TintaSiyasi.id-- Prabowo mau bagi-bagi uang ke rakyat. Namun, dengan sistem pajak yang ada sekarang usaha bagi bagi rejeki itu tidak akan sampai pada tujuannya. PPN 12% yang merupakan bagian dari sistem keuangan neoliberal justru menjadi perangkap bagi pemerintah memakan harta wong kere.
Kalau menyimak dan mencermati seluruh pidato Presiden Prabowo dari dulu sampai sekarang masih sama. Seluruh pidato itu dalam soal ekonomi Presiden Prabowo ingin membagi uang kepada rakyat, membagi kekayaan kepada rakyat, membagi tanah kepada rakyat, membagi makanan kepada rakyat. Semua usaha yang perjuangannya di pemerintahan tampak sekali ditujukan untuk kebaikan semacam itu.
Namun Prabowo kurang beruntung. Beliau jadi presiden, menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem UUD 45 amandemen, sistem yang menempatkan negara dan pemerintahan sebagai sub ordinat dari kekuasaan rezim keuangan swasta. Kekuasaan paling puncak yakni kekuasaan keuangan tidak berada di tangan presiden. Keuangan dan uang dipegang atau dikendalikan, dikelola sektor swasta yang ternyata merupakan bagian dari sindikat keuangan internasional.
Kuasa sindikat ini dibungkus sistem keuangan neoliberalisme yakni sistem keuangan yang mengurangi atau meniadakan campur tangan negara dalam ekonomi. Negara hanya sebagai pemberi stimulus kecil dalam pembangunan ekonomi. Usaha usaha memajukan ekonomi, terutama pertumbuhan sebagian besar diserahkan kepada swasta. Swasta menguasai institusi keuangan mulai dari bank, asuransi, pasar modal dan semua yang berkaitan dengan keuangan suatu negara.
Semua yang tadinya dikuasai oleh negara secara sistematis dipindahkan kepada swasta. Seluruh uang, kekayaan, tanah, dan kandungannya semuanya diserahkan kepada swasta. Negara mendapatkan sedikit uang dari swasta untuk sekedar melanjutkan kegiatan pemerintahan, ketentaraan, kepolisian, dan administrasi organisasi pemerintahan lainnya. Intinya negara itu sub ordinat swasta, atau sekelompok swasta atau organisasi pengusaha swasta internasional.
Bagaimana cara kerja sistem keuangan NeoLiberal ini? Yakni dengan dengan memindahkan kekuasan keuangan sebagai kekuasaan paling puncak di serahkan kepada swasta. Swasta membuat uang, menentukan nilai uang, dan kepada siapa membagikan uang. Semua ini dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan atau membuat bank central yang independen, yakni bank central yang bebas dari intervensi pemerintah atau siapapun. Bank Central dimiliki segelintir elite yang merupakan bagian dari sindikat keuangan swasta internasional.
Bagaimana Indonesia bisa sampai pada situasi semacam ini? Sebelum reformasi 98 negara atau pemerintah membawahi bank central, bank bank, dan semua lembaga keuangan. Dengan demikian negara memiliki otoritas atas keuangan, hak atas uang cetakan dan segala bentuk penambahan atau pengurangan jumlah uang dalam peredaran. Semua ini dikontrol oleh pemerintah. Mengapa bisa? Karena pemerintah menguasai colletaral, aset, kekayaan, tanah dan sumber daya di atas dan di dalam tanah. Sekarang negara tidak punya kekuasaan atas semua itu. Namun swasta cukup memagari tanah atau lahan maka semua isinya mulai dari langitnya sampai dasar bumi bisa diuangkan oleh swasta. Maka atas dasar itu sebagian besar uang sekarang dibuat oleh sindikat keuangan swasta.
Reformasi 98 melalui amandemen UUD 1945 telah memindahkan otiritas keuangan kepada swasta yang dilanjutkan dengan pembuatan UU BI yang independen, UU perbankkan, dan UU sektor keuangan lainnya. Setelah itu otoritas tersebut menyerahkan diri kepada otoritas internasional melalui UU sistem devisa bebas. Reformasi 98 juga mengubah status penguasaan negara atas tanah dan sumber daya alam menjadi otoritas swasta melalui UU penanaman modal, UU migas, UU mineba, dan berbagai UU SDA lainnya. Intinya swasta yang dapat menjadikannya landasan dalam pembuatan uang, negar tidak lagi berhak.
Sistem ini membuat negara dan pemerintahan tidak dapat berbuat apa apa, kecuali kalau ada uang yang diserahkan oleh sindikat keuangan swasta barulah pemerintah punya daya dan tenaga. Tentu saja akibatnya semua kebijakan negara dan pemerintahan harus manut kepada kepentingan swasta tersebut. Sebab kalau tidak manut pemerintah yang sudah kere akan dibuat lebih kere lagi
Agar tidak terlalu kere maka pemerintah menarik pajak atau memberlakukan pungutan yang sifatnya memaksa. Pungutan atau pajak itu diarahkan kepada masyarakat atau dibebankan kepada masyarakat. Berbeda dengan bagi hasil atau royalty, pajak seluruhnya dibayarkan oleh rakyat. Pajak tidak sama sekali mengurangi bagian swasta atau pengusaha. Pajak itu bersifat dan berbentuk beban langsung kepada rakyat dan beban tidak langsung. Pajak tidak langsung yang dibayar rakyat dipungut oleh pengusaha yang include dalam harga barang dan jasa jasa. Jadi pengusaha itu tidak pernah membayar pajak atau pungutan apapun. Semua pada ujungnya akan dibebankan menjadi biaya yang dibayar oleh perekonomian atau oleh masyarakat. Sistem ini tentu tidak cocok dengan Prabowo yang orientasinya bagi bagi rejeki dengan rakyat.
Keseluruhan dari sistem UUD 45 Amandemen yang merupakan landasan kekuasaan sindikat keuangan swasta ini, sangat tidak cocok dengan jati diri pribadi, visi dan misi Presiden terlipih Prabowo Subianto. Prabowo membutuhkan sistem negara kuat, yakni negara memiliki otoritas atas uang dan keuangan. Keuangan negara dibangun dan uang dibuat semata mata untuk mendukung kesejahteraan rakyat. Sistem yang memungkinkan seluruh kekayaan negara bisa didistribusikan secara merata kepada semua rakyat. Sistem yang memungkinkan bangsa Indonesia dapat berjuang bagi dirinya, bagi kemerdekaan Indonesia secara penuh dan bagi perubahan nasib semua bangsa tertindas di dunia. Tampaknya ini yang tergambar dari semua pidato berapi-api Presiden Prabowo Subianto. Wallahualam.[]
Oleh. Salamuddin Daeng
Ketua AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)
https://setneg.go.id/baca/index/presiden_neoliberal_tidak_tepat_untuk_indonesia
Prabowo: Ekonomi Kapitalisme-Neoliberal Tak Cocok dengan Pancasila- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240918200032-32-1145791/prabowo-ekonomi-kapitalisme-neoliberal-tak-cocok-dengan-pancasila