Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Benarkah Pembatasan PPN 12% untuk Barang Mewah Tidak Berimbas pada Ekonomi Masyarakat Luas?

Senin, 06 Januari 2025 | 10:45 WIB Last Updated 2025-01-06T03:45:13Z

TintaSiyasi.id -- Di tengah arus deras penolakan pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% dari berbagai pihak, pemerintahan memilih untuk tetap menjalankan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), sehingga PPN 12% akan tetap berlaku terhitung mulai 1 Januari 2025. Namun, pemerintah mengklaim bahwa kebijakan ini tidak akan memberikan pengaruh yang berarti bagi rakyat menengah kebawah. Karena, hanya berlaku bagi barang dan jasa yang sifatnya mewah atau premium dan dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Di antaranya, kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan yang berstandar internasional yang berbayar mahal. (ekon.go.id, 02 Januari 2025)

Benarkah kenaikan PPN 12% pada barang dan jasa mewah tidak berimbas pada ekonomi masyarakat luas? Pastinya kenaikan ini tetap akan berdampak bagi masyarakat, baik yang terkategori menengah ke bawah maupun yang mampu. 

Menurut Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar berpendapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% berpotensi memicu inflasi yang tinggi pada tahun ini.

Berdasarkan perhitungan Celios, kenaikan PPN menjadi 12% bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp. 101.880,- per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp. 354.293,- per bulan. Padahal, kenaikan pajak tidak disertai dengan kenaikan gaji maupun pembukaan lapangan pekerjaan yang memadai. (m.antaranews.com, 18 Desember 2024)

Pada akhirnya rakyat kian menyadari beban hidup yang pasti bertambah akibat kebijakan ini. Sehingga, penolakan kenaikan PPN menjadi 12% per 1 januari 2025 terus berlanjut hingga saat ini. Mulai dari rakyat biasa hingga influencer kompak menyuarakan penolakan. Petisi ajakan menolak bayar pajak pun menggema. Bahkan, muncul seruan dari berbagai kalangan untuk melakukan aksi boikot pembayaran pajak buntut dari rencana kenaikan PPN. Berbagai aksi dijalan juga turut dilakukan oleh segelintir masyarakat.

Namun suara rakyat tetap tidak dihiraukan. Rakyat 'dipaksa' legowo menerima kebijakan ini, dengan alasan mendukung pembangunan infrastruktur negara seperti fasilitas umum dan pelayanan publik. 

Inilah potret pemimpin dalam sistem politik demokrasi. Di mana penguasa tidak berpihak pada rakyat, juga tidak menjalankan perannya sebagai raain (pengurus) urusan rakyat dan junnah (penjaga) rakyat. Siapa pun pemimpin yang terpilih dan bagaimana pun figurnya, maka ia tetap dan harus menjalankan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan 'keuntungan' dan 'asas manfaat' sebagai standar perbuatan.

Inilah akar permasalahan yang sesungguhnya, sistem ekonomi kapitalisme telah menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Pajak adalah satu keniscayaan demikian pula halnya dengan kenaikan besaran pajak dan berbagai macam jenis pungutan pajak. 

Padahal, ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka secara tidak langsung rakyat membiayai sendiri kebutuhannya terhadap berbagai layanan publik yang diperlukan. Artinya pemimpin telah kehilangan fungsinya sebagai raain (pengurus) urusan umat dan junnah (penjaga) umat, bahkan abai terhadap kesejahteraan rakyatnya. Lantas apa fungsi negara? 

Negara dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari sekedar regulator dan fasilitator, bukan pengurus rakyat. Mirisnya, regulasi yang dikeluarkan negara justru lebih sering berpihak dan melayani kepentingan para pemilik modal, termasuk dalam kebijakan pajak. Pasalnya, disaat negara menetapkan kenaikan pajak bagi barang dan jasa mewah, negara masih terus memberikan amnesti (keringanan/pengampunan) pajak pada para pengusaha. Alasannya, agar investasi pengusaha yang bermodal besar tetap terjaga bahkan meningkat.

Artinya kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme mengabaikan rakyat biasa. Rakyat hanya dijadikan sebagai sasaran berbagai pungutan negara yang dibayar. Namun, kesejahteraan rakyatnya tidak berbanding lurus dengan besaran pembayaran pajak yang dipungut oleh negara.

Berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam oleh negara khilafah pajak tidak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara, sehingga tidak ada pungutan wajib pajak bagi setiap rakyatnya. Negara memiliki 3 sumber pendapatan utama yakni, harta milik negara, harta milik umum, dan harta zakat. Sumber pendapatan yang banyak dan beragam ini juga telah ditetapkan pos pengeluarannya oleh syariat, dan semuanya bermuara pada kesejahteraan rakyat serta dakwah Islam. 

Sistem ekonomi Islam menetapkan dharibah/pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, dan hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu saja. Namun, dharibah dalam ekonomi Islam tentu berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Dharibah hanya diberlakukan disaat musim paceklik, gagal panen, dan ketika Baitul Mal (kas negara) dalam keadaan kosong. Sementara ada kebutuhan masyarakat yang harus diurus secepatnya.

Pungutan dharibah hanya dikenakan pada individu tertentu sesuai dengan dana yang ditentukan. Khilafah akan menerapkan sistem dharibah dan seluruh kebijakan negara dengan dorongan ketakwaan. Kebijakan yang ditetapkan khalifah tidak boleh menzalimi rakyat, apalagi manipulatif demi memenuhi kepentingan segelintir pihak. Sebab, sumber lahirnya kebijakan hanya berasal dari hukum syarak semata, bukan suara mayoritas. Hal ini karena kedaulatan tertinggi berada pada syari'at bukan ditangan rakyat (wakil rakyat/penguasa). 

Demikianlah pengaturan Islam terkait pungutan pajak. Apabila diterapkan, tentu akan menghilangkan kesengsaraan rakyat atas kewajiban pajak sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalisme saat ini. Allah SWT berfirman :

"Tidaklah pantas bagi Mukmin dan Mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata."
(TQS. Al-Ahzab ayat 36)

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update