tintasiyasi.id.com -- Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Dalam kondisi ekonomi yang masih tertekan, kebijakan ini dinilai sebagai beban tambahan yang memberatkan masyarakat luas.
Pandemi COVID-19 yang berlangsung selama beberapa tahun terakhir telah meninggalkan dampak mendalam pada perekonomian global. Perlambatan ekonomi global yang menyertainya tidak hanya mengganggu stabilitas finansial banyak negara, tetapi juga menciptakan tantangan serius bagi pasar tenaga kerja, termasuk di Indonesia.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal terus terjadi, menambah ketidakpastian bagi para pekerja. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 46.240 pekerja mengalami PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024 saja (Satudata.kemnaker.go.id, 20/9/2024).
Angka ini mencerminkan realitas suram bahwa ribuan rumah tangga kini menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Di tengah situasi ini, kenaikan PPN justru dianggap menambah penderitaan rakyat karena akan memengaruhi daya beli masyarakat yang sudah melemah.
Sistem Kapitalisme menggunakan pajak untuk menutupi defisit anggaran akibat ekonomi berbasis utang. Akibatnya, masyarakat terus dibebani berbagai pungutan, termasuk PPN yang bersifat regresif karena memengaruhi semua lapisan masyarakat, termasuk yang berpenghasilan rendah.
Kebijakan ini, terutama di tengah kesulitan ekonomi, dianggap sangat zalim. Dalam Islam, kezaliman terkait harta, terutama oleh penguasa terhadap rakyatnya, diharamkan. Allah SWT berfirman yang artinya:
"Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil" (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini melarang segala bentuk perampasan hak, termasuk oleh penguasa.
Rasulullah SAW bersabda bahwa pemimpin yang memperdaya rakyatnya tidak akan mencium bau surga (HR al-Bukhari dan Muslim). Beliau juga menegaskan bahwa pemungut pajak (cukai) tidak akan masuk surga (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim).
Oleh karena itu, memalak rakyat dengan pajak adalah tindakan yang tidak layak dilakukan oleh pemimpin. Solusi untuk mengatasi kezaliman pajak adalah dengan menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan (Khilafah Islam), yang mengelola ekonomi negara berdasarkan syariah.
Pendapatan negara dalam sistem ini berasal dari berbagai sumber, seperti harta rampasan perang, jizyah, zakat, dan kekayaan milik umum, termasuk sumber daya alam seperti tambang, hutan, dan kelautan.
Harta milik umum, seperti energi, tambang, dan hasil laut, wajib dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Potensi pendapatan dari sumber ini sangat besar. Misalnya, pengelolaan minyak mentah, gas alam, batubara, emas, tembaga, nikel, hutan dan laut dapat menghasilkan laba hingga Rp 5.510 triliun, melebihi kebutuhan APBN tanpa harus memungut pajak atau berutang.
Dengan syarat, semua dikelola sesuai syariah, rakyat bisa terhindar dari beban pajak.
Alhasil, umat dan bangsa ini harus benar-benar kembali pada syariah Islam dalam semua aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola perekonomian, di antaranya dalam pengelolaan APBN-nya.
Selain karena kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya, menegakkan sistem Islam bukanlah utopia. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah Islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa memalak mereka dengan aneka pajak yang menyengsarakan. Wallahu a'lam bishshawwab.[]
Oleh: Nabia Husnul
(Aktivis Muslimah)