Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Terjadi Lagi, Seorang Anak Membunuh Keluarga Sendiri: Inikah Potret Kegagalan Pendidikan Keluarga dan Sekolah di Negeri Sekuler Demokratis?

Senin, 09 Desember 2024 | 22:05 WIB Last Updated 2024-12-09T15:06:33Z
TintaSiyasi.id -- Terjadi lagi. Seorang anak membunuh keluarga sendiri. Terbaru, remaja berinisial MAS (14) menusuk ayah, ibu, dan neneknya menggunakan pisau dapur di rumah mereka di Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (30/11/2024) sekitar pukul 01.00 WIB. Ayah dan nenek pelaku, APW (40) dan RM (69), tewas di lokasi kejadian. Sementara ibu pelaku, AP (40), selamat tetapi tengah kritis di rumah sakit.

Sebelumnya, remaja perempuan berinisial KS (17) tega menusuk ayah kandungnya, S (55), dengan pisau saat korban terlelap di dalam toko perabotnya di Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (21/6/2024). Setelahnya, KS mengambil barang berharga ayahnya lalu kabur. Namun polisi berhasil menangkapnya (kompas.com, 1/12/2024). Sementara itu, seorang remaja putri di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan sadis menganiaya ibunya dengan parang hingga kritis di halaman rumah, Selasa (24/9/2024) (sindonews.com, 24/9/2024).

Sungguh mengerikan. Sekaligus susah dinalar. Betapa mudahnya anak menganiaya hingga membunuh orang tua. Padahal daging dan darah mereka melekat dengan dirinya. Mirisnya lagi, tragedi ini tak hanya terjadi sekali. Tapi berulang kali. Bila demikian, ini tak lagi kasus individual. Namun terkait dengan sistem hidup dan aturan yang melingkupi. Diakui atau tidak, inilah potret buram sebagai hasil pendidikan keluarga dan sekolah di negeri sekuler demokratis.

Kelindan Penyebab Anak Jahat pada Keluarga Sendiri

Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),  Dian Sasmita, faktor yang perlu disoroti dalam kasus pidana anak yakni perihal pengasuhan keluarga dan lingkungan pendidikan. Kedua faktor ini berkontribusi besar terhadap kehidupan anak. Karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan di dua lingkungan tersebut
(tvonenews.com, 1/12/2024).

Adapun Psikolog Anak dan Remaja, Novita Tandry mengatakan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pelaku melakukan pembunuhan terhadap keluarganya. Faktornya bukan tunggal tapi akumulasi. Kombinasi antara faktor psikologis, sosiologis, dan lingkungan (tvnews.com, 30/11/2024).

Tentu kita sepakat bahwa penyebab kasus anak bunuh keluarga  tak hanya berhenti pada kesalahan si pelaku sendiri, namun ada faktor lain yang saling berkelindan. Setidaknya ada beberapa hal yang melingkupinya;

Pertama, keluarga. Keluarga adalah institusi dasar pembentukan karakter. Bila dasar ini tidak kuat atau prosesnya terganggu maka bisa memengaruhi perilaku anak. Berikut beberapa ketidakidealan terkaitnya; 

a. Lingkungan keluarga yang tidak sehat. Jika  anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kekerasan, ketidakadilan, atau ketidakharmonisan, bisa berdampak negatif pada psikologis dan perilaku mereka.

b. Minim pendidikan agama dan moral. Pendidikan agama yang baik adalah kunci membentuk akhlak mulia. Dalam Islam, mengajarkan anak tentang iman dan syariat (akhlak) sangat penting dalam membentuk perilaku mereka.

c. Pengaruh buruk dari orang tua atau lingkungan keluarga. Dalam banyak kasus, anak sering meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya, termasuk orang tua atau anggota keluarga lainnya. Jika perilaku orang tua buruk, anak bisa meniru dan menganggapnya sebagai hal wajar.

d. Kurangnya pengawasan dan kasih sayang. Anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua cenderung merasa terabaikan dan mencari perhatian melalui cara salah. Seharusnya orang tua memberikan perhatian yang cukup, kasih sayang, dan pengawasan terhadap mereka.

