadap para pemilik modal karena ketika jelang pesta demokrasi mereka butuh suntikan dana dari pemilik modal. Inilah yang menyebabkan banyak kebijakan lebih menguntungkan pemilik modal daripada rakyatnya. Parahnya, pemilik modal yang mereka layani tidak hanya yang berasal dari negeri sendiri, tetapi juga para kapitalis asing-aseng.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Aspek Politik, Ekonomi, dan Hukum
PPN belum naik saja semua barang sudah merangkak naik, bagaimana kalau PPN benar-benar akan naik? Kira-kira akan terjadi kenaikan seperti apa di tengah masyarakat? Apalagi pemerintah bersikap sebagai regulator dan mekanisme pasar bebas dibiarkan berjalan tanpa cawe-cawe pemerintah.
Dampak nyata dari kenaikan PPN itu jelas ada, karena setiap ada transaksi jual-beli, aktivitas itu akan dikenai pajak, baik dari sektor hulu maupun hilir. Memang ini adalah pendapatan segar dari pemerintah tetapi ini mengorbankan seluruh lapisan masyarakat. Semua akan merasa tercekik dengan PPN tersebut.
Selain itu, ada beberapa dampak dari kenaikan PPN dilihat dari tiga aspek. Pertama, dampak politik kenaikan PPN adalah pemerintah telah menerapkan kebijakan populis otoritarianisme. Sehingga kepemimpinan sekuler benar-benar tampak. Memang kenaikan PPN ini sedikit membantu untuk mengatasi defisit APBN, tetapi kebijakan ini akan menzalimi rakyat secara keseluruhan.
Kedua, dampak ekonomi kenaikan PPN adalah daya beli masyarakat menurun karena kenaikan barang yang terjadi cukup signifikan. Selain itu, UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) akan menghadapi kesulitan dalam mengatur usahanya. Jika dinaikkan, penjual kabur, jika tidak dinaikkan pelaku UMKM rugi. Kalau pun harus melakukan pemadatan pekerja juga akan berdampak kepada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam skala besar pun, potensi PHK massal akan terjadi untuk efisiensi sebuah perusahaan dalam menghadapi kenaikan PPN ini. Inflasi kenaikan barang juga akan terjadi, sehingga ini akan berpengaruh dalam segala aspek kehidupan. Ketiga, dalam aspek hukum dampak kenaikan PPN adalah marahnya tindak kejahatan atau kriminalitas di tengah masyarakat karena kesulitan ekonomi. Begitu pun di sektor pemerintah, banyaknya proyek yang membutuhkan biaya besar juga berpotensi dijadikan lahan basah korupsi, kolusi, atau nepotisme.
Pengelolaan dengan sistem rusak kapitalisme sekuler jelas akan menyebabkan kerusakan multidimensi. Hal ini sudah terjadi dan berlangsung, pertanyaannya sampai kapan kerusakan ini dipelihara dan dikembangbiakkan hingga benar-benar hancur di berbagai lini kehidupan? Di sinilah penting negara muhasabah dan membuka mata untuk mengambil alternatif solusi yang selama ini Islam sudah tawarkan. Solusi dengan kembali mengelola negara dengan aturan yang bersumber dari Allah Ta'ala.
Strategi Islam dalam Mengatur Keuangan Negara Tanpa Bergantung pada Pajak
Sebenarnya Indonesia bisa menjadi negara yang kuat tanpa harus menarik pajak. Namun, pemerintah harus berani menerapkan aturan ini, yakni aturan yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Dalam penampakannya adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan khilafah. Kondisi ekonomi hari ini dipengaruhi oleh dua hal, sistem yang diterapkan dan siapa yang menerapkan. Apabila sistem yang diterapkan adalah sistem hasil dari hawa nafsu manusia maka itu tidak akan mengantarkan pada kesejahteraan, karena siapa pun yang mengendalikan akan ikut arus sistem tersebut. Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang diatur dan dibuat berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Manusia yang ada hanyalah sebagai penggali hukum dan penerapan hukum yang diambil didasarkan Al-Qur'an dan Sunnah.
Yang membuat sistem ekonomi Islam bebas dari penjajahan dan penjarahan adalah sebagai berikut. Pertama, sistem ekonomi Islam mengatur soal kepemilikan. Ada kepemilikan publik, kepemilikan negara, dan individu. Maka, sektor publik tidak akan boleh dikuasai oleh individu. Sektor kepemilikan publik ataupun negara itu juga jelas tuntunannya. Tidak berdasarkan hawa nafsu manusia, melainkan bersumber dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, tidak akan ditemukan sektor publik dikapitalisasi ataupun diswastanisasi.
Kedua, sistem ekonomi Islam memiliki mata uang dinar dan dirham yang membebaskan dari ancaman inflasi dan penjajahan dolar oleh Barat. Ketiga, sistem ekonomi Islam mengharamkan riba di berbagai aspek kehidupan. Sungguh riba ini sejatinya pembawa kesengsaraan hari ini. Tetapi itu malah dinikmati dan dijadikan sumber penghasilan ekonomi kapitalisme. Sungguh zalim bukan?
Keempat, negara sebagai pengawas dan penegak hukum atas segala transaksi ekonomi yang terjadi. Sehingga jika ada muamalah yang tidak syar'i, maka negara akan menegakkan hukum padanya. Kelima, orientasi penerapan sistem ekonomi Islam menyeluruh dengan sistem Islam secara totalitas. Karena melaksanakan hukum Islam adalah bagian dari ketaatan yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak.
Sungguh unggul ekonomi Islam tersebut. Pertanyaannya maukah negeri ini hijrah ke arah yang lebih baik dengan menerapkan sistem Islam yang unggul di berbagai aspek kehidupan? Sebagai seorang Muslim tentunya tidak boleh menolak ajakan mulia ini. Karena tidak ada keselamatan kecuali hanya dengan Islam.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama. Melihat 'akrobat' menkeu dalam mengelola keuangan negara memang memprihatinkan. Seolah-olah pemerintah memang kebingungan dan berupaya mencari dana segar menutup defisit APBN. Mereka kesulitan mengelola keuangan negara karena kekeliruan mereka sendiri. Pemerintah dari dulu hingga hari ini menampakkan wajah ekonomi kapitalisme dalam mengelola ekonominya, sehingga dalam mengatur keuangan negara tidak jauh beda dengan model pengelolaan kapitalisme yang menjadikan pajak atau utang riba sebagai tulang punggung penyelenggaraan ekonomi negara.
Kedua. Pengelolaan dengan sistem rusak kapitalisme sekuler jelas akan menyebabkan kerusakan multidimensi. Hal ini sudah terjadi dan berlangsung, pertanyaannya sampai kapan kerusakan ini dipelihara dan dikembangbiakkan hingga benar-benar hancur di berbagai lini kehidupan? Di sinilah penting negara muhasabah dan membuka mata untuk mengambil alternatif solusi yang selama ini Islam sudah tawarkan. Solusi dengan kembali mengelola negara dengan aturan yang bersumber dari Allah Ta'ala.
Ketiga. Sebenarnya Indonesia bisa menjadi negara yang kuat tanpa harus menarik pajak. Namun, pemerintah harus berani menerapkan aturan ini, yakni aturan yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Dalam penampakannya adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan khilafah. Sungguh unggul ekonomi Islam tersebut. Pertanyaannya maukah negeri ini hijrah ke arah yang lebih baik dengan menerapkan sistem Islam yang unggul di berbagai aspek kehidupan? Sebagai seorang Muslim tentunya tidak boleh menolak ajakan mulia ini. Karena tidak ada keselamatan kecuali hanya dengan Islam
Oleh. Ika Mawarningtyas (Direktur Mutiara Umat Institute)
MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO, Rabu, 8 Januari 2025. Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst