TintaSiyasi.id -- Bumi Syam kembali mencuri perhatian dunia internasional. Tepatnya pada 7 Desember 2024 dunia dikejutkan dengan kabar runtuhnya rezim tiran Assad di Suriah. Suatu berita yang menggembirakan sekaligus mencengangkan. Pada akhirnya rakyat Suriah bisa terlepas dari cengkeraman dan penderitaan selama 54 tahun hidup di bawah penindasan rezim dinasti Assad. Rezim Assad dibangun oleh Hafez Assad selama 30 tahun (1971-2000) lalu dilanjutkan oleh anaknya Bashar Assad selama 24 tahun. Kepemimpinan sang ayah diraih dengan jalan kudeta, sementara anaknya melalui proses pemilu tanpa oposisi yang penuh dengan intimidasi.
Rezim Assad diketahui sebagai penguasa tiran di bawah naungan partai Ba’ath -Partai Sosialis Arab- yang bersifat sentralistis dan otoriter. Sekte syiah alawi yang merupakan rumpun minoritas kemudian mengangkangi kaum sunni di Suriah dan menjadikan mereka bulan-bulanan sepanjang usia kekuasaannya. Sejarah mencatat banyaknya penindasan, kekejaman, dan pembantaian yang dilakukan rezim Assad terhadap rakyat mereka sendiri. Terlebih setelah terjadinya perang saudara di Suriah sejak Maret 2011 silam.
Penjara Saydnaya yang dijuluki Lembaga Amnesty Internasional sebagai “Rumah Jagal Manusia” dibangun oleh Hafez Assad pada 1980-an. Awalnya diperuntukkan bagi tahanan politik, termasuk anggota kelompok islamis dan militan Kurdi. Seiring berjalannya waktu, jeruji besi ini berubah menjadi simbol kekejaman negara terhadap rakyat Suriah. Penjara ini dilengkapi dengan ruang krematorium (untuk membakar mayat) dan kamar garam sebagai tempat penyimpanan mayat darurat. Dilansir dari kantor berita Anadolu Agency di Suriah Selatan telah ditemukan 12 kuburan massal yang menjadi tempat bersemayam korban pembantaian brutal rezim.
Perlawanan rakyat Suriah untuk menggulingkan rezim Assad diwakili faksi-faksi militer, sebagai cermin betapa kuat tekad mereka untuk lepas dari kezaliman. Hay’at Tahrir as Sham (HTS) di bawah kepemimpinan Abu Mohammad Al Jaulani meniscayakan perjuangan ini pada puncak penaklukan ibu kota Damaskus 7 Desember 2024. Operasi pembebasan Suriah dilancarkan pada 27 November 2024. Kemudian disusul pada 30 November 2024 oleh oposisi militer Tentara Nasional Suriah (al Jaisy al Wathaniy as Suriy). Dan 1 minggu berselang setelah itu, ibu kota Damaskus berhasil ditaklukan, Assad melarikan diri ke Rusia, demikian pula tentara rezim melarikan diri ke luar Suriah.
Turki dan AS Promotor Operasi Pembebasan Suriah
Faksi-faksi militer di Suriah sesungguhnya adalah kelompok perlawanan kecil yang tersebar di Suriah Utara yang berbatasan dengan Turki. Keberadaan mereka selama ini terbatas pada mode bertahan dan hanya mampu menguasai kota-kota kecil di pinggiran Suriah. Sehingga menimbulkan tanda tanya bagaimana bisa dalam waktu kurang dari 2 minggu mereka bisa menumbangkan rezim Assad.
Ternyata memang di belakang mereka ada dukungan yang massif dan nyata dari Turki. Beberapa faksi oposisi Suriah mendapatkan sokongan dari Turki, seperti Front Pembebasan Nasional dan Kelompok Tentara Kemuliaan (Jama’ah Jaisy ‘Izzah). HTS sendiri mengadakan kerja sama dan komunikasi intens dengan Turki. Bahkan Turki membidani berdirinya Tentara Pembebasan Suriah pada Juli 2011 yang berganti nama menjadi Tentara Nasional Suriah di tahun 2017. Ini dilakukan Turki untuk mendesak Bashar meletakkan kekuasaannya sesuai hasil Konferensi Suriah II. Tapi Bashar senantiasa menolak dan akhirnya berujung kepada penyerangan 27 November.
Sebagaimana kita ketahui, Turki adalah negara proxi war AS di kawasan Eropa-Timur Tengah. Turki menjadi sekutu AS untuk meredam pengaruh sosialis Rusia-Cina dan Iran di kawasan tersebut. Tentu sepak terjang Turki tidak pernah meleset dari arahan Gedung Putih. Walaupun AS dengan serta merta membantah tudingan itu.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih Sean Savett pada 7 November mengatakan AS tidak ada hubungannya dengan serangan yang dipimpin HTS, yang ia sebut sebagai sebuah organisasi teroris. AS akan bekerja sama dengan sekutu dan mitranya untuk mendesak de-eskalasi dan melindungi personel dan posisi militer AS di kawasan Suriah dan sekitarnya.
Presiden AS terpilih Donald Trump berpidato di hadapan rakyat AS pada 9 Desember 2024 setelah bertemu dengan tim keamanan nasional AS. Ia mengatakan terkait Suriah agar AS tidak terlibat dengan konflik Suriah. Sementara Joe Bidden mencela rezim Assad dan mengatakan AS akan mendukung negara-negara tetangga Suriah termasuk Yordania, Lebanon, Irak, dan Zionis Israel, jika ada ancaman yang muncul. Ia menyebut sekarang adalah momen penuh risiko dan ketidakpastian, namun merupakan kesempatan terbaik bagi rakyat Suriah untuk membangun masa depan sendiri tanpa ada perlawanan.
