Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sindikat Jual Beli Bayi, Buah Penerapan Sekularisme

Kamis, 19 Desember 2024 | 20:41 WIB Last Updated 2024-12-19T13:41:50Z


Tintasiyasi.id.com -- Sungguh mengherankan, padahal sudah lama JE dan DM diketahui melakukan kegiatan jual-beli bayi dengan modus perawatan bayi, tapi mengapa baru sekarang ditangkap lagi?

“Para tersangka ini telah melakukan penjualan ataupun berkegiatan sejak tahun 2010,” kata DirekturDitreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi saat konferensi pers di Mapolda DIY, Sleman Yogyakarta pada (Kamis,12/12/2024).

Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda DIY telah meringkus dua oknum bidan berinisial JE (44 tahun) dan DM (77 tahun) di sebuah rumah bersalin di Demakan Baru, Tegalrejo, Yogyakarta.

Diketahui bahwa keduanya menjual bayi dengan kisaran angka 55-65 juta untuk bayi perempuan, Sementara untuk bayi laki-laki berkisar antara 65-85 juta. Keduanya pun dijerat pasal 83 dan pasal 76 F UU Perlindungan anak dengan ancaman hukumanpidana penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.

Ternyata kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi, bahkan JE diketahui pernah menjadi residivis pada tahun 2020 dan telah divonis kurungan selama 10 bulan. Namun pada tahun 2024, ia kembali melakukan aksinya. Bahkan selama kurun waktu 15 tahun beroperasi, mereka telah berhasil menjual sekitar 66 bayi. 

Sulit Diberantas

Bila kita teliti lebih dalam lagi, ada beberapa hal yang menyebabkan kasus seperti ini terus berulang dan marak terjadi hingga susah diberantas, diantaranya :

Pertama, adalah faktor ekonomi, hampir sebagian besar orng tua yang menjual bayinya mengungkapkan alasannya adalah kebutuhan ekonomi yang mendesak. Sulitnya mendapatkan uang dan mencari pekerjaan membuat mereka berpikir bagaimana mendapatkan uang secara instan.

Kedua, ketidak siapan orang tua menerima kehadiran anak. Hal ini biasanya terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan akibat pergaulan bebas. Mereka inilah yang kebanyakan menjadi target sasaran penjualan bayi.

Ketiga, lemahnya pengawasan negara dan rapuhnya penegakan hukum, hal ini menyebabkan kasus penjualan bayi marak terjadi. Kasus penjualan bayi di Depok misalnya, yang menggunakan media sosial Facebook sebagai saran untuk melakukan aksinya.

Meskipun praktek penjualan bayi termasuk ke dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007, namun penegakan hukumnya masih sulit diterapkan. Selain itu, hukuman yang diberikan sangat ringan dan tidak membuat efek jera. Penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal 300 juta, tentu tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukannya.

Sekularisme Biang Keladinya

Maraknya kasus perdagangan orang, termasuk penjualan bayi ini tidak terlepas dari sekularisme kapitalis yang diterapkan saat ini. Sistem ini telah menciptakan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin hari semakin terpuruk. 

Masyarakat kian sulit untuk memenuhi hajat hidupnya, bahkan untuk sekedar menyambung hidup. Hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang hendak mencari keuntungan lebih besar di atas penderitaan orang lain.

Di sisi lain, Negara yang seharusnya menjadi pelindung dan pemelihara urusan rakyat tidak mampu memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat secara keseluruhan. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Akibatnya banyak masyarakat yang terjerumus melakukan tindakan kriminal demi mendapatkan uang.

Selain itu, sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan membuat masyarakat tidak lagi mengenal mana yang halal dan mana yang haram. Lebih parah lagi ungkapan “ Yang haram aja sulit, apalagi yang halal” seolah menjadi pembenaran atas kejahatan yang mereka lakukan.

Sementara aparat penegak hukum seolah tak berdaya menghadapi para sindikat ini, terbukti dari makin maraknya kasus dan pelaku serta berulang kalinya pelaku melakukan aksinya seperti pada kasus bidan JE dan DM.

Perlu Solusi Sistemik

Berulangnya kasus yang meresahkan ini tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja, atau sekedar dipantau seperti yang diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi seperti yang dikutip oleh CNN Indonesia, Jum’at, 13/12/2024.

Namun diperlukan tindakan nyata dan tegas dari negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat. 

Sebagaimana yang telah diatur dalam Islam, Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna sangat memperhatikan kebutuhan individu rakyat. Mencari nafkah adalah salah satu kewajiban yang dibebankan kepada setiap laki-laki yang sudah baligh (kepala keluarga) sebagai penanggung jawab ekonomi keluarganya.

Maka, menjadi tugas negara memfasilitasi atau memberikan kemudahan bagi warganya dalam memperoleh pekerjaan.

Selain itu Islam pun sangat memperhatikan pendidikan.Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa yang memiliki pola piker dan pola sikap Islam. Sehingga ada rasa takut untuk melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama.

Islam juga mengatur interaksi laki-laki dan perempuan misalnya larangan berikhtilat dan berkhalwat, sehingga para remaja tidak akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak kasus kehamilan tidak diinginkan alias hamil di luar nikah.

Bagi siapa saja yang melanggar 
peraturan tadi, maka Islam sudah menyediakan sanksi yang jelas dan tegas sehingga mencegah dari berulangnya kasus yang serupa. Misalnya sanksi rajam bagi pelaku zina.

Semua aturan ini hanya bias diterapkan ketika Islam diterapkan sebagai aturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena dalam Islam, Pemimpin atau penguasa adalah raa’in (pemelihara dan pengatur urusan rakyat).

Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka pemimpin yang jujur dan amanah akan sangat berhati-hati terhadap urusan kepemimpinannya. Ia akan berusaha untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara kafah sebagaimana yang Allah perintahkan.[]

Oleh: Ni’matul Afiah
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Opini

×
Berita Terbaru Update