TintaSiyasi.id-- Menurut Ibnu Atahillah dalam Al-Hikam, petaka yang sesungguhnya (petaka hakiki) bukanlah musibah atau kesulitan duniawi seperti kehilangan harta, kesehatan, atau kekuasaan, melainkan akibat dosa dan jauh dari Allah. Ibnu Atahillah menegaskan bahwa dosa memiliki dampak spiritual yang lebih parah dibandingkan dengan kesusahan duniawi. Hal ini karena dosa membuat seseorang terputus dari rahmat Allah, dan itulah kerugian yang sebenarnya.
Beliau berkata:
"Petaka bukanlah ketika engkau kehilangan dunia, tetapi petaka adalah ketika engkau kehilangan hubungan dengan Tuhanmu. Sesungguhnya, apa pun yang luput darimu dari dunia, itu dapat diganti. Tetapi, yang luput darimu dalam urusan akhirat, itu tidak tergantikan."
Dengan kata lain, penderitaan akibat dosa, seperti hilangnya rasa khusyuk, kerasnya hati, atau terhijabnya diri dari Allah, adalah bentuk musibah yang lebih besar daripada kesulitan fisik atau materi di dunia. Bagi Ibnu Atahillah, musibah duniawi adalah ujian yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah jika dihadapi dengan sabar. Namun, dosa adalah pelanggaran yang menjauhkan hamba dari Allah kecuali jika diikuti oleh taubat.
Pesan utama dari hikmah ini adalah pentingnya menjaga hubungan dengan Allah dan menghindari dosa, karena kerugian spiritual adalah petaka yang paling besar.
Kebahagiaan terwujud jika kau taat kepada Allah.
Ibnu Atahillah juga menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui ketaatan kepada Allah. Dalam perspektif tasawuf, ketaatan adalah jalan menuju kedekatan dengan Allah, dan kedekatan inilah sumber kebahagiaan yang hakiki.
Beliau berkata:
"Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagimu daripada ketaatan kepada Allah, dan tidak ada sesuatu yang lebih mencelakakanmu selain dari kemaksiatan kepada-Nya."
Mengapa Ketaatan Membawa Kebahagiaan?
1. Kedekatan dengan Allah: Ketaatan membuka jalan bagi seorang hamba untuk merasakan kedekatan dengan Allah. Rasa dekat inilah yang membawa ketenangan jiwa, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an:
"Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra'd [13]: 28).
2. Cahaya dalam Hati: Ketaatan menanamkan cahaya keimanan di dalam hati, yang memberikan arah dan makna dalam hidup. Dengan hati yang bercahaya, seseorang dapat menghadapi segala ujian dunia dengan lapang dada.
3. Kepuasan Hakiki: Orang yang taat tidak lagi menggantungkan kebahagiaannya pada hal-hal duniawi, melainkan kepada keridhaan Allah. Hal ini membebaskannya dari rasa cemas, iri, dan ambisi yang berlebihan, yang sering kali menjadi sumber penderitaan.
4. Rahmat dan Keberkahan: Dalam ketaatan, Allah menjanjikan rahmat dan keberkahan, baik di dunia maupun di akhirat. Firman Allah:
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami pasti akan memberinya kehidupan yang baik." (QS. An-Nahl [16]: 97).
Sebaliknya, Mengapa Maksiat Menjauhkan Kebahagiaan?
Maksiat tidak hanya menghalangi hamba dari Allah, tetapi juga membawa kegelisahan dalam jiwa. Ibnu Atahillah menyebutkan bahwa dosa menimbulkan kegelapan dalam hati, yang menjauhkan manusia dari kedamaian sejati. Hidup dalam maksiat sering kali diiringi oleh rasa hampa, meskipun seseorang tampak memiliki
kenikmatan dunia.
Kesimpulan
Kebahagiaan yang sejati tidak bergantung pada materi atau kondisi duniawi, melainkan pada hubungan seseorang dengan Allah. Ketaatan adalah kunci yang membawa kita kepada kebahagiaan tersebut, karena ia memurnikan hati, mendekatkan kepada Sang Pencipta, dan menanamkan rasa syukur dalam diri. Dengan ketaatan, hidup menjadi lebih terarah dan bermakna, baik di dunia maupun di akhirat.
Penjelasan dan Tafsir QS Thaha (20) : 124-126
Berikut adalah penjelasan dan tafsir dari QS. Thaha (20): 124–126:
Ayat 124
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ
124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."
Penjelasan:
1. Berpaling dari Peringatan Allah:
o Yang dimaksud dengan berpaling adalah meninggalkan ajaran Allah, tidak mau mengikuti wahyu-Nya, dan mengabaikan kewajiban-kewajiban agama.
o Peringatan Allah mencakup Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad SAW, yang bertujuan untuk menuntun manusia ke jalan yang benar.
2. Penghidupan yang Sempit:
o Penghidupan yang sempit bisa berarti:
Secara duniawi: Orang yang jauh dari Allah akan merasa hidupnya tidak pernah cukup, selalu gelisah, dan tertekan meskipun memiliki harta yang banyak.
Secara spiritual: Hidup mereka hampa dari ketenangan dan kebahagiaan sejati, karena hati mereka terputus dari Allah.
o Ayat ini juga mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati hanya datang melalui keimanan dan ketaatan kepada Allah.
3. Dikumpulkan dalam Keadaan Buta:
o Pada Hari Kiamat, orang yang berpaling dari Allah akan dihukum dengan kebutaan, baik secara fisik maupun batin.
o Bukan sekadar buta mata, melainkan buta hati dan kehilangan panduan di akhirat.
Ayat 125
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِيٓ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِيرٗا
125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?"
"Dia berkata, 'Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah orang yang melihat?'"
Penjelasan:
1. Protes di Akhirat:
o Ayat ini menggambarkan protes dari orang-orang yang dihukum Allah di akhirat. Mereka merasa tidak pantas buta karena selama di dunia mereka dapat melihat secara fisik.
o Ini menunjukkan bahwa mereka belum memahami bahwa kebutaan di akhirat adalah konsekuensi dari kebutaan hati di dunia.
2. Makna "Melihat" di Dunia:
o Mereka memang memiliki penglihatan fisik, tetapi gagal melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Mereka tidak menggunakan mata dan akalnya untuk mencari kebenaran, melainkan hanya mengejar keinginan duniawi.
Ayat 126
قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتۡكَ ءَايَٰتُنَا فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ
126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan".
"Allah berfirman, 'Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.'"
Penjelasan:
1. Melupakan Ayat-ayat Allah:
o Melupakan di sini berarti mengabaikan atau tidak mempedulikan ajaran Allah yang sudah jelas melalui wahyu, tanda-tanda di alam semesta, dan pengingat dari para rasul.
o Mereka sengaja berpaling dari kebenaran meskipun mereka mengetahuinya.
2. Dibalas dengan Dilupakan:
o Pada hari kiamat, Allah akan "melupakan" mereka sebagaimana mereka melupakan-Nya di dunia. Ini bukan berarti Allah lupa (karena Allah Maha Mengetahui), melainkan mereka akan diabaikan dari rahmat dan pertolongan-Nya.
o Mereka dibiarkan dalam keadaan buta, sengsara, dan tanpa pembelaan, sebagaimana mereka sengaja meninggalkan Allah di dunia.
Makna Umum dari Tiga Ayat:
Ayat ini mengingatkan manusia tentang akibat berpaling dari ajaran Allah:
1. Di dunia, mereka hidup dalam kesempitan dan kegelisahan meskipun tampak sejahtera secara materi.
2. Di akhirat, mereka akan mengalami kebutaan dan kehinaan karena tidak memanfaatkan penglihatan dan akal mereka untuk mengikuti petunjuk Allah.
3. Allah memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan ayat-ayat-Nya: mengabaikan mereka karena mereka dulu mengabaikan Allah.
Pesan utama ayat ini adalah agar manusia senantiasa mengingat Allah, mengikuti petunjuk-Nya, dan tidak terjebak dalam kehidupan dunia yang menipu. Ketaatan kepada Allah adalah jalan menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
(Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)