TintaSiyasi.id-- Ungkapan ini memiliki makna yang sangat mendalam, terutama dalam konteks spiritualitas Islam. Menjadi "tamu Allah" sering kali diasosiasikan dengan melaksanakan ibadah haji atau umrah, yang merupakan panggilan langsung kepada rumah Allah, Ka'bah. Namun, maknanya juga dapat diperluas untuk mencakup hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari.
"Menjadi tamu Allah" berarti:
1. Merendahkan diri dan mendekatkan hati kepada-Nya: Dalam setiap tindakan, kita diingatkan bahwa Allah adalah Tuan dan kita adalah tamu-Nya di dunia ini.
2. Menjaga adab (kesopanan) dalam beribadah: Melaksanakan ibadah dengan penuh keikhlasan, kekhusyukan, dan tata krama yang baik.
3. Mensyukuri nikmat-Nya: Sebagai tamu yang baik, kita harus menghargai setiap nikmat yang telah diberikan oleh Allah.
"Memelihara kesopanan kepada-Nya" berarti:
1. Menjaga perilaku sesuai ajaran-Nya: Beradab dalam tindakan, baik secara vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada sesama makhluk.
2. Tidak melampaui batas: Menghindari perilaku yang menunjukkan kesombongan, kelalaian, atau keangkuhan di hadapan Allah.
3. Memiliki rasa malu kepada Allah: Selalu menyadari bahwa Allah Maha Melihat, sehingga kita menjaga diri dari perbuatan dosa dan kemaksiatan.
Sebagai manusia, kita diingatkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pinjaman, dan kita akan kembali kepada-Nya. Dengan menjaga kesopanan dan adab kepada Allah, kita menunjukkan rasa hormat dan pengabdian yang tulus sebagai hamba-Nya.
Ibnu Athaillah berkata, " Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu adalah bukti dari rabunnya mata batinmu."
Kutipan dari Ibnu Athaillah As-Sakandari ini berasal dari kitab Al-Hikam, sebuah karya sufi yang penuh hikmah. Kutipan tersebut mengandung nasihat mendalam mengenai prioritas hidup seorang hamba dalam hubungan dengan Allah dan dunia.
Penjelasan Makna:
1. "Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu"
Ini merujuk kepada upaya berlebihan manusia untuk mencari rezeki, kenyamanan, atau kehidupan duniawi yang sebenarnya sudah dijamin oleh Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya...” (QS. Hud: 6).
Artinya, manusia sering terjebak dalam kecemasan terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah dijamin oleh Allah. Mereka menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengejar hal-hal ini, bahkan hingga mengabaikan tujuan hidup yang lebih besar.
2. "Kelalaianmu melaksanakan apa yang dituntut darimu"
Sebaliknya, manusia sering lalai dalam melaksanakan kewajiban utama mereka, yaitu beribadah kepada Allah, menjaga akhlak, dan menjalankan syariat-Nya. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan antara perhatian kepada dunia dan perhatian kepada akhirat.
Tuntutan Allah terhadap manusia mencakup ibadah, penghambaan, dan upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Tetapi, karena terlalu fokus pada dunia, manusia sering melupakan kewajiban ini.
3. "Adalah bukti dari rabunnya mata batinmu"
Mata batin di sini merujuk kepada kemampuan hati untuk melihat hakikat kehidupan. Ketika mata batin menjadi "rabun," seseorang kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang utama dan yang sekunder. Mereka terjebak dalam urusan dunia, lupa bahwa dunia adalah tempat singgah sementara dan akhirat adalah tujuan utama.
Hikmah yang Dapat Diambil:
• Keseimbangan dalam hidup: Kutipan ini mengajarkan pentingnya menyeimbangkan usaha duniawi dengan tanggung jawab spiritual. Usaha mencari rezeki tidak dilarang, tetapi jangan sampai melupakan tujuan hidup sebagai hamba Allah.
• Tawakal kepada Allah: Setelah berusaha dengan cara yang halal, manusia diajarkan untuk berserah diri kepada Allah, karena segala sesuatu di dunia ini berada dalam kuasa-Nya.
• Kesadaran akan hakikat kehidupan: Dunia ini sementara, dan fokus utama seorang hamba adalah mempersiapkan diri untuk akhirat.
Kutipan ini mengingatkan kita untuk menjaga prioritas hidup, menempatkan urusan akhirat sebagai tujuan utama, dan tidak terjebak dalam ilusi dunia yang fana.
Penghidupan utama kita dan perkembangannya telah dijamin, dan upaya serta hasrat kita dibutuhkan untuk menyelami samudera keesaan Allah dan mengikuti mata hati sejati kita.
Ungkapan ini mengandung pesan yang mendalam tentang keseimbangan antara upaya manusia dalam kehidupan duniawi dan perjalanan spiritualnya menuju Allah. Berikut adalah refleksi dari makna tersebut:
1. "Penghidupan utama kita dan perkembangannya telah dijamin"
• Dalam Islam, rezeki adalah sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
"Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya..." (QS. Hud: 6).
• Keyakinan bahwa rezeki telah dijamin tidak berarti kita boleh bermalas-malasan. Sebaliknya, kita tetap perlu berusaha, namun tanpa kecemasan atau rasa takut berlebihan. Ketenangan ini lahir dari tawakal kepada Allah.
2. "Upaya serta hasrat kita dibutuhkan untuk menyelami samudera keesaan Allah"
• Manusia diciptakan bukan hanya untuk bekerja demi dunia, tetapi untuk mengenal Allah. Dalam Al-Qur'an disebutkan:
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56).
• "Menyelami samudera keesaan Allah" berarti mengenal Allah melalui ciptaan-Nya, mendalami ilmu tentang-Nya, dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini membutuhkan upaya, seperti memperbanyak ibadah, merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya, dan memurnikan niat untuk mendekat kepada-Nya.
3. "Mengikuti mata hati sejati kita"
• Mata hati yang sejati adalah hati yang bersih dari noda-noda duniawi, seperti kesombongan, iri hati, dan cinta berlebihan kepada dunia.
• Hati yang sejati mampu melihat hakikat hidup, yaitu bahwa dunia ini hanyalah ladang ujian dan akhirat adalah tujuan utama. Dengan mengikuti mata hati yang jernih, manusia dapat menjalani kehidupan yang selaras dengan kehendak Allah.
Makna Keseluruhan
Pernyataan ini mengajak kita untuk:
1. Bersyukur dan berserah diri: Karena penghidupan kita telah dijamin, kita tidak perlu hidup dalam kecemasan, melainkan dalam syukur dan tawakal.
2. Berusaha melampaui dunia materi: Selain bekerja untuk kebutuhan dunia, kita juga perlu "bekerja" untuk kebutuhan rohani dengan memperdalam hubungan kita dengan Allah.
3. Menjaga hati tetap jernih: Dengan hati yang bersih, kita dapat melihat keesaan Allah dalam segala sesuatu, dan menjalani hidup dengan penuh makna.
Ungkapan ini adalah pengingat agar kita hidup tidak hanya untuk dunia, tetapi untuk menemukan makna sejati dalam kehadiran Allah di setiap langkah kita.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)