TintaSiyasi.id -- "Janganlah cita-citamu tertuju pada selain Allah. Harapan seseorang tak akan dapat melampaui Yang Maha Pemurah.” Demikian nasihat Ibnu Athaillah.
Nasihat dari Ibnu Athaillah ini mengandung pesan mendalam tentang orientasi hati dan tujuan hidup. Berikut penjelasan singkatnya:
1. Cita-cita Tertuju pada Allah: Ibnu Athaillah mengingatkan kita agar tidak menjadikan dunia atau makhluk sebagai tujuan utama hidup. Segala sesuatu selain Allah bersifat sementara, rapuh, dan terbatas. Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan, kita diarahkan untuk menggantungkan harapan pada Dzat Yang Maha Sempurna, Abadi, dan tidak pernah mengecewakan.
2. Harapan kepada Yang Maha Pemurah: Harapan seseorang tidak akan melampaui Allah karena Dia adalah sumber segala karunia. Jika kita berharap kepada makhluk, kita mungkin kecewa karena keterbatasannya. Namun, jika kita berharap kepada Allah, kita akan menemukan keluasan rahmat, kasih sayang, dan kebesaran-Nya yang tak terbatas.
3. Tawakal dan Keikhlasan: Nasihat ini juga mengajarkan untuk berserah diri dengan ikhlas. Ketika cita-cita kita selaras dengan kehendak Allah, maka segala usaha kita akan membawa keberkahan, dan hasilnya pun, baik atau tidak sesuai keinginan, tetap menjadi bentuk kebaikan dari-Nya.
Nasihat ini relevan untuk menenangkan hati yang sering kali resah karena terlalu fokus pada hal-hal duniawi. Dengan mengarahkan tujuan kepada Allah, hidup akan lebih bermakna dan penuh kedamaian.
Cita-cita Tertuju Hanya kepada Allah
Cita-cita tertuju hanya kepada Allah adalah inti dari perjalanan spiritual seorang hamba. Ini bermakna bahwa seluruh tujuan, harapan, dan usaha hidup diarahkan kepada keridhaan Allah semata. Berikut adalah penjelasan lebih mendalam mengenai prinsip ini:
1. Hakikat Cita-cita Tertinggi
Cita-cita yang tertuju kepada Allah berarti menjadikan Allah sebagai tujuan akhir dari segala amal dan niat. Segala sesuatu yang dilakukan, baik dalam pekerjaan, ibadah, maupun interaksi sosial, semata-mata ditujukan untuk mencari keridhaan-Nya. Ini adalah bentuk pengabdian yang tulus, dimana seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang layak menjadi pusat harapan.
2. Mengatasi Keterikatan kepada Dunia
Dunia ini fana dan penuh keterbatasan. Apabila kita menggantungkan cita-cita pada hal duniawi semata, seperti kekayaan, jabatan atau popularitas, maka hasilnya sering kali adalah kekecewaan. Namun, jika Allah menjadi tujuan, setiap proses dalam hidup, baik itu kemudahan maupun kesulitan, memiliki nilai karena semuanya diarahkan kepada-Nya.
3. Ketenangan dan Kebahagiaan Hati
Mengutamakan Allah dalam cita-cita membebaskan hati dari kegelisahan. Ketika seseorang memahami bahwa segala hal ada dalam kendali Allah, ia tidak akan terlalu takut kehilangan sesuatu atau kecewa dengan hasil yang tidak sesuai harapan. Ia yakin bahwa Allah adalah pemberi terbaik, bahkan lebih dari apa yang ia harapkan.
4. Praktik dalam Kehidupan
• Memperbaiki Niat: Sebelum melakukan sesuatu, tanyakan pada diri sendiri, “Apakah ini akan membawa saya lebih dekat kepada Allah?”
• Mengutamakan Ketaatan: Jadikan amal ibadah dan perbuatan baik sebagai prioritas, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
• Berserah Diri: Setelah berusaha, serahkan hasilnya kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah memberikan yang terbaik.
