TintaSiyasi.id -- Listrik adalah kebutuhan pokok di kehidupan perkotaan, sehingga kemajuan sains dan tehnologi sangat dapat dirasakan. Berbanding terbalik dengan desa di wilayah pedalaman, cahaya dari bola lampu listrik sangatlah langka untuk dinikmati. Ketidakmerataan akan ketersedianan listrik di desa pedalaman ini menjadi pemicu ketidakseimbangan pembangunan dan kemajuan di desa pedalaman, sehingga warga yang tinggal di desa pedalaman lambat dalam mengakses informasi yang ada. Alhasil, menjadikan mereka tertinggal dalam segala informasi dan kemajuan zaman.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, mengatakan sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik. (Tirto.id, 10/6/2024)
Berdasarkan dari data total 83.763 desa/kelurahan menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6177 tahun 2022. Rasio desa berlistrik sudah mencapai angka sebesar 99,87 persen. Dengan data rinciannya yaitu 77.342 desa/kelurahan atau sekitar 92,33 persen sudah mendapatkan aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Sedangkan sebanyak 4,27 persen atau 3.573 desa tidak mendapatkan aliran listrik dari PLN. Kemudian 3,27 persen atau 2.736 desa/kelurahan mendapat aliran listrik dari Program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Kementerian ESDM. Wilayah ini termasuk kedalam daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal). Sehingga direncanakan akan mencapai angka 100 persen dalam akhir tahun ini. Namun kenyataan ini semua hanya data yang tidak mampu dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Kita sama-sama mengetahui bahwa listrik merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara terhadap rakyatnya. Namun hal ini tidak terwujud dalam sistem kapitalis karena liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik yang dilakukan oleh orang-orang serakah yang obsesinya hanya untuk mendapatkan keuntungan besar. Padahal sumber energi primer adalah hak bagi kepemilikan umum yang dikelola oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat bukan untuk mengeruk keuntungan individu atau kelompok. Akibatnya terjadilah penyediaan listrik di desa pedalaman tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya produksinya.
Saat ini jasa penyediaan listrik yang merupakan kebutuhan hajat hidup orang banyak ini dilakukan oleh korporasi yaitu kerja sama penguasa dan pengusaha sehingga harga listrik niscaya mahal. Alhasil negara lepas tangan dan tanggung jawab dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dharuri rakyatnya. Bahkan, negara dengan tega justru memalak rakyat melalui tata kelola listrik yang tersistemkan oleh kapitalistik ini.
Sementara di dalam Islam, listrik adalah bagian dari kepemilikan umum. Sehingga harus dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah (mudah dijangkau). Sebab sumber tenaga listrik berasal dari alam seperti air, angina, cahaya matahari, batu bara dan bahan tambang lainnya yang semua ini adalah harta kepemilikan Allah yang masuk dalam kategori kepemilikan umum.
Sehingga Islam sangat melarang untuk menyerahkan pengelolaannya kepada swasta atau asing. Maka dituntut negaralah yang harus bertanggung jawab dan memastikan bahwa setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan akan listriknya, dengan harga listrik yang murah bahkan gratis. Dengan layanan yang terbaik dan merata sampai ke pelosok desa pedalaman tanpa memikirkan untung dan ruginya.
Dalam pengelolahan dan distribusi layanan listrik ini, negara harus mampu dalam menyediakan sarana dan prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya dan menikmatinya terutama dengan biaya yang murah bahkan bisa jadi gratis. Semua penjelasan di atas hanya dapat dirasakan dalam penerapan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai naungan Daulah Khilafah Islamiah.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Beramita
Aktivis Muslimah