TintaSiyasi.id-- Sobat. Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari, seorang sufi besar yang terkenal dengan karya-karyanya yang mendalam, dzikir memiliki hakikat yang sangat tinggi dalam perjalanan spiritual seseorang. Dalam kitabnya, Al-Hikam, ia menguraikan beberapa poin penting mengenai hakikat dzikir:
1. Dzikir sebagai Jalan Mendekat kepada Allah
Ibnu Athaillah menekankan bahwa dzikir adalah sarana utama bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia mengatakan, "Janganlah engkau meninggalkan dzikir hanya karena tidak hadirnya hatimu kepada Allah dalam dzikirmu. Sebab kelalaianmu dari dzikir lebih buruk daripada kelalaianmu dalam dzikir."
Maksudnya: Meskipun seseorang mungkin tidak sepenuhnya khusyuk, terus melakukan dzikir adalah lebih baik daripada meninggalkannya sama sekali. Dzikir itu sendiri memiliki nilai dan dapat membawa hati seseorang kepada Allah secara bertahap.
2. Dzikir yang Hakiki adalah Mengingat Allah dalam Segala Keadaan
Dalam pandangan Ibnu Athaillah, dzikir bukan hanya ucapan lisan, tetapi juga melibatkan hati dan jiwa. Dzikir yang hakiki adalah keadaan di mana hati selalu terhubung kepada Allah, bahkan saat seseorang sedang sibuk dengan aktivitas duniawi.
Beliau berkata, "Tidak dinamakan dzikir orang yang lisannya berdzikir, tetapi hatinya lalai dari Allah."
3. Dzikir sebagai Cermin Cinta kepada Allah
Dzikir adalah tanda cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Semakin sering seseorang mengingat Allah, semakin dalam cintanya kepada Allah. Dzikir juga menjadi sarana untuk memurnikan hati dari kecintaan kepada dunia, menggantinya dengan kecintaan kepada Allah.
4. Dzikir Melahirkan Cahaya dalam Hati
Dalam salah satu hikmahnya, Ibnu Athaillah menyebutkan bahwa dzikir adalah pintu menuju cahaya Ilahi. Ia berkata, "Dzikir adalah lentera hati; apabila dzikir hilang, maka hati akan gelap."
Maknanya: Dengan dzikir, hati akan menjadi terang dan mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
5. Dzikir Membuka Pintu Makrifat
Ibnu Athaillah juga menjelaskan bahwa dzikir dapat membawa seorang hamba kepada makrifat, yaitu pengetahuan yang mendalam tentang Allah. Dzikir secara konsisten membuat hati menjadi bersih sehingga mampu menerima cahaya dari Allah dan mengenal-Nya dengan lebih dekat.
6. Tingkatan Dzikir
Ibnu Athaillah membagi dzikir ke dalam beberapa tingkatan:
• Dzikir Lisan: Dzikir dengan ucapan, seperti membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya.
• Dzikir Hati: Mengingat Allah dengan hati yang penuh kehadiran.
• Dzikir Jiwa: Selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabah), sehingga seluruh tindakan mencerminkan ketaatan kepada-Nya.
• Dzikir Hakiki: Keadaan di mana seseorang sepenuhnya tenggelam dalam cinta dan pengenalan kepada Allah sehingga tiada yang diingat kecuali Dia.
Bagi Ibnu Athaillah, dzikir bukan hanya sekadar aktivitas fisik berupa ucapan, tetapi merupakan keadaan spiritual yang mendalam. Ia adalah proses terus-menerus untuk menyucikan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan akhirnya mencapai makrifat.
Dzikir mengajarkan ketekunan, keikhlasan, dan cinta yang tulus kepada Allah sebagai pusat dari kehidupan seorang hamba.
Rezeki lahir dan Rezeki Batin pejelasan Ibnu Athaillah.
Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari, dalam karya-karya hikmahnya, ia membedakan antara rezeki lahir dan rezeki batin. Kedua jenis rezeki ini berkaitan erat dengan kebutuhan manusia dalam menjalani kehidupannya, baik di dunia maupun untuk persiapan akhirat. Berikut adalah penjelasan mendalam berdasarkan pandangan Ibnu Athaillah:
1. Rezeki Lahir
Rezeki lahir adalah segala sesuatu yang bersifat materi dan terlihat secara fisik, yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia. Ini mencakup:
• Harta benda seperti uang, makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
• Kesehatan fisik dan kekuatan tubuh.
