“Konsep pelucutan senjata yang
diusung oleh negara-negara adidaya hanyalah mitos belaka,” lugasnya, Rabu
(2/8/2023).
Budi menambahkan, pelucutan
senjata sebenarnya adalah strategi negara adidaya untuk memastikan bahwa
negara-negara lain tidak memiliki kekuatan yang bisa menyaingi mereka.
"Negara adidaya itu akan
berusaha negara lain tidak memiliki senjata yang bisa menjadi ancaman buat dia.
Ini yang kemudian muncul gagasannya agar damai, maka senjata-senjata itu harus
dilucuti," ujarnya.
Namun menurutnya, "Hal yang
mustahil negara adidaya itu akan menghilangkan kepemilikan senjata. Fakta
adidaya itu adalah dia harus punya power, dan power itu adalah
kepemilikan senjata".
Karena realitas menunjukkan,
tambahnya, negara-negara kuat tetap mempertahankan dan bahkan mengembangkan
teknologi persenjataan mereka.
Budi juga menyoroti bagaimana
perjanjian internasional seperti Non-Proliferation Treaty (NPT) atau Perjanjian
Non-Proliferasi Nuklir dibuat untuk memastikan hanya negara-negara tertentu
saja yang boleh memiliki senjata nuklir.
"Perjanjian larangan
penyebaran nuklir itu kan isinya bicara bahwa nuklir hanya boleh dimiliki oleh
negara-negara yang sudah punya nuklir, seperti Amerika dan anggota tetap Dewan
Keamanan PBB, tapi yang lain nggak boleh supaya ‘damai’," jelasnya.
Menurutnya, ini adalah bentuk
nyata dari upaya mempertahankan status quo oleh negara-negara kuat agar
tetap mendominasi konstelasi politik global.
Ia juga menyatakan bahwa
kepemilikan kekuatan, termasuk militer, adalah bagian dari tuntunan sebagaimana
Al-Qur'an menekankan pentingnya memiliki kekuatan untuk menggentarkan lawan.
"Di dalam Al-Qur'an sendiri
sudah disebutkan bahwa kita harus memiliki kekuatan yang bisa menggentarkan
lawannya. Apa yang bisa menggetarkan lawan? Yaitu disebut sebagai kuda-kuda
yang ditambatkan pasukan berkuda. Karena itu, pasukan berkuda itu pasukan yang
mematikan," terangnya.
Dalam konteks modern, konsep itu
dapat diartikan sebagai pentingnya kekuatan militer dan teknologi sebagai
bagian dari upaya pertahanan umat Islam. “Umat Islam saat ini masih bergantung
pada teknologi militer negara lain, yang menjadikan dunia Islam rentan terhadap
tekanan internasional,” ungkapnya.
"Masalahnya, kekuatan
militer dunia Islam itu masih bergantung pada industri militer asing. Kalau
militernya tidak mandiri, ya tinggal di-shutdown saja dalam
perang," ujarnya.
Dia turut menyinggung bagaimana
teknologi berperan besar dalam peperangan saat ini. "Perang di Ukraina itu
adalah perang teknologi, tidak lagi mengirimkan orangnya. Anda mengirimkan
orang tetapi uji coba teknologi, misalkan melalui drone," jelas Budi.
PBB, menurutnya, memiliki agenda
untuk mengontrol perkembangan teknologi persenjataan, namun tetap menghadapi
kendala karena negara-negara besar enggan melepaskan keunggulan mereka.
"Manusia itu fitrahnya ingin
damai, tidak mau berperang. Tetapi ada perintah kepada kita untuk melakukan
jihad, walaupun itu berat untuk dilakukan," ungkapnya.,
Lanjut dijelaskan, perdamaian
seringkali hanya menjadi wacana di meja diplomasi, sementara di lapangan
negara-negara besar terus memperkuat militer mereka.
“Umat Islam harus memahami bahwa
perdamaian sejati hanya bisa dicapai jika umat memiliki kekuatan yang cukup
untuk menjaga eksistensinya,” tandasnya.[] Aliya Ab Aziz