TintaSiyasi.id -- Wajah perguruan tinggi di Indonesia kembali tercoreng. Tim Evaluasi Kinerja Akademik (Tim EKA) dari Kementerian Kebudayaan Riset dan Teknologi menemui kejanggalan data Universitas Stikom Bandung pada akhir tahun 2024. Tim EKA menemukan kejanggalan pada data di Stikom Bandung. Mulai dari ketidaksesuaian data satuan kredit semester (SKS) yang dimuat di Sistem Informasi Akademik (Siakad) dengan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) hingga Skripsi mahasiswa yang belum melalui tes plagiasi serta belum mencantumkan Penomoran Ijazah Nasional (PIN).
Menurut Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung Dedy Djamaluddin Malik, ada operator data di kampusnya yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. “PIN tidak diurus, ada nilai yang tidak dilaporkan, bahkan ada laporan dari mahasiswa itu diperjualbelikan nilai itu oleh si oknum. Itu yang kemudian menyebabkan ijazah harus dibatalkan,” kata Dedy (Tempo.co, 09/01/2025).
Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV (LLDikti IV) menerbitkan sanksi berat kepada Stikom Bandung. Hal itu karena Stikom Bandung telah melanggar prinsip integritas kampus yang tertuang dalam komponen Good University Governance (GUG), yaitu: (1) Keterbukaan Informasi, (2) Akuntabilitas, (3) Pertanggungjawaban, (4) Kemandirian, (5) Kesetaraan, dan (6) Kewajaran. Dedy juga mengaku konsep GUG yang mendasari dirinya untuk mengambil langkah dalam menarik 233 ijazah alumni. Namun, LL DIKTI IV melihat adanya perbaikan dari pihak kampus sehingga LL Dikti IV dapat menurunkan tingkat sanksi menjadi sedang.
Dilansir dari Tempo.co (09/01/2025), Dedy akhirnya menarik 233 ijazah alumni. Namun, belum semua mengembalikan ijazahnya. Hal itu karena mereka berasumsi kampus hanya bisa mengeluarkan ijazah satu kali. Para alumni merasa sudah menyelesaikan semua adimintrasi sehingga mereka enggan untuk mengembalikan ijazah mereka. Mereka tidak mau mengeluarkan biaya lagi jika kampus membutuhkan biaya untuk administrasi selanjutnya. Kemudian mereka menggelar pameran foto dan pemaparan hasil riset saat perkuliahan mereka dalam rangka menolak keputusan sepihak kampus tersebut.
Mahasiswa yang telah membayar mahal administrasi kampus jelas menolak keras penarikan ijazah. Kapitalisasi pendidikan hari ini membuat para mahasiswa berjuang keras merogoh kocek yang tak sedikit demi menuntaskan pendidikan tinggi untuk menghadapi kehidupan yang serba mahal. Mereka yang melakukan aksi penolakan dalam pameran foto juga mengeluhkan nihilnya peran negara dalam memfasilitasi secara tuntas pendidikan tinggi. Berbagai fasilitas dan solusi yang diberikan nyatanya belum sepenuhnya dapat didapatkan oleh mahasiswa. Masih banyak mahasiwa yang kesulitan dalam biaya dan administratsi. Negara juga lalai dalam mengawasi jalannya perguruan tinggi karena uji plagiasi bahkan belum pernah diterapkan di kampus Stikom.
Pendidikan sekuler juga melahirkan kampus yang tak mengindahkan perkara halal haram dalam menyelenggarakan pendidikan. Sehingga mereka membuat kebijakan sepihak tanpa pertimbangan. Kualitas output pendidikan juga tak menunjukan kualitas yang terjamin. Dari 233 ijazah Stikom yang ditarik, 19 di antaranya sudah menjadi Aparatur Sipil Negara. Hal ini tentu menjadi ironi.
Meskipun dalam pendidikan tinggi telah banyak asas yang dibuat seperti GUG, Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan lainnya, hal itu tidak menunjukan hasil signifikan dalam penerapannya. Meskipun prinsip tersebut terlihat bagus, asas pendidikan hari ini dilandasi oleh akidah sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Mereka tak mempedulikan halal haram serta mengikuti hawa nafsu semata dalam membuat kebijakan. Tak ada rasa kerkaitan dengan agama yang menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam menjalankan aturan. Tak mengherankan banyak sikap mahasiswa maupun kebijakan kampus nyleneh yang bahkan tak mempedulikan integritas serta etika.
Telah jelas, kasus ini adalah persoalan sistemik yang menyebabkan buruknya administratif di bawahnya. Dalam Islam, pendidikan didasarkan pada akidah Islam dan ilmu pengetahuan yang berkesinambungan. Pada dasarnya pendidikan diterapkan berdasarkan wahyu Allah. Hal itu menghasilkan aturan yang stabil. Hal ini karena model pendidikan Islam ini sudah terintegrasikan secara menyeluruh (integrated model). Aturan yang dihasilkan juga tidak semena-mena karena selalu berkaca pada baik-buruk menurut aturan Allah yang pasti membawa kebaikan bagi manusia.
Dalam Islam, pendidikan bukanlah komoditas yang diperjualbelikan. Negara akan mengalokasikan dana dari Baitul mal untul penyelenggaran kampus secara optimal sehingga terjangkau oleh berbagai kalangan. Output pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Di mana mereka akan menguasai ilmu pengetahuan juga memadukannya dengan keimanan serta ketakwaan. Tidak akan ada dikotomi dalam ilmu pengetahuan dan keimanan. []
Oleh: Keysa Neva
(Aktivis Mahasiswa)