“Isra Mikraj merupakan mukjizat Nabi saw. yang sangat dahsyat. Peristiwa ini dapat ditinjau dari dua dimensi. Pertama, dalam dimensi spiritual, Isra Mikraj menunjukkan istimewanya salat. Kedua, dalam dimensi politik, Isra Mikrajmenunjukkan isyarat kepemimpinan Islam memimpin dunia,” tuturnya, Senin (27/01/2024).
“Peristiwa Isra Mikraj merupakan salah peristiwa yang menjadi mukjizat Rasulullah saw. Salah satu pelajaran (ibrah) yang diambil dari peristiwa Isra Mikraj adalah istimewanya salat lima waktu,” ujarnya.
Salat lima waktu ini dikatakan ibadah yang istimewa, karena beberapa alasan, di antaranya ada 6 (enam) keistimewaan ibadah salat sebagai berikut:
Pertama, karena salat lima waktu merupakan satu-satunya ibadah yang diwajibkan Allah Swt. dengan cara yang khusus, yaitu Rasulullah saw. mendapat langsung perintah salat lima waktu di Sidratulmuntaha secara langsung dari Allah Swt. (Lihat Bab Kayfa Furidhat al-Shalāt fī al-Isrā`, Ibnu Hajar al-’Asqalani, Fatḥul Bārī Syaraḥ Shahīh al-Bukhāri, Juz I, hlm. 545).
Kedua, karena salat lima waktu ini merupakan ibadah yang secara khusus disebut bersama sabar, sebagai cara kita meminta pertolongan kepada Allah Swt. Firman Allah Swt.:
واسْتَعِيْنُوْا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Ketiga, karena salat lima waktu ini merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab kelak di Hari Kiamat, sesuai sabda Nabi saw.:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ
عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ
فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ
عَزَّ وَجَلَّ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا
انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ. رواه
والترمذي (413)
Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada Hari Kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari salat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman: ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki salat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari salat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya. (HR Al-Tirmidzi, no. 413).
Keempat, karena salat lima waktu ini merupakan
pembeda antara mukmin dan kafir. Sabda Nabi saw.:
إنَّ بيْنَ الرَّجُلِ وبيْنَ الشِّرْكِ والْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاةِ
Antara seorang Muslim dan seorang
musyrik dan kafir adalah meninggalkan salat. (HR Muslim, no. 82).
Imam Nawawi men-syarah hadis
di atas dengan mengatakan:
وَأَمَّا تَارِكُ الصَّلاَةِ فَإِنْ كَانَ مُنْكِراً لِوُجُوْبِهاَ فَهُوَ
كاَفِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ خاَرِجٌ مِنْ مِلَّةِ اْلإِسْلاَمِ، إِلاَّ أَنْ
يَكُوْنَ قَرِيْبَ عَهْدٍ بِاْلإِسْلاَمِ وَلَمْ يُخَالِطِ الْمُسْلِمِيْنَ مُدَّةً
يَبْلُغُهُ فِيْهَا وُجُوْبُ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ، وَإِنْ كاَنَ تَرْكُهُ تَكَاسُلاً
مَعَ اعْتِقَادِهِ وُجُوْبُهَا كَمَا هُوَ حَالُ كَثِيْرٍ مِنَ النَّاسِ فَقَدِ اخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ فِيْهِ فَذَهَبَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ رَحِمَهُمَا اللهَ وَالْجَمَاهِيْرُ
مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ إِلىَ أَنَّهُ لاَ يُكَفَّرُ بَلْ يُفَسَّقُ... وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ إِلىَ أَنَّهُ يُكَفَّرُ ...وَهُوَ
إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللهُ،...وَذَهَبَ