Kedua, pengaruh lingkungan (eksternal keluarga). Selain keluarga, faktor lingkungan sosial juga membentuk perilaku anak. 

a. Sekolah. Kurikulum berbasis sekularisme telah memisahkan agama dari pengajaran ilmu-ilmu lainnya. Pun pendidikan agama hanya disampaikan misalnya sepekan sekali. Bagaimana mampu membekali anak menyikapi pengaruh global setiap hari? Karakter anak yang terbentuk pun akhirnya jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri. 
 
b. Teman sebaya. Anak yang sering berinteraksi dengan teman (sirkel) yang tidak baik akan membawanya pada perilaku tak baik pula. Seiring dengan bonding lemah di keluarga, anak akan cenderung mengikuti saran/perilaku temannya. 

c. Media. Anak dan remaja mana yang tidak dekat dengan penggunaan media hari ini? Sementara media tak lepas dari konten pornografi, kekerasan, dan sampah informasi. Bila mereka mengakses tanpa filter iman dan ilmu memadai, maka tontonan akan jadi tuntunan. 

Ketiga, negara. Negara sebagai institusi pelindung dan pengatur urusan rakyat pun saat ini belum optimal menjalankan tugasnya. Terlebih masih menerapkan demokrasi sekularistik yang berbasis kebebasan individual dan menjauhkan agama dari berbagai sisi kehidupan. Sehingga kerusakan demi kerusakan terjadi karena difasilitasi oleh sistem hidup hari ini. 

Pada akhirnya, kelindan faktor keluarga, lingkungan (masyarakat), dan negara yang berwarna sekularisme kapitalistik liberalistik inilah yang mengantarkan generasi terjebak pada aksi kekerasan hingga menganiaya bahkan membunuh keluarga sendiri.

Faktor Penyebab Negara Belum Berhasil Mengatasi Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

Negara seringkali menghadapi berbagai tantangan dalam mencegah dan mengatasi perbuatan anak yang berhadapan dengan hukum. Ada beberapa alasan mengapa upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil;

Pertama, keterbatasan sistem pendidikan dan penyuluhan. 

a. Sistem pendidikan sekuler tidak sepenuhnya mengajarkan nilai-nilai moral dan karakter agama yang kuat.  Akibatnya, anak lebih rentan terlibat dalam perilaku kriminal.

b. Kurangnya program penyuluhan bagi orang tua atau keluarga mengenai pentingnya pengasuhan yang baik dan dampak dari lingkungan keluarga yang tidak stabil juga menjadi faktor penghambat.

Kedua, kelemahan dalam penegakan hukum. 

a. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan tidak adanya sistem yang efektif untuk menangani kasus anak sering menjadi masalah utama. Ketika anak terlibat tindak kriminal, seringkali mereka tidak mendapatkan perlakuan yang sesuai usia dan kondisinya.

b. Hukum yang ada mungkin kurang sensitif terhadap kebutuhan rehabilitasi anak, lebih fokus pada hukuman daripada pemulihan dan reintegrasi sosial.

Ketiga, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur. 

a. Negara sering kekurangan dana dan fasilitas untuk mendukung rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum. Lembaga pemasyarakatan untuk anak atau tempat rehabilitasi yang ramah anak seringkali tidak mencukupi, dan kualitas fasilitas tersebut masih rendah.

b. Kurangnya pelatihan bagi petugas penegak hukum yang menangani kasus anak membuat mereka kurang siap dalam menangani perkara ini secara sensitif dan sesuai kebutuhan anak.

Keempat, faktor sosial ekonomi. 

a. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran, berkontribusi pada meningkatnya jumlah anak yang terlibat dalam kejahatan. Anak-anak dari keluarga miskin lebih rentan terjebak dalam perilaku kriminal sebagai cara bertahan hidup atau karena kurangnya akses ke pendidikan dan pekerjaan layak.

b. Stigma sosial terhadap anak-anak yang sudah berhadapan dengan hukum seringkali membuat reintegrasi sosial mereka menjadi sulit, dan ini menyebabkan mereka kembali terjerumus ke dalam perilaku negatif.

Kelima, kelemahan dalam sistem pengawasan dan pembinaan. 

a. Pengawasan terhadap anak-anak yang berada dalam sistem peradilan atau yang telah menjalani hukuman seringkali tidak cukup. Tanpa pendampingan yang tepat, anak-anak ini bisa kembali terlibat dalam tindak kriminal setelah menjalani hukuman.

b. Proses rehabilitasi yang belum optimal dan kurangnya program edukatif serta membentuk karakter anak membuat upaya untuk mengurangi perbuatan berhadapan dengan hukum menjadi kurang efektif.