Namun keberadaan AS tampak nyata di Kawasan Suriah dengan mengatasnamakan perang terhadap terorisme ISIS. AS hadir mengawasi dan memperhitungkan segala sesuatunya di sana. Hingga pada momen Rusia dan Iran lengah dan melemah disibukkan perang dan krisis masing-masing, AS memberikan lampu hijau kepada Turki untuk bergerak.
Suriah Pasca Rezim Assad
Setelah tumbangnya rezim Assad dibentuklah Pemerintahan Transisi Suriah di Damaskus. Perhatian dunia tertuju pada masa depan Suriah dan bentuk pemerintahan yang baru. Menlu Turki Hakan Fidan bertemu dengan rekan-rekannya dari Iran dan Rusia di Doha pada 7 Desember. Mereka mendesak dimulainya kembali proses politik di Suriah sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254, yang membahas isu-isu pemerintahan, proses konstitusi, dan pemilu yang diawasi oleh PBB. Di waktu yang sama, Menlu AS Antony Blinken mengatakan AS sangat mendukung transisi kekuasaan secara damai kepada pemerintah Suriah yang bertanggung jawab melalui proses yang inklusif yang dipimpin oleh warga Suriah.
Pada 9 Desember 2024, PM Suriah Mohammad Ghazi al Jalali menyerahkan kekuasaan kepada Mohammad Al Bashir selaku PM Pemerintahan Keselamatan Suriah yang akan berlangsung sampai dengan 1 Maret 2025.
Dari perkembangan ini nampak jelas adanya usaha menggiring Suriah mengambil bentuk pemerintahan demokrasi sesuai restu AS dan lembaga internasional. Terlebih diklaim, keberhasilan Suriah itu melibatkan setidaknya 12 faksi oposisi yang tidak hanya berasal dari kalangan Muslim namun juga kelompok sekuler dan nasionalis. Mereka juga mengklaim tragedi Maret 2011 adalah perang Assaad terhadap perjuangan pro demokrasi, sehingga wajar jika ujung dari perjuangannya untuk mengusung demokrasi tegak di bumi Suriah.
Visi perjuangan yang dinyatakan oleh Al Jaulani sendiri menggulingkan rezim Assaad dan mendirikan negara Islam yang inklusif di Suriah. Namun disinyalir oleh pengamat hubungan internasional Hasbi Anwar bisa jadi arah negara Islam yang dimaksud berupa negara Islam nasionalis atau bahkan negara nasionalis sekuler.
Islam Memandang Revolusi Suriah
Penguasa diktator senantiasa menyebarkan kezaliman. Sejatinya manusia akan membenci dan melawan kezaliman. Sehingga tak jarang penguasa yang zalim itu akan menggunakan cara-cara kejam untuk membungkam perlawanan rakyatnya. Sepanjang sejarah penguasa zalim selalu ditentang rakyatnya dan berakhir dengan tragis. Begitulah yang terjadi di Suriah. Umat yang muak bangkit melawan tanpa henti selama lebih dari 5 dekade.
Lawan dari kezaliman adalah keadilan. Keadilan yang hakiki hanyalah keadilan yang bersumber dari ajaran Islam, dan hanya bisa terealisasi ketika dijaga oleh Khilafah, yaitu institusi yang berwenang menegakkan keadilan lewat penerapan syariat Allah. Maka ketika meruntuhkan kezaliman sudah selayaknya menggantikannya dengan keadilan Islam. Ini yang diharapkan terjadi dalam revolusi Suriah.
Umat harus belajar banyak dari fakta sejarah. Seringkali agenda revolusi umat Islam digerakkan atau ditunggangi oleh musuh Islam itu sendiri, dan berakhir dibajak oleh mereka. Tanpa perubahan Islam ideologis, maka perubahan, revolusi, dan apa pun itu hanya akan meraih keberhasilan yang bersifat semu. Umat akan tetap terkungkung dalam hegemoni musuh Islam dan ideologi mereka. Rezim lama hanya sekadar berganti rezim baru namun dengan pola yang sama yang tidak akan memberi ruang bagi Islam, dan umatnya akan senantiasa dipaksa melayani kepentingan asing.
Dengan menegakkan khilafah maka umat akan mampu bangkit secara hakiki dan tampil indpenden di hadapan bangsa lain. Terbebas dari penjajahan apa pun bentuknya. Khilafah akan mengedepankan periayahan umat, penjagaan terhadap kelangsungan kehidupan Islam, serta menyatukan negeri-negeri kaum Muslimin, membebaskan tanah kaum Muslimin yang diinjak-injak musuh Islam.
Tugas para pengemban dakwah Islam kaffah sampai kapan pun sangat dibutuhkan umat, agar umat bisa kembali kepada fitrahnya. Dengan tsiqah kepada thariqah dakwah Rasul yang bersifat fikriyyah-siyasiyah-la ‘unfiyah, pengemban dakwah harus mampu mengembalikan pemahaman umat secara utuh dan membuat umat mencampakkan ide-ide kufur yang selama ini menggelayuti kehidupan mereka. Semoga hari-hari kita didekatkan kepada kebangkitan yang hakiki itu. InsyaAllah.[]
Yanti
Aktivis Muslimah