Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hanya dalam Sistem Islam Hidup Akan Sejahtera

Kamis, 09 Januari 2025 | 07:39 WIB Last Updated 2025-01-09T00:39:43Z

TintaSiyasi.id -- Sejak awal, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, muncul respon penolakan luas dari masyarakat. Tak hanya lewat petisi di media sosial, sejumlah elemen masyarakat pun turun ke jalan menyuarakan penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan pungutan pajak ini.
Menanggapi respon dari masyarakat maka Pemerintah telah membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen yang semula akan diberlakukan pada 2025. Sebagai gantinya, kenaikan ini hanya berlaku untuk barang-barang mewah yang selama ini dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). (Kompas.id, 2 Januari 2025)

Naiknya PPN yang berlaku untuk jasa dan barang mewah, walaupun menyasar kelompok masyarakat yang berada atau mampu, secara tidak langsung pasti akan berimbas kepada kelompok masyarakat menengah dan kecil, karena ketika satu barang mengalami kenaikan, maka tidak menutup kemungkinan barang yang lain juga ikut naik. Efek domino pasti akan bermunculan khususnya kepada masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut bisa memicu kelesuan aktivitas bisnis dan daya beli masyarakat akan semakin menurun.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme kebijakan pajak menjadi suatu keniscayaan, karena sistem ekonomi kapitalisme berdiri atas dasar materialistik sehingga pajak menjadi salah satu sumber pendapatan utama yang diandalkan dan menjadi tumpuan kelangsungan negara. Maka ketika pajak dijadikan sumber pendapatan negara, hakikatnya rakyat dipaksa membiayai sendiri kebutuhan hidupnya.

Jadi walaupun kenaikan PPN hanya diperuntukkan bagi barang dan jasa mewah tetap saja Islam melarangnya. Mengutip pernyataan dari Ibnu Khaldun bahwa salah satu tanda hancurnya sebuah negara adalah semakin besar dan beragamnya jenis pajak yang dipungut dari rakyatnya.

Berbeda dengan sistem ekonomi di dalam Islam. Pajak dalam sistem ekonomi Islam sangat berbeda faktanya dengan pungutan pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme saat ini. Pajak di dalam Islam hanya diterapkan secara insidental, yaitu ketika kas negara membutuhkan backup keuangan. Sehingga pajak bukan pungutan yang bersifat abadi. Ketika kas negara kembali normal, pajak harus segera dihentikan.

Pajak juga hanya diwajibkan bagi seorang Muslim, laki-laki dan yang kaya. Berbeda dengan fakta hari ini, semua orang baik kaya ataupun miskin wajib membayar pajak dan berlaku seumur hidup. Sistem ekonomi Islam didalam penguatan keuangan negara harus tunduk pada ketentuan syariat, yakni pengelolaan keuangan baik penerimaan dan pembelanjaan harus sesuai dengan syariat.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 124 yang artinya, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta."

Di dalam Islam pajak atau dharibah bukanlah sumber tetap pendapatan negara. Negara atau khilafah memiliki sumber pendapatan yang beraneka ragam, yakni berupa jizyah, kharaj, ghanimah, usyur, fa’i, harta tanpa ahli waris dan harta orang murtad.

Khilafah juga berkewajiban mengelola harta kepemilikan umum yaitu seluruh sumber daya alam, air, padang rumput dan tambang, sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan adil tanpa membedakan suku, ras dan agama.

Di dalam buku Sistem Ekonomi Islam karya mujtahid mutlak pada abad ini yaitu Syekh Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan, “Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang.”

Walhasil, Indonesia merupakan negara yang kaya dan melimpah akan sumber daya alamnya, jika dikelola dengan baik oleh negara tentu pembiayaan APBN akan lebih dari cukup dan tidak perlu adanya pungutan pajak dari rakyat.

Saatnya kembali kepada sistem buatan Allah yaitu sistem Khilafah Islamiah karena hanya melalui penerapan ekonomi Islam dan kepemimpinan Islam, maka akan terwujudlah rahmatan lil ‘alamin.

Wallahu a‘lam bishshawab. []


Oleh: Mairawati
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update