TintaSiyasi.id -- Ungkapan ini adalah doa yang indah dan penuh makna. Artinya adalah harapan agar Allah memberikan inspirasi kepada seseorang sehingga mereka lebih dekat kepada-Nya.
Doa seperti ini mencerminkan kerinduan untuk mendapatkan petunjuk ilahi dan kekuatan spiritual dalam memperbaiki hubungan dengan Allah. Semoga inspirasi itu menjadi nyata dalam bentuk hidayah, kebijaksanaan, dan amal saleh yang membawa kedamaian dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Ilham sejati mengalir tanpa sebab yang nyata dan mengantarmu menuju Allah dengan kerendahan hati.
Kata-kata ini sungguh indah dan penuh hikmah. Ilham sejati memang sering datang tanpa tanda-tanda yang jelas, seolah menjadi anugerah tak terduga dari Allah. Ia membawa hati manusia untuk lebih merasakan kehadiran-Nya, dengan sikap penuh kerendahan hati karena menyadari bahwa segalanya berasal dari-Nya.
Kerendahan hati ini menjadi kunci mendekatkan diri kepada Allah, sebab hanya dengan hati yang tunduk dan terbuka, manusia mampu menerima cahaya petunjuk yang mengalir melalui ilham tersebut.
Hanya karena rahmat-Nya, kita menyadari Keesaan-Nya dan datang Menuju kehadiran-Nya. Sungguh, ungkapan ini penuh dengan kebijaksanaan spiritual. Hanya dengan rahmat Allah, manusia mampu menyadari Keesaan-Nya (tauhid) dan merasakan panggilan untuk mendekat kepada-Nya. Tanpa rahmat itu, hati kita mungkin akan tetap terhijab oleh kesibukan dunia dan kelemahan diri.
Kesadaran ini adalah bentuk anugerah terbesar karena dengannya kita diundang untuk hadir di hadapan-Nya dengan keimanan, keikhlasan, dan rasa syukur. Rahmat-Nya adalah sumber segala petunjuk, dan hanya karena kasih sayang-Nya, manusia dapat melangkah di jalan yang benar.
Bagaimana meraih rahmat Allah dan menuju penyaksian cahaya Allah menurut Ibnu Athaillah.
Menurut Ibnu Athaillah as-Sakandari, seorang sufi besar dan penulis kitab Al-Hikam, rahmat Allah adalah anugerah yang hanya bisa diraih melalui upaya mendekatkan diri kepada-Nya dengan kerendahan hati, kesungguhan ibadah, dan penghayatan spiritual. Berikut adalah beberapa langkah yang beliau ajarkan untuk meraih rahmat Allah dan menuju penyaksian Cahaya-Nya:
1. Tawakkal dan Penyerahan Total kepada Allah
• Ibnu Athaillah menekankan pentingnya menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan keyakinan penuh bahwa hanya Dia yang mengatur dan mencukupi segala kebutuhan makhluk.
• Dalam Al-Hikam, beliau berkata:
“Istirahatkan dirimu dari mengatur segala urusan, karena apa yang Allah atur untukmu lebih baik daripada apa yang kamu atur untuk dirimu sendiri.”
Dengan tawakkal, hati menjadi tenang, dan rahmat Allah lebih mudah mengalir.
2. Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)
• Penyucian jiwa adalah kunci utama untuk menerima rahmat dan menyaksikan Cahaya-Nya. Penyucian ini dilakukan dengan menjauhkan diri dari dosa, memperbanyak istighfar, dan menghiasi hati dengan akhlak mulia.
• Menurut Ibnu Athaillah:
“Bagaimana mungkin hati dapat menyaksikan Cahaya Allah jika ia terhijab oleh keinginan hawa nafsu?”
Penyucian jiwa membuka tabir antara manusia dan Allah, memungkinkan manusia untuk menyaksikan tanda-tanda kehadiran-Nya.
3. Dzikir dan Kontemplasi
• Berdzikir (mengingat Allah) dengan hati yang tulus adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membuka jalan menuju Cahaya-Nya.
• Ibnu Athaillah berkata:
“Dzikir adalah lentera hati. Jika tidak ada lentera di dalam hati, maka bagaimana ia dapat melihat?”
Dzikir yang dilakukan dengan konsisten akan menghidupkan hati dan menjadikannya peka terhadap kehadiran Allah.
4. Fana’ dan Pengosongan Diri
• Fana’ adalah keadaan spiritual dimana seseorang melepaskan egonya dan menyadari Keesaan Allah sepenuhnya.
• Dalam Al-Hikam, Ibnu Athaillah menulis:
“Jika Allah membuka satu pintu makrifat kepadamu, jangan pedulikan banyaknya amalmu. Sebab, Allah membukakan pintu itu bukan karena amalmu, tetapi karena rahmat-Nya.”
Dengan fana’, manusia menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, dan hanya dengan rahmat-Nya mereka dapat mendekat kepada-Nya.
5. Kesabaran dan Syukur
• Meraih rahmat Allah memerlukan kesabaran dalam menghadapi ujian hidup dan rasa syukur atas segala nikmat-Nya.
• Ibnu Athaillah menyatakan:
“Siapa yang tidak bersyukur atas nikmat, berarti ia berusaha mencabutnya. Siapa yang bersyukur, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan ikatan yang kokoh.”
6. Penyaksian Cahaya Allah (Makrifatullah)
• Menyaksikan Cahaya Allah bukanlah dengan mata kepala, melainkan dengan mata hati yang telah tersucikan. Penyaksian ini adalah puncak rahmat Allah kepada hamba-Nya, dimana seseorang merasa hadir di hadapan-Nya dalam setiap saat.
• Cahaya Allah, sebagaimana dikatakan Ibnu Athaillah, hanya bisa disaksikan jika hati telah bersih dari kegelapan duniawi dan ego.
Kesimpulan
Meraih rahmat Allah dan menuju penyaksian Cahaya-Nya, menurut Ibnu Athaillah, membutuhkan perjalanan spiritual yang mendalam: penyucian jiwa, keikhlasan dalam ibadah, dzikir yang terus-menerus, serta kerendahan hati di hadapan Allah. Namun, semua ini tetap bergantung pada rahmat-Nya, yang merupakan anugerah terbesar yang hanya diberikan kepada mereka yang sungguh-sungguh mendekat kepada-Nya.
Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo