TintaSiyasi.id -- Kebijakan pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% akan berlaku per 1 Januari 2025 yang akan datang, kebijakan ini menuai banyak pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat dan pelaku usaha. Berbagai aksi penolakan menentang rencana kenaikan pajak PPN 12% telah dilakukan. Mulai dari aksi protes, unjuk rasa hingga petisi penolakan atas kenaikan pajak. (Dilansir dari Beritasatu.com, 20 Desember 2024)
Meskipun penolakan dari berbagai pihak telah dilakukan, namun hingga saat ini tidak ada tanda-tanda pemerintah mencabut keputusannya melalui UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan), khususnya tentang kenaikan PPN 12%. Masyarakat kecewa dengan keputusan ini, dimana semboyan yang selalu diagung-agungkan sebelum terpilih menjadi pemimpin ?, bahwa "Kedaulatan adalah di tangan rakyat", toh nyatanya suara rakyat tak pernah di dengar. Para penguasa dan wakil rakyat yang dulu memohon kepada rakyat untuk dipilih dengan sejuta janji ingin menyejahterakan rakyatnya, faktanya hanya omdong (omong doang) tidak mengabulkan aspirasi rakyat tentang beban kenaikan pajak. Lagi-lagi rakyat gigit jari dibuat kecewa oleh para penguasa.
Obral janjipun mulai disuarakan pemerintah dan DPR, banyak alasan untuk membenarkan keputusannya. Dengan janji manisnya pemerintah akan menjawab kekhawatiran masyarakat, seolah-olah memberikan solusi mengurangi dampak negatif dari kenaikan PPN. Diantaranya dengan memberikan bansos berupa subsidi listrik 50% dan bantuan beras 10 kg selama 2 bulan, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, solusi yang diberikan dalam jangka pendek faktanya tidak serta merta mengurangi beban penderitaan rakyat dalam jangka panjang.
Ini adalah sederetan contoh kebijakan penguasa populis otoriter. Pemimpin seperti ini populis di tengah-tengah masyarakat sehingga rakyat kagum dengan pemimpinnya namun otoriter kepada kelompok kritis. Kepemimpinan populis otoriter berjalan dalam pengawasan oligarki sedangkan rakyat tidak lagi menjadi fokus periayahan. Pemerintah merasa cukup sudah memberikan bantuan sosial, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN diabaikan.
Penguasa Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, penguasa sebagai pengurus rakyat (raa’in) dan pelindung bagi rakyat (junnah). Pengurus rakyat tentu tidak pantas memberi beban penderitaan dengan menaikkan pungutan pajak. Pungutan pajak adalah tindakan zalim yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Kondisi ini tidak akan berubah meskipun berkali-kali ganti pemimpin. Jika sistemnya tidak diubah pada sistem Islam. Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Pejabat negara harus memiliki kekuatan kepribadian (quwwatu syakhshiyyah), kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan ‘aqliyah dan kekuatan nafsiah.
Kekuatan akal yang harus dimiliki seorang pemimpin yang memadai, memiliki pola sikap kejiwaan yang baik yakni sabar, tidak mudah emosional, dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Hal Ini akan menjadikan seorang pemimpin mampu dalam memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan sesuai syariah Islam, mampu melahirkan kebijakan yang cerdas, dan bijaksana dalam melindungi dan menyejahterakan individu per individu.
Maka, Islam selalu memberikan solusi untuk menghindari terjadinya pungutan pajak adalah dengan kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah. Melalui sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah, anggaran pendapatan negara dikelola sesuai hukum Islam dengan sumber pemasukan utama dari zakat, kharaj, jizyah, harta milik umum, dan lainnya. Salah satu sumber pendapatan terbesar adalah harta milik umum, seperti sumber daya alam yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Contohnya, Indonesia yang kaya akan hasil tambang yang melimpah dikelola negara, harus sepenuhnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan tidak diserahkan kepada pihak swasta atau asing. Islam mewajibkan penguasa untuk membuat kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyat, dan wajib membuat rakyatnya hidup sejahtera. Karena semua itu adalah perintah Allah dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Wallaahu A’lam Bi Ash-shawaab.
Oleh: Ning Hari W.
Aktivis Muslimah