Keenam, kurangnya keterlibatan masyarakat. Kurangnya peran aktif masyarakat dalam mendukung program pencegahan dan rehabilitasi anak juga berkontribusi pada kegagalan. Jika masyarakat tidak memahami pentingnya pendekatan yang berbasis pada pemulihan, anak-anak yang terlibat dalam masalah hukum cenderung dijauhi dan dikucilkan, alih-alih diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.

Ketujuh, kesulitan dalam menangani kasus anak yang khusus. Anak yang terlibat dalam kejahatan tidak selalu berasal dari latar belakang sama, sehingga pendekatan satu untuk semua tidak selalu efektif. Misalnya, anak dengan gangguan mental atau trauma berat membutuhkan pendekatan rehabilitasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan anak yang terlibat kejahatan kecil.
   
Secara keseluruhan, mencegah dan mengatasi perbuatan anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan pendekatan yang komprehensif.  Dari pendidikan, keluarga, penegakan hukum yang ramah anak, hingga keterlibatan masyarakat. Negara perlu meningkatkan sistem pendidikan, memperkuat lembaga rehabilitasi anak, dan memperbaiki mekanisme pengawasan agar anak-anak yang berhadapan dengan hukum dapat memiliki kesempatan untuk berubah dan berintegrasi kembali dengan masyarakat secara positif.

Strategi Terbaik oleh Negara untuk Mencegah Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum

Dalam ajaran Islam, terdapat berbagai prinsip dan nilai yang dapat dijadikan dasar untuk strategi pencegahan anak berhadapan dengan hukum. Islam menekankan pentingnya pendidikan, pembentukan karakter, perlindungan terhadap anak, dan keadilan sosial, yang semuanya berperan penting dalam mengurangi risiko anak terlibat dalam kejahatan. 

Berikut adalah beberapa strategi dalam perspektif Islam yang dapat diterapkan oleh negara untuk mencegah kasus anak berhadapan dengan hukum;

Pertama, pendidikan agama (akhlak) sejak dini. 

a. Pendidikan agama yang kuat. Islam mengajarkan pentingnya pendidikan agama sejak usia dini untuk membentuk akhlak anak. Negara dapat mendorong keluarga untuk mengajarkan nilai-nilai agama (akhlak) seperti kejujuran, kebaikan, dan rasa tanggung jawab. Pendidikan ala Islam akan membentuk karakter, mencegah perilaku kriminal, dan membimbing mereka untuk menjalani hidup dengan penuh integritas.

b. Pendidikan karakter dalam sistem pendidikan. Negara harus memastikan bahwa pendidikan agama dan karakter tidak hanya terbatas pada ajaran di rumah atau masjid, tetapi juga diterapkan dalam kurikulum sekolah formal. Nilai-nilai Islam, seperti kasih sayang (rahmah), keadilan (‘adl), dan saling menghormati, harus diajarkan dalam konteks sosial untuk membentuk akhlak mulia pada anak.

Kedua, penguatan peran keluarga sebagai pondasi utama. 

a. Tanggung jawab orang tua. Islam menekankan bahwa orang tua adalah contoh pertama bagi anak-anak. DalamQS. At-Tahrim: 6, Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." Negara dapat mendorong keluarga untuk menjalankan peran mereka dalam mendidik anak dengan kasih sayang, pengawasan, dan memberi contoh yang baik.

b. Pendidikan dengan kasih sayang. Dalam Islam, pendidikan anak harus didasarkan pada kasih sayang dan kelembutan, bukan kekerasan. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi" (HR. Bukhari dan Muslim). Negara perlu memastikan bahwa keluarga mendapatkan dukungan yang cukup, termasuk melalui program penyuluhan dan pelatihan bagi orang tua tentang cara mendidik anak. 

Ketiga, perlindungan anak dari kekerasan dan eksploitasi. 

a. Pencegahan kekerasan terhadap anak. Islam tegas melarang kekerasan terhadap anak. Negara harus melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, atau psikologis, yang merusak perkembangan dan meningkatkan risiko mereka terjerumus kejahatan.

b. Pemberantasan eksploitasi anak. Islam mengajarkan bahwa anak berhak hidup dengan aman dan nyaman. Negara harus memberikan perlindungan maksimal terhadap anak-anak dari eksploitasi seksual, pekerja anak, dan bentuk eksploitasi lainnya yang merusak moral dan fisik mereka.

Keempat, pendekatan restoratif dalam penegakan hukum. Dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, Islam menekankan pendekatan yang adil dan penuh kasih sayang. Negara dapat menerapkan prinsip keadilan restoratif, yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk bertobat dan memperbaiki diri melalui program rehabilitasi, bukan sekadar memberi sanksi. 

Kelima, pengawasan sosial dan pembinaan lingkungan. 

a. Membangun masyarakat yang peduli. Islam mengajarkan pentingnya solidaritas sosial dan saling menolong. Negara dapat memfasilitasi pembentukan komunitas-komunitas yang peduli terhadap kesejahteraan anak dan lingkungan sekitar, seperti kelompok masyarakat yang fokus pada pencegahan kejahatan anak, pembinaan remaja, dan kegiatan sosial yang positif.

b. Masyarakat yang mendidik dan melindungi. Dalam Islam, setiap individu bertanggung jawab untuk menjaga kebaikan bersama. Negara dapat melibatkan masyarakat dalam program pencegahan dan pembinaan bagi anak-anak, seperti program mentor atau pendampingan bagi anak-anak yang berisiko.

Keenam, perlakuan adil dan ramah anak dalam sistem peradilan. 

a. Sistem peradilan yang ramah anak. Dalam ajaran Islam, anak-anak dipandang sebagai amanah yang harus dilindungi dan dibimbing. Oleh karena itu, negara perlu memastikan bahwa sistem peradilan yang menangani anak-anak yang terlibat dalam kejahatan, ramah anak dan berorientasi pada pemulihan. Penegakan hukum harus mempertimbangkan usia dan kondisi psikologis anak, serta memberikan hukuman yang lebih ringan dan mendidik, bukan yang bersifat menghukum secara berlebihan.

b. Rehabilitasi dan pendidikan. Islam menekankan pada pembinaan dan pemulihan. Negara harus menyediakan fasilitas rehabilitasi bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, dengan fokus pada pendidikan dan pembinaan karakter, bukan sekadar hukuman fisik. Hal ini selaras dengan prinsip Islam tentang memberikan kesempatan bagi seseorang untuk berubah dan bertobat.

Ketujuh, peningkatan kesejahteraan sosial. 

a. Mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial. Islam memandang bahwa kemiskinan dan ketidakadilan sosial dapat memicu perilaku negatif. Negara harus mengurangi kemiskinan melalui kebijakan yang lebih inklusif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan aman bagi anak-anak.

b. Penyediaan peluang pendidikan dan pekerjaan. Memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan pekerjaan akan mengurangi potensi anak terjebak dalam perilaku kriminal. Pun dapat mengurangi ketimpangan sosial yang menjadi akar dari banyak masalah.

Kedelapan, Menumbuhkan kesadaran sosial dan spiritualitas. 

a. Menumbuhkan kesadaran agama dan sosial. Negara harus mendukung berbagai inisiatif yang menumbuhkan kesadaran agama, sosial, dan moral dalam masyarakat. Melalui kajian agama, seminar, dan program sosial yang berbasis pada nilai-nilai Islam, anak dan remaja dapat diberikan pengetahuan tentang bahaya kejahatan dan pentingnya menjaga diri dari perilaku menyimpang.

b. Membentuk karakter spiritual. Islam mengajarkan bahwa memperkuat hubungan dengan Allah SWT adalah cara terbaik untuk mencegah perilaku negatif. Program yang mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Tuhan, berdoa, dan menjaga akhlak dapat membentuk karakter spiritual mereka yang lebih kuat, sehingga mereka lebih mampu menanggulangi godaan yang dapat mengarah pada tindak kriminal.
 
Demikianlah, strategi dalam ajaran Islam untuk mencegah anak berhadapan dengan hukum melibatkan pendekatan yang holistik, yang mencakup pendidikan agama (akhlak), penguatan keluarga, perlindungan terhadap anak, keadilan sosial, serta rehabilitasi dan pemulihan. Negara wajib menyediakan lingkungan yang mendukung bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai ajaran Islam. 

Dengan menerapkan nilai-nilai ini, negara dapat mengurangi jumlah anak yang terlibat dalam tindak kriminal, menciptakan masyarakat yang lebih adil, dan memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk mencapai potensi terbaik mereka. Mampukah sistem demokrasi sekuler mewujudkan keidealan ini?


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Opini

×
Berita Terbaru Update