TintaSiyasi.id -- Penulis Buku "Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama'ah" dan "Konsep Baku Khilafah Islamiyyah" Ajengan Irfan Abu Naveed mengatakan, mengoreksi penguasa yang lalai termasuk perkara ma’lûm bagian dari agama ini (Islam).
"Mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang ma’lûm bagian dari agama ini," ungkapnya di akun Facebook Irfan Abu Naveed, Kamis (26/12/2024).
Ia menjelaskan, aktivitas mengoreksi penguasa merupakan sikap politik yang agung diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, dicontohkan secara praktis oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
"Rasulullah ﷺ pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:
«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haqq pada pemimpin yang zalim. (HR. Al-Hakim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Thabrani, al-Baihaqi)," paparnya.
Ia mengutip hadis:
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim, al-Thabrani).
"Salah satu hadis yang mendorong aktivitas mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadis dari Tamim al-Dari r.a., bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”
Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi ﷺ bersabda:
«للهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)," tambahnya.
Ia melanjutkan, hadis yang mulia ini, mengisyaratkan pesan mendalam yang menekankan pentingnya menasihati penguasa. Karena dalam tinjauan ilmu balaghah, hadis ini mengandung bentuk penambahan lafal yang memiliki fungsi tertentu, dinamakan al-ithnâb. Yakni dengan adanya penyebutan kata “لِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ” (untuk pemimpin-pemimpin kaum Muslim) di depan kata “وَعَامَتِهِمْ” (kaum Muslim pada umumnya), dimana kata “kaum Muslim” adalah lafal yang cakupannya umum (lafzhah jâmi’ah), mencakup pemimpin dan manusia secara umum.
"Sedangkan “pemimpin kaum Muslim” merupakan kata khusus, termasuk bagian dari kaum Muslim pada umumnya. Namun dalam hadits ini, pemimpin disebutkan secara khusus sebelum kaum Muslim, ini yang dinamakan al-ithnâb dengan pola dzikr al-‘âm ba’da al-khâsh (penyebutan kata yang umum setelah kata yang khusus), dalam istilah lain yakni dzikr al-basth, sebagaimana penjelasan Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi (w. 654 H) dan Ibn Hujjah al-Hamawi (w. 837 H), dengan menjadikan hadis ini sebagai salah satu contohnya," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menegaskan jika diamanahi kekuasaan jangan zalim, jika dinasihati, dikritik dan dikoreksi jangan menambah-nambah kezaliman dengan menolak kebenaran, mengkhianati amanah kekuasaan dan menjahati para da'i yang menasihati kepada kebenaran! Kalau tidak siap dengan itu semua jangan jadi penguasa.
Keutamaan Jihad
Irvan mengatakan, medan perjuangan dakwah menghadapi pemikiran-pemikiran kufur itu medan yang sukar, membutuhkan kaderisasi dan medan perjuangan yang panjang, setiap kader pejuangnya harus ditempa dengan bekal tsaqafah Islam, bahkan berkepribadian Islam, jika tidak, maka tumbang sebelum berjuang!
"Ketika pemikiran-pemikiran kufur ini diemban oleh entitas kekuasaan, maka bisa dipastikan, dunia pengemban dakwah 'terancam', persekusi gerak dakwah dan spionase, sanksi penjara, hingga eksekusi nyawa adalah hal yang lazim dihadapi para ulama, para da'i pejuang ini, jika ada segelintir orang zaman ini menyepelekan perkara ini, bisa dipastikan ia bukan lah orang yang pernah merasakan manisnya perjuangan di jalan dakwah," ungkapnya.
Ia mengutip dari Al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah –rahimahuLlâh- (w. 751 H), menguraikan bentuk jihad, mencakup jihad dengan hujjah (dakwah):
وَإِنَّمَا جعل طلب الْعلم من سَبِيل الله لَان بِهِ قوام الاسلام كَمَا ان قوامه بِالْجِهَادِ فقوام الدّين بِالْعلمِ وَالْجهَاد وَلِهَذَا كَانَ الْجِهَاد نَوْعَيْنِ جِهَاد بِالْيَدِ والسنان وَهَذَا المشارك فِيهِ كثير وَالثَّانِي الْجِهَاد بِالْحجَّةِ وَالْبَيَان وَهَذَا جِهَاد الْخَاصَّة من اتِّبَاع الرُّسُل وَهُوَ جِهَاد الائمة وَهُوَ افضل الجهادين لعظم منفعَته وَشدَّة مُؤْنَته وَكَثْرَة أعدائه
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ semata-mata menjadikan aktivitas menuntut ilmu sebagai bagian dari amal perbuatan di jalan Allah, karena dengannya tegak fondasi-fondasi Islam, sebagaimana ia tegak dengan jihad, maka Din ini tegak dengan ilmu dan jihad,
Ada dua macam jihad. Pertama, jihad dengan tangan dan tombak (senjata), ini yang diikuti oleh banyak orang (yakni pada umumnya awam dan ulama).
Kedua, jihad dengan hujjah (argumentasi syar’i) dan penjelasan, ini merupakan jihad orang pilihan yang meniti jalan Rasulullah ﷺ, ini adalah jihadnya para pemimpin umat (al-Imam), dan seutama-utamanya jihad, karena besar manfaatnya, banyak persiapan bekalnya dan banyak musuhnya.” Syamsuddin Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz I, hlm. 70.[] Alfia Purwanti