5. Firman Allah dan Hadis
Allah berfirman:
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
(Surat Adz-Dzariyat: 56).
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan menjadikan kekayaannya di dalam hatinya, mengumpulkan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina. Barangsiapa menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan menjadikan kefakiran di depan matanya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya."
(HR. Tirmidzi).
Cita-cita yang tertuju kepada Allah adalah inti dari makna hidup seorang hamba. Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan, kita menjalani hidup dengan keyakinan, kebahagiaan, dan keberkahan. Sebab, hanya kepada-Nyalah segala urusan kembali, dan hanya Dia yang mampu memenuhi segala harapan dengan sempurna.
Harapan Kepada Yang Maha Pemurah
Harapan kepada Yang Maha Pemurah adalah salah satu bentuk ibadah hati yang paling mulia. Mengarahkan harapan hanya kepada Allah, Yang Maha Pemurah, berarti meyakini bahwa hanya Dia yang mampu memberikan rahmat, kebaikan, dan ampunan secara tak terbatas. Berikut adalah penjelasan mengenai konsep ini:
1. Allah sebagai Sumber Segala Harapan
Allah adalah Al-Karim (Maha Pemurah) dan Ar-Rahman (Maha Pengasih). Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, baik kepada makhluk yang beriman maupun yang tidak beriman. Harapan kepada Allah berarti percaya bahwa:
• Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
• Rahmat-Nya tak terbatas, tidak tergantung pada usaha kita semata.
• Pemberian-Nya melampaui kebutuhan, karena Dia memberikan bukan hanya apa yang diminta, tetapi juga yang terbaik.
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’”
(Surat Az-Zumar: 53).
2. Harapan sebagai Wujud Iman
Harapan kepada Allah adalah salah satu tanda keimanan. Orang yang beriman yakin bahwa:
• Allah tidak pernah mengecewakan mereka yang bergantung kepada-Nya.
• Kebaikan Allah lebih luas daripada dosa dan kelemahan manusia.
• Segala kesulitan dan ujian adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga selalu ada harapan di balik setiap musibah.
“Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku.”
(HR. Muslim).
3. Menghindari Ketergantungan kepada Makhluk
Menggantungkan harapan kepada makhluk sering kali berujung pada kekecewaan. Sebaliknya, berharap kepada Allah membawa ketenangan, karena:
• Allah tidak pernah lalai atau lemah.
• Dia selalu memberikan sesuai dengan hikmah terbaik.
• Harapan kepada-Nya tidak pernah sia-sia.
"Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia akan mencukupkan keperluannya."
(Surat At-Talaq: 3).
4. Harapan dan Usaha yang Seimbang
Harapan kepada Allah tidak berarti pasif tanpa usaha. Justru, harapan yang benar mendorong seseorang untuk:
• Berusaha maksimal sesuai kemampuan.
• Bertawakal, menyerahkan hasilnya kepada Allah.
• Bersabar dan bersyukur, apapun hasilnya, karena yakin itu yang terbaik dari-Nya.
5. Inspirasi dari Kehidupan Rasulullah ﷺ
Rasulullah ﷺ selalu menanamkan harapan kepada Allah, bahkan dalam situasi tersulit. Dalam Perang Ahzab, ketika kaum Muslimin terkepung, beliau bersabda:
“Demi Allah, setelah ini, Allah pasti akan membukakan untuk kita wilayah Persia dan Romawi.”
(HR. Bukhari).
Penutup: Harapan yang Tak Pernah Putus
Harapan kepada Yang Maha Pemurah adalah energi hidup yang menjaga hati tetap tenang, optimis, dan teguh. Sebab, siapa yang berharap kepada Allah, tak akan pernah dikecewakan. Allah berfirman:
“Dan barangsiapa berharap kepada Allah, maka Dia akan mempermudah baginya jalan menuju kebahagiaan.”
(Surat Al-Lail: 5-7).
Mari kita jadikan Allah sebagai tempat menggantungkan segala harapan, karena Dia adalah Dzat yang Maha Memberi, Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui kebutuhan kita, bahkan sebelum kita memintanya.
Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo