TintaSiyasi.id -- Terkait dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky mengatakan, itu menyebabkan posisi legalitas kepala daerah terpilih menjadi rendah hanya dipilih sebagian kecil masyarakat saja.
"Posisi legalitas kepala daerah terpilih menjadi rendah, karena dipilih oleh sebagian kecil masyarakat saja," ungkapnya di kanal YouTube Bincang Bersama Sahabat Wahyu, Ini Tiga Alasan Partisipasi Pemilukada Anjlok, Jumat (06/12/2024).
Ia menilai, kalau dari 57 persen masyarakat yang memilih, dan calon kepala daerah memenangkan setengahnya, berarti dia hanya mendapatkan seperempat suara dari pemilih masyarakat setempat. Sehingga, posisi kredibilitasnya, legalitasnya itu praktis rendah sekali. Karena yang memilih tidak sampai setengah dari masyarakat.
"Jadi, kalau partisipasinya hanya sekitar 53 persen, 57 persen kemudian pemenangnya setengah dari suara itu, berarti seperempat dari jumlah pemilih di daerah itu," ujarnya.
Artinya, lanjut Wahyudi, pemimpin itu mendapat dukungan yang sangat rendah dari masyarakat pada umumnya. Ini fenomena yang menunjukkan, sebenarnya kepemimpinan mereka tidak mendapat dukungan yang solid tidak mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat yang ditunjukkan dari pemilih mereka.
Ia menyebut, orang memilih itu karena rasa kepercayaan, rasa senang dan mereka yakin bahwa apa yang mereka pilih layak untuk dipilih dan disandarkan kepada yang dipilih harapan untuk membawa masyarakat jadi lebih baik.
"Ada tiga faktor menurunnya jumlah partisipan Pemilukada kali ini. Pertama, faktor calon-calon yang dihadirkan oleh partai-partai politik itu kurang disukai masyarakat atau tidak mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat. Atau tidak menarik perhatian masyarakat yang begitu besar. Jadi tidak ada calon yang menjadi perhatian masyarakat untuk menjadi harapan masyarakat, faktor ini bisa disebut faktor pragmatisme," jelasnya.
Sehingga, terang dia, sebagian masyarakat merasa tidak ada yang mereka sukai, tidak ada yang ingin mereka pilih. Akhirnya mereka tidak hadir dalam pemilu atau tidak datang ke TPS (tempat pemungutan suara).
Kedua, faktor kesadaran masyarakat makin tinggi. Jadi, di mana-mana kalau kesadaran politik masyarakat semakin tinggi, mereka memilih orang bukan karena semtimen atau perasaan yang membuat mereka senang. Tetapi mereka mulai berpikir, ini calon betul-betul bisa diharapkan oleh masyarakat atau tidak. Faktor ini disebut faktor idealis atau faktor ideologis.
Ia memaparkan, dengan kesadaran itu mereka mulai memilih-milih, "ah ini tidak bisa diharapkan, ah ini mereka sudah banyak berjanji. Ah ini kandidat ini incumbent yang banyak janji tetapi enggak pernah ditepati."
Jadi, Wahyudi menyebut, mereka punya rasionalitas itu sehingga dengan kesadaran yang tinggi itu, mereka memilih dan tidak memilih dengan kesadaran itu.
"Kalau kita lihat calon-calon dari partai politik itu tidak memberikan harapan baru bagi masyarakat atau bahkan pernah melukai masyarakat atau pernah punya janji tetapi tidak ditepati maka masyarakat punya catatan. Sehingga dengan rasionalitasnya itu dia tidak datang ke TPS, karena tidak ada yang bisa diharapkan," tegasnya.
Ketiga, imbuhnya, faktor teknis. Jadi faktor teknis ini sangat berpengaruh juga. Jumlah TPS yang sedikit sehingga jarak rumah masyarakat ke TPS jauh-jauh. Bagi masyarakat yang sudah tidak begitu antusias, daripada jalan jauh-jauh mending mereka bersama keluarganya atau jalan-jalan bersama anak istrinya.[] Heni