Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tidak Ada Efek Jera, Hanya 6,5 Tahun atas Korupsi 300 Triliun?

Senin, 30 Desember 2024 | 22:54 WIB Last Updated 2024-12-30T15:54:46Z
TintaSiyasi.id -- Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi timah dan terbilang jauh dari tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara. Putusan ini menuai kritik dari berbagai pihak.

Kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah secara bersama-sama ini menyebabkan kerugian negara Rp300 triliun. Harvey juga disanksi membayar denda Rp1 miliar. Jika tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan 6 bulan.

Harvey juga dihukum membayar uang pengganti senilai Rp210 miliar. Apabila tidak dibayar, maka harta bendanya akan dirampas dan dilelang untuk mengganti kerugian. Jika jumlahnya tidak mencukupi, maka akan diganti hukuman penjara (detik.com, 26/12/2024).

Sontak saja netizen heboh dan membandingkan hukuman Harvey dengan hukuman koruptor Jianping di Tiongkok. Jika Harvey Moeis mendapat hukuman ringan yang rasanya tak sebanding dengan kerugian negara sebagai akibatnya, lain halnya dengan Jianping. Jianping justru baru saja dieksekusi mati di Kota Hohhot, Mongolia Dalam, pada Selasa (17/12/2024), dilansir merdeka.com (24/12/2024).

Jianping mendapat hukuman maksimal, yaitu hukuman mati, usai terbukti melakukan korupsi senilai 3 miliar yuan atau setara dengan nominal Rp6,7 triliun. Putusan Jianping dilakukan usai permintaan terakhir terdakwa untuk bertemu keluarganya dipenuhi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi telah sukses menjelajah di semua lembaga. Seluruh kebijakan yang ditetapkan seakan-akan mustahil dilepaskan dari praktik korupsi. Semua presiden terpilih menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi di awal masa jabatannya, tetapi selalu mengecewakan dalam pelaksanaannya. Buktinya, kian hari praktik korupsi semakin bertambah banyak, baik jumlah pelaku maupun jumlah nominalnya. Kalau dulu masih korupsi senilai ratusan juta, lalu naik menjadi miliaran rupiah, bahkan hingga detik ini naik lagi di angka fantastis, yaitu ratusan triliun rupiah. Lalu, apa yang salah?

Pertama, sekularisme. Sistem sekuler telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan pada agama, tetapi berlandaskan hawa nafsunya. Penguasa dan para pejabatnya tidak memiliki kontrol internal (ketakwaan) untuk mencegah dirinya dari melakukan perbuatan dosa. Karena mereka telah membuang agama dari kehidupan bernegara dan menjadikan standar perbuatan mereka bukan halal dan haram, melainkan manfaat materi semata.

Kehidupan sekuler juga menghilangkan kontrol eksternal. Kehidupan yang individualistik menjadikan masyarakat fokus pada kehidupannya sendiri tanpa memedulikan kehidupan orang lain. Hubungan antarmanusia pun hanya sebatas materi. Inilah yang menjadikan korupsi berjamaah semakin merajalela. Pelaku korupsi kompak saling menutupi perbuatan maksiat mereka agar kepentingan aman terjaga daripada harus saling melaporkan. Karena sebenarnya mereka saling tersandera satu sama lain.

Kedua, sistem politik demokrasi. Sistem yang berbiaya mahal akan menumbuhsuburkan politik transaksional. Seseorang yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen pasti membutuhkan biaya besar. Maka, dari sinilah lahir para cukong politik, yaitu orang-orang yang siap mendanai untuk pemenangan salah satu calon. Jika calon cukong menang, sudah pasti agenda awal di masa jabatannya adalah sibuk mengembalikan uang milik sponsornya, bukan memikirkan kesejahteraan rakyat. Alhasil, dia akan melakukan berbagai cara, termasuk mencari celah untuk korupsi dalam setiap programnya.

Ketiga, sanksi bagi koruptor tidak menciptakan efek jera sebab lahir dari akal manusia yang lemah. Terbukti nyata pada kasus Harvey Moeis yang hanya dihukum 6,5 tahun penjara atas kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

Ditambah lagi suguhan sel tahanan koruptor yang mewah, berbeda 180 derajat dengan sel tahanan rakyat biasa. Semua itu makin mengikis rasa keadilan di tengah rakyat.

Oleh karena itu, jangan pernah berharap dalam sistem demokrasi, korupsi akan mampu diberantas. Justru demokrasi yang menyebabkan tindak korupsi makin menjadi. Para pejabat berjamaah melakukan korupsi, politik saling sandera menjadikan mereka saling menutupi perbuatan maksiat agar tidak terbongkar.

Khilafah Menyelesaikan Masalah Korupsi

Islam telah menetapkan bahwa korupsi termasuk perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaa’in (khianat). Karena pelaku korupsi melakukan penggelapan uang yang diamanatkan (dipercayakan) kepada seseorang. Dengan demikian, korupsi hukumnya haram; pelakunya berdosa karena sudah melakukan kemaksiatan.

Adapun cara khilafah menyelesaikan masalah korupsi bahkan mencegah korupsi, antara lain:

Pertama, penerapan ideologi Islam. Hal tersebut meniscayakan penerapan syariat Islam secara kafah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Tugas pemimpin adalah untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pula dengan para pejabat lainnya.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan individu akan mencegah seseorang untuk berbuat maksiat. Sehingga, tatkala dia menjadi pejabat negara, maka dia akan berusaha amanah untuk mengurus rakyat. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa senantiasa diawasi oleh Allah Swt.

Ketika takwa dibalut dengan zuhud (memandang rendah dunia dan qanaah dengan pemberian Allah Swt.), maka para pejabat negara yang terpilih benar-benar amanah. Karena bagi mereka, dunia bukanlah tujuan. Akan tetapi, tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih rida Allah Swt. semata.

Mereka sangat memahami bahwa menjadi pemimpin, pejabat, atau pegawai negara adalah wasilah untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin, bukan demi kepentingan materi ataupun memperkaya diri dan golongannya.

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i, yaitu ri’ayah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau para elite.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, perbuatan korupsi merupakan kemaksiatan dan pelaku maksiat tidak dibiarkan begitu saja. Setiap kemaksiatan dihukumi sebagai kejahatan, dan pelaku kejahatan wajib diberi sanksi. Untuk perbuatan korupsi, syariat telah menetapkan pelakunya akan diberi sanksi takzir.

Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizhamul Uqubat (hal. 78–89) menjelaskan, takzir adalah sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.

Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran dari hakim, hingga hukuman berat seperti penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman takzir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.

Selain pelaku korupsi diberi sanksi takzir, syariat menetapkan harta hasil korupsi termasuk harta ghulul (harta yang diperoleh melalui kecurangan). Harta ghulul hukumnya haram.

Rasulullah Saw. bersabda:
"Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim)

Harta ghulul wajib diserahkan kepada negara untuk dimasukkan ke baitul maal. Sanksi yang tegas dan konsisten ini akan memberi efek jawabir (penebus dosa) dan zawazir (pencegah). Khalifah wajib berlaku adil kepada siapa pun yang terbukti bersalah melakukan korupsi, termasuk jika pelakunya adalah teman sendiri, kerabat, ataupun sanak saudara.

Demikianlah sanksi bagi koruptor dalam khilafah yang niscaya bisa menimbulkan efek jera dan mampu mencegah korupsi.

Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

Opini

×
Berita Terbaru Update