TintaSiyasi.id -- Refleksi akhir tahun 2024 dan masa depan umat Islam, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto mengatakan bahwa keberkahan itu lekat dengan ketaatan.
"Keberkahan itu lekat dengan ketaatan atau ridha. Bukan sekedar ketaatan, tapi di dalam ketaatan itu memang ada aturan," ujarnya di kanal YouTube UIY Official: Refleksi Akhir Tahun 2024 dan Masa Depan Umat Islam, Selasa (31-12-2024).
UIY melanjutkan, jadi poinnya adalah bahwa hidup tidak mungkin kosong dari aturan, baik dalam kehidupan pribadi keluarga terlebih dalam kehidupan masyarakat dan negara.
"Nah kebaikan itu ketika kita mengikuti aturan. Ketika aturan baik diikuti, maka akan menghasilkan kebaikan. Aturannya baik tidak diikuti, ya belum tentu juga. Tetapi bayangkan, kalau itu aturannya buruk tidak diikuti menghasilkan keburukan, diikuti juga mengikuti keburukan. Jadi, di situ ada dua hal, aturan yang baik lalu ketaatan kepada aturan itu," paparnya.
Kemudian UIY menjelaskan semestinya manusia bisa dengan mudah memahami bahwa berarti aturan tersebut harus datang dari sesuatu yang memang baik dan yang baik artinya adalah Dia yang mengetahui duduk masalahnya.
"Nah, siapa yang paling tahu? Ialah yang menciptakan manusia dan kehidupan ini. ini kan hal-hal mendasar yang luput di dalam perbincangan semua hal tadi itu. Yang tadi muncul itu kan ada di hilir. Padahal persoalannya sebenarnya sudah terjadi di hulu yang tadi disebut itu. Nah, karena itu, ini penting konstruksi berpikir seperti ini itu penting sekali untuk dibangun di tengah-tengah umat," tegasnya.
Menurutnya, tidak cukup manusia memandang persoalan hanya dengan perspektif teknis. Misalnya soal ekonomi, teknis ekonomi, yaitu pajak dan bagaimana tidak punya pajak dan sebagainya. Juga tidak cukup ternyata dengan perspektif politik karena terbukti pukulan pertama justru datang selepas rezim berganti.
"Ya memang ada alasan bahwa ini undang-undang sudah dibuat sebelumnya. Tapi kan kita juga punya banyak pelajaran bahwa undang-undang bisa ditunda bahkan bisa dibatalkan atau bahkan bisa dirubah. Dengan kekuatan Paman bisa dirubah dalam sekejap. Apa susahnya, kan gitu? Jadi, ini soal kemauan tadi," yakinnya.
Jadi, ternyata tidak cukup dengan perspektif politik simpulnya, lalu bila tidak cukup dengan perspektif teknis, perspektif politik lalu perspektif maka perlu dihadirkan perspektif filosofis fundamental untuk bisa meneropong persoalan secara lebih mendalam. Jadi, bagaimana manusia mau mendapatkan keberkahan, maka tidak ada cara lain, kecuali dengan ketaatan.
Kemudian UIY membacakan Al-Qur'an surah Al-A'raf ayat 96, 'Walau anna ahlal-qurā āmanụ wattaqau lafataḥnā 'alaihim barakātim minas-samā`i wal-arḍi. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi".
"Jadi itu kan janji wakdun minnallah, janji Allah itu haq, inna wa dallahi haq, tidak mungkin Allah itu mengingkari janji dan tidak mungkin juga tidak mampu menepati janji. Jadi, itu saya kira perspektif sangat dasar yang harus dipahami di negeri mayoritas Muslim yang semestinya tidak sulit untuk dipahami dan diyakini, itu satu" tekannya.
Kedua, Allah juga menyebutkan di dalam Al-Qur'an surah Ar-Rum ayat 41; ẓaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi. Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan karena tangan-tangan manusia. Seperti kriminalitas meningkat, korupsi, ketidakadilan, kesenjangan kemudian kerusakan politik, sosial, budaya, pendidikan bimā kasabat aidin-nāsi, oleh karena perbuatan tangan manusia.
"Menarik apa yang dikatakan oleh Imam Ali as-Sobuni dalam kitab Safatut Tafasir, bimā kasabat aidin-nāsi itu dikatakan sebagai bisababi maasinas wadunubihim, karena kemaksiatan dan dosa-dosa manusia. Maksiat itu apa? Setiap pelanggaran kepada syariat, meninggalkan yang wajib, melakukan yang haram, itu maksiat," terangnya.
UIY menjelaskan, meninggalkan sunah, tidak maksiat. Melakukan yang makruh, tidak maksiat. Tetapi meninggalkan wajib, melakukan yang haram adalah maksiat dan setiap maksiat pasti berdosa dan setiap yang berdosa pasti akan menimbulkan fasad atau kerusakan.
"Nah, kerusakan tergantung seberapa besar kemaksiatan yang dilakukan, makin besar kemaksiatan, maka makin besar kerusakan. Tergantung juga kemaksiatan di level apa, kerusakan personal atau kerusakan komunal pada awalnya," ungkapnya.
UIY memberi contoh kerusakan personal, seperti orang tidak puasa, orang tidak shalat kemudian orang tidak minum minuman keras. Kalau kerusakannya makin besar sampai dilakukan oleh bukan hanya personal tetapi komunal, maka kerusakannya juga komunal atau struktural.
"Kita lihat kemaksiatan personal itu ya mungkin sekedar tidak shalat, tidak puasa atau minuman keras dan seterusnya, tapi kalau kerusakannya komunal struktural itu yang disebut politik demokrasi sekuler masiafelistik, ekonomi kapilistik itu yang eksploitatif kemudian budaya yang liberalistik, sikap beragama yang sinkretistik, pendidikan yang materialistik, kita berada di dalam semua sistem itu. Artinya, ini sebenarnya adalah kemaksiatan struktural," bebernya.
Jadi, kalau misalnya ada banyak soal yang hampir-hampir tidak selesai imbuhnya, artinya masalah tidak berkurang tapi malah cenderung bertambah dalam sistem demokrasi, sebenarnya hal tersebut wajar terjadi. Ibarat kata menyentuh air, sudah pasti akan basah.
"Makanya, penting sekali mencari akar dari ini semua, tidak hanya cukup dari perspektif teknis ekonomi, politik dan kemudian perperstif fundamental. Makanya, kalau kita berbicara tentang 2024 dan 2025 pastinya ya perspektif ini yang harus dipahami betul sebagai bekal untuk melangkah ke masa depan. Sebab, jika kita tidak menggunakan perspektif yang benar, mau berganti tahun berapa kalipun, itu akan sama. Jadi, jangan harap mendapatkan hal yang berbeda, kalau caramu tetap sama," pungkasnya. []Nabila Zidane