• Kedudukan atau status sosial yang diberikan kepada seseorang.
Pandangan Ibnu Athaillah tentang Rezeki Lahir:
• Sarana, bukan tujuan: Ibnu Athaillah mengingatkan bahwa rezeki lahir adalah alat untuk menjalankan kehidupan, bukan tujuan akhir dari kehidupan itu sendiri. Manusia hendaknya tidak terlalu terpaut kepada rezeki lahir, karena segala yang bersifat duniawi bersifat sementara.
"Janganlah merasa gembira dengan sesuatu yang berkurang nilainya jika di akhirat nanti engkau akan dihisab karenanya."
(Al-Hikam)
Artinya, meskipun rezeki lahir dapat memberikan kenyamanan, ia juga membawa tanggung jawab untuk digunakan sesuai dengan kehendak Allah.
• Diberikan secara adil oleh Allah: Ibnu Athaillah menjelaskan bahwa Allah membagi rezeki lahir kepada setiap makhluk sesuai kebutuhannya, bukan berdasarkan keinginan. Hal ini adalah manifestasi dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.
2. Rezeki Batin
Rezeki batin adalah segala sesuatu yang bersifat spiritual, non-material, dan memberikan ketenangan hati, kebahagiaan, serta kedekatan kepada Allah. Contoh rezeki batin mencakup:
• Iman dan taqwa: Keyakinan kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya.
• Hikmah dan ilmu: Pemahaman mendalam tentang ajaran agama dan kebijaksanaan.
• Ketenangan hati (sakinah): Perasaan damai meskipun menghadapi kesulitan hidup.
• Cahaya makrifat: Kemampuan mengenal Allah dengan hati yang jernih.
Pandangan Ibnu Athaillah tentang Rezeki Batin:
• Hakikat Rezeki yang Sesungguhnya: Ibnu Athaillah menganggap rezeki batin lebih mulia dan abadi dibandingkan dengan rezeki lahir. Dalam Al-Hikam, ia mengatakan:
"Di antara tanda bergantung kepada amal adalah berkurangnya harapan kepada rahmat Allah ketika melakukan kesalahan."
(Al-Hikam)
Artinya, rezeki batin seperti pengampunan Allah, rahmat, dan ketenangan hati adalah bentuk kasih sayang Allah yang lebih tinggi dibandingkan rezeki lahir.
• Sumber Kebahagiaan Hakiki: Rezeki batin adalah kunci kebahagiaan sejati. Harta benda tidak dapat memberikan ketenangan hati, tetapi iman, zikir, dan kedekatan kepada Allah mampu memberikan kebahagiaan yang mendalam.
• Diperoleh melalui usaha spiritual: Rezeki batin membutuhkan perjuangan berupa mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam beribadah, berdzikir, dan menjauhi hawa nafsu.
Perbandingan Rezeki Lahir dan Batin Menurut Ibnu Athaillah.
Rezeki Lahir ; Bersifat Fana, bentuk harta, kesehatan dan kedudukan. Manfaat untuk kebutuhan dunia. Cara memperoleh usha fisik dan kerja keras. Tingkat kemuliaan rendah.
Rezeki Batin : Sifat abadi (kekal) Bentuk Iman, ilmu, hikmah dan ketenangan. Manfaat untuk kebahagiaan dunia dan akherat. Cara memperoleh mujahadah dan kedekatan kepada Allah. Tingkat kemuliaan tinggi.
Kesimpulan
Ibnu Athaillah mengajarkan bahwa manusia harus mampu membedakan antara rezeki lahir dan batin, serta memprioritaskan rezeki batin sebagai tujuan utama hidup. Rezeki lahir hanyalah sarana untuk mendukung kehidupan dunia, sementara rezeki batin adalah kunci untuk meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
Ia menasihati agar manusia tidak terlalu terpaut pada rezeki lahir, karena yang lebih penting adalah hubungan dengan Allah yang terwujud melalui rezeki batin.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
(Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)