TintaSiyasi.id-- Kabinet Merah Putih yang dipimpin oleh Presiden Prabowo, tampaknya masih "galau" menentukan posisi yang tepat untuk institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk selanjutnya disingkat Polri. Sekarang, posisi Polri masih berada di bawah langsung Presiden. Ada wacana untuk menempatkan posisi Polri di bawah Kemendagri atau TNI. Adakah penguruh signifikan yang bisa diharapkan jika Prabowo mengusulkan Polri bergeser dari posisinya sebagai bawahan Presiden langsung? Apakah perubahan tersebut akan berpengaruh positif keadaan penegakan hukum di Indonesia? Secara singkat saya katakan, tidak akan ada pengaruh signifikan dari upaya pergeseran posisi institusi Polri terhadap kualitas pemenuhan tugas Polri khususnya dalam penegakan hukum sepanjang karakteristik pekerjaannya tidak dijalankan secara presisi sebagaimana slogal sakral yang selalu diteriakkan Kapolri. Apalagi jika pelaksanaan tugas-tugas polisi jauh dari etika penegakan hukum sebagaimana dituangkan dalam Tap MPR RI No. VI Tahun 2001.
Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng sangat mungkin dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:
1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma.
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).
Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Praktik pekerjaan polisi yang buruk misalnya:
(1) Standar Tidak Jelas: Suka Suka Kami (SSK).
Di sisi lain, hukum di era rezim Jokowi ini tak memiliki standar yang jelas. Hukum bisa dibilang suka-suka APH. Polisi menangkap jika mau, membiarkan laporan jika mereka suka. Polisi juga menangguhkan jika mereka berkehendak, mengabaikan permohonan penangguhan jika mereka tak berkehendak. Tak ada ukuran objektif, polisi suka suka memperlakukan Tersangka, meskipun sama-sama mengajukan penangguhan dan sama-sama dijamin.
Jika semua pihak, termasuk polisi bertindak sesuka hati, maka hal itu sama saja menghilangkan fungsi negara. Sebab, negara hadir untuk memberi batasan-batasan agar setiap hak warga negara terpenuhi.
(2) Diskresi Cenderung Diskriminatif.
APH punya hak untuk to do or not to do, ada diskresi utk menegakkan hukum ataukah ada policy of non enforcement of law. Hukum yg adil adalah hukum yang memperlakukan sama untuk kasus yang sama (sejenis). Memperlakukan berbeda untuk kasus yang beda. Jadi mesti ada equality before the law. Jika tidak maka yang akan terjadi adalah penegakan hukum yang ambyar, misalnya:
1. Penegakan hukum tebang pilih (kasus kerumunan (HRS (DKI: agama) vs. Gibran (Solo: Pilkada)).
2. Kriminalisasi Ulama Kritis vs pembiaran para buzzer pendukung rezim.
3. Abuse of power Pencabutan baliho FPI oleh TNI, Tdk sesuai dengan Tupoksi TNI.
4. Penangguhan penahanan (kasus Pembakaran Gedung Kejagung vs Gus Nur)
Dua hal tersebut saja sudah mampu membuat tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini yang sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Dengan demikian, industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri.
Anda mungkin masih ingat, ada empat fakta hukum yang dapat dijadikan pembanding dugaan kasus extrajudicial killings terhadap enam anggota laskar FPI, yaitu terbunuhnya terduga teroris (1) Siyono warga Klaten pada tahun 2016, (2) Qidam Alfarizki warga Poso Sulawesi Tengah yang ditembak mati pada tanggal 9 April 2020 dan menyusul (3) Muhammad Jihad Ikhsan warga Ngruki, Sukoharjo yang ditembak mati pada tanggal 10 Juli 2020 oleh aparat kepolisian RI sebelum proses peradilan pidana dilaksanakan hingga selesai, (4) pembunuhan terhadap dr. Sunardi di Sukoharjo pada tanggal 9 Maret 2022. Di mana hukum, di mana demokrasi Pancasila, di mana pelindungan HAM? Belum lagi kasus-kasus lainnya yang tidak kalah bengisnya karakter seorang oknum polisi (polisi bunuh polisi (kasus Sambo, kasus Solok, kasus Bogor), terkini malah ada polisi yang membunuh Ibunya sendiri (2 Des 2024, Bogor).
Perlu saya katakan bahwa adanya dugaan kuat telah terjadi extrajudicial killings terhadap 6 anggota laskar FPI membuat saya khawatir jika negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilangnya karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit.
Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum seharusnya tidak boleh menjadi agen industri hukum ini karena ketika polisi telah menjadi agen industri penegakan hukum maka sejak di garda ini pun penegakan hukum sudah dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Jika bukan lagi dua hal itu yang menjadi pertimbangan polisi dalam melaksanakan pekerjaannya bahkan jika polisi sudah mau menjadi alat pemerintahan negara untuk mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya", maka di saat itulah negara ini telah menjadi police state yang melumpuhkan prinsip-prinsip negara hukum.
Akankah kita hendak mewariskan lumpuhnya hukum, matinya demokrasi dan pelanggaran HAM yang tak berujung kepada generasi mendatang sembari berkata: "Selamat datang di industri hukum Indonesia!?"
Terakhir ingin saya sampaikan bahwa konsep tentang penyelenggaraan negara dan penegakan hukum secara humanis disertai dengan cinta sering kita dapati baik melalui lisan maupun tulisan ketika mengulas kinerja pejabat negara termasuk kinerja Polisi. Belum lagi persoalan etika dalam penegakan hukum yang diamanatkan dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001, polisi dan pejabat negara lainnya pun harus bertindak sesuai dengan etika kehidupan berbangsa. Pejabat juga sering mengutip adagium Cicero bahwa salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi), apalagi penegakan hukum ini terkait langsung dengan persoalan moral, ethic and religion. Pikiran dan telinga pejabat negara termasuk polisi harus betul-betul dipasang di tengah kehidupan masyarakat sehingga penegakan hukum olehnya tetap mampu menghadirkan keadilan di tengah masyarakat (bringing justice to the people). Dalam kasus terbunuhnya 6 anggota laskar FPI ini, adakah kata-kata manis itu diwujudkan? Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa menyatakan:
"Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat."
Selanjutnya dinyatakan bahwa: "Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya."
Etika Penegakan Hukum Berkeadilan meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Adakah penyelenggaraan pemerintahan akhir-akhir ini mencerminkan etika kehidupan berbangsa itu? Dugaan kuat telah terjadi extrajudical killings, abuse of power, mal administrasi, SSK, tindakan aparat non-presisi, diskresi yang diskriminatif. Inikah indikator bahwa proyek Industri Hukum di Indonesia tengah berlangsung yang secara gamblang berpotensi untuk "Melumpuhkan Hukum, Mematikan Demokrasi dan Melanggar HAM". Adakah kemiripan kasus pembunuhan secara extrajudicial antara kasus Brigadir Joshua dengan kasus pembunuhan terhadap 6 anggota laskar FPI?
Kembali pada persoalan posisi institusi Polri, tidak akan ada pengaruh signifikan jika terjadi pergeseran posisi Polri di bawah langsung Presiden, atau di bawah Kemendagri, ataupun di bawah TNI. Mengapa demikian, karena kuncinya bukan pada posisi melainkan pada komitmennya untuk menjalani karateristik pekerjaan polisi dalam bingkai etika penegakan hukum.
Tabik!
Semarang, 2 Desember 2024
Oleh. Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat