“Gambaran tentang keagungan
sistem Islam menempatkan perempuan seringkali tidak dihadirkan di
panggung-panggung opini media di dunia hari ini, karena sistem hari ini adalah
sistem yang didominasi oleh pandangan sekuler dan ideologi kapitalis. Mereka
punya kesadaran bahwa musuh ideologisnya adalah Islam, manakala Islam
dipraktikkan oleh sebuah negara,” tegasnya dalam kanal YouTube Supremacy
dengan tema Adakah Stigma Negatif Perempuan di Bawah Naungan Pemerintahan
Islam? |World View, Sabtu (18/01/2025).
Ia meluruskan, sesungguhnya
gambaran tentang keagungan sistem Islam menempatkan perempuan, tentang
bagaimana perlakuan yang ditunjukkan oleh rezim Suriah sebelumnya, ketika
mereka menempatkan perempuan di penjara-penjara karena sikap kritis perempuan
terhadap rezim Bassar Asad.
“Sesungguhnya itu tidak
mencerminkan syariat Islam dan bahkan bertentangan dengan syariat Islam dan
kita semua memiliki tanggung jawab untuk mengubah, kemungkaran dengan
menggambarkan sistem Islam,” imbuhnya.
Ia mengutip sebuah hadis sahih
riwayat Muslim, “Maka demi zat yang jiwa kita berada di tangannya.”
Hal itu mengingatkan untuk semua,
memiliki tanggung jawab mengubah opini-opini negatif terhadap syariat Islam dan
juga mengubah gambaran kriminal yang dilekatkan kepada Khilafah Islam dengan mengubah kemungkaran itu, baik dengan
tangan ataupun dengan lisan.
“Dan hari ini kesempatan kita
mengubah dengan lisan, dengan opini-opini yang bisa kita hadirkan di berbagai
media untuk menggambarkan pemikiran yang benar tentang syariat Islam. Itu
adalah PR, tanggung jawab kita semua,” jelasnya.
Islam Memperlakukan Perempuan
Ia pun mengajak untuk melihat bagaimana
pemerintahan Islam, yakni khilafah memperlakukan perempuan.
“Sejarah membuktikan dan mencatat
dengan sangat valid bahwa di bawah pemerintahan Islam yakni khilafah, perempuan
mendapatkan hak-haknya yang dilindungi oleh negara. Bahwa negara yakni khilafah,
memahami betul tanggung jawabnya terhadap perempuan sebagai warga negara,
mereka bisa berposisi sebagai ibu, anak, dan anggota masyarakat yang
mendapatkan perlakuan adil, sama seperti warga negara lain di dalam khilafah,”
ulasnya.
“Kekhususan mereka yang oleh
Allah ditetapkan sebagai ibu generasi, sebagai pendidik umat ini, untuk
lahirnya generasi pemimpin ke depan. Maka prinsip di dalam sebuah negara
berdasarkan syariat, yakni khilafah, adalah dengan memperlakukan perempuan
sebagai ibu dan sebagai warga negara yang mendapatkan perlindungan khusus,
karena aa merupakan perhiasan sekaligus kehormatan,” bebernya.
Maka di dalam Daulah Islam,
Khilafah Islamiah itu ada sebuah prinsip hukum asal bagi Perempuan. “Perempuan adalah
ibu dan pengatur rumah tangga. Perempuan itu merupakan kehormatan bagi negara, umat,
keluarga yang harus mendapatkan perlindungan,” terangnya.
“Nah, betapa indahnya sejarah
melukiskan bagaimana perempuan dilindungi oleh sebuah pemerintahan Islam.
Dilindungi bukan karena kerentanan atau posisi lemahnya, tetapi dilindungi
karena dianggap sebagai kehormatan yang baik buruknya perlakuan pada perempuan
ini akan menentukan model peradaban, apakah peradaban itu adalah peradaban yang
mulia ataukah peradaban yang hina,” tambahnya.
Daulah Islam atau khilafah itu
memberikan jaminan keamanan dan martabat kepada perempuan. “Nah, ini bisa kita
saksikan bahwa hukum Islam secara tegas memberikan batasan seperti apa yang
disebut dengan kekerasan terhadap perempuan, tidak sebagaimana hari ini. Ketika
orang bicara tentang against violence, melawan kekerasan terhadap
perempuan, tetapi kekerasan sendiri itu didefinisikan dengan beragam,”
jelasnya.
Ia menunjukkan, ada kekerasan
fisik yakni sesuatu yang menyakitkan perempuan secara fisik tapi ada pula
kekerasan yang disebut dengan kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan
seksual, dan aneka bentuk kekerasan-kekerasan ini yang sering kali mengundang
ambiguitas dan ketidaknyamanan standar untuk menilai kekerasan itu. Satu sisi
dianggap kekerasan oleh pihak tertentu, tetapi ini tidak dianggap kekerasan
oleh pihak lain.
“Nah, selama masa kekhilafahan,
misalnya kita bisa ambil di masa Kekhilafahan Umar bin Khattab yang cukup
panjang. Ternyata perempuan itu bisa berjalan-jalan di tempat umum di malam
hari, di ruang publik, tanpa rasa takut. Karena khilafah menjamin siapa saja,
bukan hanya laki-laki atau perempuan, tapi siapa saja. Maka di sini akan ter-cover
juga kebutuhan perempuan, bahwa mereka bisa menjalankan aktivitasnya di ruang
publik tanpa rasa takut dan tanpa adanya ancaman kekerasan,” katanya.
Ia mencontohkan, bila ada pihak
yang melanggar ketentuan di atas maka ada hudud. “Hudud ini ditetapkan oleh
Allah, bukan ditetapkan oleh manusia dengan kompromi dengan diskusi-diskusi
yang sangat mungkin ada berbagai kepentingan disana. Hudud dari Allah berfungsi untuk mencegah terjadinya kekerasan
berikutnya dan juga untuk membuat si pelaku kekerasan itu mendapatkan efek
jera. Seperti misalnya, sanksi yang sangat tegas untuk perkosaan untuk
pelecehan. Apalagi untuk yang orang sebut sekarang sebagai femisida, pembunuhan
atau penghilangan nyawa perempuan tanpa hak.
“Kita saksikan bagaimana
pemerintahan Islam yakni khilafah memberikan hak-hak perempuan di aspek ekonomi
dan sosial. Di mana ada peradaban di zaman tersebut yang memberikan hak kepada
perempuan untuk memiliki hartanya sendiri, mengelola hartanya sendiri, baik
harta itu pada awalnya diperoleh dari warisan atau diperoleh dari pengembangan
harta dengan cara perempuan itu bekerja, berdagang melakukan bisnis, dan
seterusnya,” ujarnya.
Iffah menerangkan, di belahan
dunia Barat bahkan sampai 1000 tahun berikutnya, mereka tetap belum memberikan
hak kepada perempuan untuk mengelola bisnisnya sendiri. Kalau perempuan itu
punya harta dari warisan orang tuanya maka serta-merta harta itu akan diambil
oleh suaminya dengan statusnya sebagai istri di dalam sebuah pernikahan.
“Bayangkan apa yang orang tuntut
hari ini untuk tiada diskriminasi di bidang ekonomi dan sosial sudah diberikan
sejak 1300 tahun yang lalu, yang sampai hari ini ternyata belum mampu diberikan
secara sempurna oleh peradaban manusia yang bernama kapitalisme,” ajak Iffah.
“Apa yang terjadi di Suriah
mungkin orang juga tergelitik seperti apa syariat Islam. Apakah seperti
gambaran yang terjadi di Suriah itu mencerminkan syariat Islam? Khilafah Islamiah
itu memiliki sejarah juga bagaimana menempatkan perempuan ketika terjadi
perang, ketika terjadi konflik, ajaran Islam mengamanatkan ada aturan yang
ketat untuk melindungi perempuan,” imbuhnya.
Ia menceritakan, Rasulullah saw.
secara tegas melarang menyakiti perempuan dan anak-anak ketika sedang terjadi
sebuah operasi militer. “Misalnya, sebuah ekspedisi militer dan seterusnya. Di
dalam sejarah pada saat dunia pada masa tersebut menjadikan perempuan dan
anak-anak itu sebagai cheerleader atau penggembira di dalam pasukan
pasukan yang diterjunkan ke medan perang. Mereka tidak ikut berperang secara
langsung dengan mengangkat senjata tapi kaum perempuan ini dibawa sebagai
orang-orang yang memperbanyak pasukan
orang-orang kafir.
Di mata Islam mereka diistilahkan
sebagai sabaya, yang berbeda status hukumnya dengan tawanan atau al-Asra.
“Ada hukum-hukum syarak tersendiri yang menempatkan sabaya sebagai konsekuensi
peperangan yang terjadi antara kaum Muslim dengan orang-orang kafir. Mereka ini
tentu saja sebagai perempuan, mereka mendapatkan aturan-aturan atau mendapatkan
perlakuan khusus.
“Apalagi bagi perempuan dan
anak-anak yang mereka tidak ikut sama sekali ke medan perang, mereka adalah
warga sipil. Meski kaum Muslim melakukan misi jihad fisabilillah untuk
membebaskan satu negeri dari kezaliman dan kekufuran bahwa kaum Muslim
diperintahkan untuk tidak menyakiti perempuan dan anak-anak yang bukan berada
di pasukan musuh,” pungkasnya.[] Sri Nova Sagita