أَبُوْ حَنِيْفَةَ... إِلىَ أَنَّهُ لاَ يُكَفَّرُ وَلاَ يُقْتَلُ بَلْ يُعَزَّرُ
وَيُحْبَسُ حَتىَّ يُصَلِّيَ
“Adapun orang yang meninggalkan salat,
(ada rincian hukumnya, yaitu) jika dia mengingkari kewajiban salatnya, maka dia
kafir menurut ijmak (kesepakatan) kaum Muslim, yakni sudah keluar
(murtad) dari agama Islam, kecuali kalau dia baru masuk Islam dan belum
berinteraksi dengan kaum Muslim dalam jangka waktu tertentu yang belum sampai
kepadanya kewajiban salat atasnya. Jika dia meninggalkan salat karena malas
namun dia masih meyakini wajibnya salat, sebagaimana keadaan banyak orang, maka
para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik, Imam Syafi’i, rahimahumāllāhu,
dan jumhur ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa orang itu tidak dikafirkan
melainkan hanya difasikkan…Segolongan ulama salaf berpendapat bahwa orang itu
(orang yang meninggalkan salat) dikafirkan…ini merupakan salah satu dari dua
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullāh… Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa orang itu tidak dikafirkan dan tidak dijatuhi hukuman mati
melainkan di-ta’zīr dan dipenjara hingga dia mau melakukan salat.” (Imam
Nawawi, Shahīh Muslim bi Syarah Al-Nawawī, 2/70).
Kelima, karena salat lima waktu inilah yang disebut dalam Al-Qur`an akan mencegah pelakunya dari (perbuatan) keji dan mungkar. Firman Allah Swt.:
اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ
Sesungguhnya salat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. (QS
Al-‘Ankabūt : 45).
Keenam, karena salat lima waktu ini yang membedakan orang mukmin (yang mampu bersujud) dan munafik (yang tak mampu bersujud) di Hari Kiamat nanti, sesuai firman Allah Swt.:
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَّيُدْعَوْنَ اِلَى السُّجُوْدِ فَلَا
يَسْتَطِيْعُوْنَۙ خَاشِعَةً اَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۗوَقَدْ كَانُوْا
يُدْعَوْنَ اِلَى السُّجُوْدِ وَهُمْ سٰلِمُوْنَ
Dimensi Politik
Kiai Shiddiq mengatakan, “Peristiwa Isra
Mikraj mengisyaratkan kepemimpinan Islam, yaitu isyarat kepemimpinan umat Islam
atas seluruh agama, bangsa, dan umat lain di seluruh dunia. Prof. Dr. Rawwas
Qal’ah Jie telah menerangkan isyarat kepemimpinan itu dalam kitabnya, Qirā`ah
Siyāsiyyah li As-Sīrah An-Nabawiyyah (Beirut : Dār Al-Nafā`is, Cetakan I,
1416 H/1996 M, hlm. 75-83). Dalam peristiwa Isra, Rasulullah saw.
diperjalankan oleh Allah Swt. dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa.”
“Nah, di Masjidilaqsa inilah, Rasulullah saw. salat bersama para nabi dan Rasulullah saw. tampil sebagai imam. Berarti di belakang Rasululah saw. adalah para makmum yang terdiri dari nabi-nabi, di antaranya Nabi Musa dan Nabi Isa, ‘alaihimā as-salām,” tuturnya.
Dari peristiwa itulah, lanjut Kiai, ada
isyarat kepemimpinan umat Islam. “Kata Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam peristiwa salat jemaah tersebut telah terjadi
pencabutan kepemimpinan Bani Israil yang memimpin dunia saat itu yang selanjutnya diberikan kepada umat Muhammad saw. Dengan demikian,
sejak peristiwa itu, manusia menjadi tidak sah beramal dengan agama-agama Bani
Israil (Yahudi dan Nasrani) yang telah mengalami banyak sekali distorsi dan
perubahan (tahrīf),” tandasnya.
Kiai melanjutkan, realisasi dari isyarat agung tersebut dalam kenyataannya tercatat sejarah kepemimpinan umat itu benar-benar terbukti dua kali.
1.
Perwujudan Isyarat Kepemimpinan yang Pertama
Setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah (622 M) dan kemudian
menegakkan negara dan masyarakat Islam, kepemimpinan Islam mulai terwujud.
Sebab di negara baru tersebut, umat Islam memimpin umat-umat lain. Dalam
masyarakat Islam ada warga negara kaum Yahudi sebagaimana disebut dalam Piagam
Madinah (Watsīqah Al-Madinah). Tercatat, kaum Yahudi itu adalah Yahudi
Bani Auf, Yahudi Bani Najjar, Yahudi Bani Harits, Yahudi Bani Saidah, Yahudi
Bani Jusyam, Yahudi Bani Aus, dan Yahudi Bani Tsa’labah.
Dalam perkembangan berikutnya, kaum Yahudi Bani Quraizhah, Yahudi
Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’ juga menandatangani Piagam Madinah itu
(Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islāmiyyah, hlm. 54).
Kepemimpinan umat Islam di masa Nabi atas kaum Nasrani juga mulai
terwujud. Inilah
perwujudan isyarat kepemimpinan
umat Islam yang pertama.
2.
Perwujudan Isyarat Kepemimpinan yang Kedua
Untuk pertama kalinya, kaum Muslim berperang dengan kaum Nasrani di
wilayah Syam dalam Perang Mu`tah. Memang dalam perang kali ini kaum Muslim
tidak menang dan juga tidak kalah. Namun Perang Mu`tah ini menjadi jalan awal
untuk penaklukan Syam (Fathu Syām) di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Pada
masa Khalifah Umar bin Khaththab inilah, penaklukan Syam terjadi pada tahun 15
H.
Dalam penaklukan Syam ini, Khalifah Umar dan para sahabat
Rasulullah serta pasukan kaum Muslim memasuki kota Al-Quds dengan penuh
kehormatan. Khalifah Umar menerima kunci kota Al-Quds dari kepala pemerintahaan
Nasrani, yaitu Sefrounius. Setelah memasuki kota Al-Quds ini, Khalifah Umar dan
kaum Muslim melakukan salat di Masjidilaqsa.
Inilah salat yang kedua di bawah kepemimpinan umat Islam, setelah salat pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw. pada malam Isra`. (As’ad Bayūdh At-Tamīmī, Impian Yahudi dan Kehancurannya Menurut Al-Qur`an, hlm. 21).
“Subhānallāh, inilah perwujudan isyarat kepemimpinan umat Islam yang kedua, yang terwujud sempurna. Maka dari itu, jelaslah bahwa umat Islam saat ini, berkewajiban merebut kembali kepemimpinan dunia yang kini dipegang kembali kaum kafir Yahudi dan Nasrani. Kaum Yahudi dan Nasrani saat ini tidak boleh lagi menjadi pemimpin dunia, sebab yang seharusnya memimpin adalah umat Islam, bukan umat kafir,” tegasnya.
Lanjut dikatakan, namun kepemimpinan
umat ini membutuhkan dua syarat yang penting, seperti dijelaskan oleh Prof. Dr.
Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya, Qirā`ah Siyāsiyyah li As-Sīrah
An-Nabawiyah (hlm. 80). Dua syarat tersebut adalah:
Pertama, adanya sistem
kehidupan yang baik, yang terwujud dalam pelaksanaan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala bidang kehidupan dalam negara khilafah, bukan
dalam negara sekuler saat ini.
Kedua, adanya pemimpin
yang amanah, yaitu seorang khalifah,
bukan pemimpin pengkhianat yang
menjadi agen Barat, khususnya Amerika Serikat, seperti saat ini.
“Dengan dua syarat ini, Insya Allah
kepemimpinan umat Islam atas seluruh manusia dunia akan dapat terwujud kembali
di masa depan. Inilah salah satu pelajaran terpenting dari peristiwa Isra
Mikrajdalam dimensi
politik. Wallāhu a’lam,” pungkasnya.[]
Rere