Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kebijakan Pajak, Bukti Rakyat Dipalak

Selasa, 31 Desember 2024 | 16:49 WIB Last Updated 2024-12-31T09:49:43Z

TintaSiyasi.id -- Malang benar nasib rakyat negeri ini. Belumlah ekonomi benar-benar membaik sejak dihajar pandemi, kini malah harus menghadapi berbagai kebijakan tak adil dari pemimpin negeri. Salah satunya adalah kebijakan PPN 12% yang siap menghampiri. Tak ada pilihan lain selain harus menghadapi.

Terkait kebijakan baru pajak, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyatakan rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% tidak masuk akal. Menurut Faisal, kenaikan itu tidak berdampak banyak dalam menambah pemasukan negara, justru malah menyengsarakan rakyat. Selain itu, Faisal juga menilai bahwa rencana kenaikan PPN menjadi 12% tidak adil. Sebab, pemerintah masih jor-joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar.

Pernyataan Faisal beralasan sebab ia telah menghitung tambahan pendapatan negara dari kenaikan PPN. Menurut dia, tambahan pemasukan yang bisa didapat tidak lebih dari Rp 100 triliun. Sementara pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batu bara. 

Mesih menurut Faisal, estimasi penerimaan negara dari pajak ekspor batu bara bisa mencapai Rp 200 triliun. Namun, memang pada dasarnya pemerintah enggan melakukannya, sehingga memilih menekan rakyat kecil (cnbcindonesia.com, 20/08/2024).


Kebijakan Zalim Akibat Kapitalisme

Pungutan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan produk kebijakan kapitalisme. Oleh karena itu, penarikan pajak dengan segala dampaknya adalah hal yang pasti dalam sistem kapitalisme. 

Dalam sistem ini pajak bersifat permanen dan setiap individu tak luput dari pajak. Tak peduli orang sedang bangkrut, kesulitan, sakit, penghasilan rendah dan lainnya, tetap saja terkena wajib pajak.

Mengapa pemerintah sangat ngotot menarik pungutan ini dari rakyat? Sebab kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama untuk sumber dana pembangunan.  

Menyedihkannya sekalipun rakyat sudah bayar pajak kendati terpaksa, kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat.  

Hal ini terkait dengan peran negara dalam kapitalisme. Negara yang berperan hanya sebagai regulator dan fasilitator cenderung berpihak kepada para pengusaha dan tak peduli kepada rakyat. Pengusaha raksasa mendapat kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidup.

Pajak dalam kapitalisme akan menurunkan kualitas hidup manusia. Sebab pengeluaran seseorang akan bertambah pada saat dialokasikan untuk membayar pajak sehingga banyaknya pengeluaran seseorang pasti akan berpengaruh pada tingkat konsumsinya. Terlebih jika tidak dibarengi peningkatan pemasukan.

Mengapa negara masih saja terus memungut pajak? Padahal kita hidup
di negeri dengan SDA yang melimpah ruah. Kemanakah uang hasil dari pemanfaatan berbagai SDA milik rakyat itu? Jawabannya pemasukan tersebut masuk ke kantong-kantong perusahaan swasta, khususnya pihak asing. Sebab kapitalisme telah meniscayakan penyerahan pengelolaan dan pemanfaatan SDA milik rakyat itu kepada pihak swasta (khususnya asing). Dengan demikian negara tidak memperoleh keuntungan yang besar atas pengelolaan maupun pemanfaatan SDA ini.

Kondisi ini juga diperparah dengan diberlakukannya otonomi daerah yang cenderung liberal, sehingga makin membuka peluang asing untuk menguasai langsung SDA pada sektor-sektor yang strategis.

Inilah akhirnya yang membuat beban negara untuk memperoleh peningkatan pemasukan semakin berat. Negara semakin terseok-seok dalam membiayai segala kebutuhan dalam negeri. Pemerintah pun putus asa menghadapi beban keuangan negara. Maka cara yang paling mudah untuk meningkatkan pendapatan adalah menarik pungutan paksa atas rakyat secara sistemik lewat kebijakan pajak.

Inilah akibatnya jika diterapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah melanggengkan penyerahan SDA milik rakyat kepada pihak lain melalui skema Penanaman Modal Asing (PMA) dan privatiasi. Dalam hal ini, sistem kapitalisme telah mengizinkan pihak asing merampok segala kekayaan alam milik Indonesia, yang berakibat rakyat harus menanggung beban pajak yang seharusnya menjadi tugas negara dalam menyejahterakan rakyatnya.

Sekali lagi, pungutan pajak pada hakikatnya adalah bentuk pemalakan terhadap rakyat. Ini adalah kezaliman yang nyata sekaligus membuktikan bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat dan penjamin kesejahteraan rakyat.


Pajak dalam Pandangan Islam

Islam sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya juga telah mengatur sumber pendapatan dan pengelolaan keuangan negara. Dalam Kitab  An- Nizham Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam) halaman 232 tahun 2004 Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa dalam Islam, negara (Khilafah) bisa memperoleh sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap yaitu dari harta fa'i, ghanimah, kharaj dan jizyah, harta milik umum, harta milik negara,‘usyr, khumus, rikaz, barang tambang, dan zakat.

Dengan seluruh sumber di atas, pada dasarnya negara akan mampu membiayai dirinya dan menyejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, dalam keadaan normal, pajak (dharibah) sesungguhnya tidak diperlukan. Dalam negara Khilafah, pajak hanya dipungut pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya saat kas negara benar-benar defisit. Sementara harus ada kewajiban yang ditunaikan, misalnya peperangan, ada bencana atau paceklik. Itu pun hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal ini, Khilafah pun tidak memberlakukan pajak secara permanen atau ditarik secara rutin, apalagi menjadikannya sumber utama penerimaan negara (An-Nabhani, 2004: 238).

Dari sini saja terlihat bahwa pajak dalam Islam memenuhi rasa keadilan sebab hanya ditarik dari orang-orang kaya saja. Fakir miskin tidak ditarik pajak, justru mereka akan disantuni negara. Ketika masalah keuangan negara sudah teratasi, penarikan pajak pun dihentikan.

Semua ini dapat terwujud karena penerimaan negara yang melimpah. Sebab negara menerapkan sistem ekonomi Islam, yang meniscayakan pengelolaan SDA dilakukan secara mandiri (tidak ada campur tangan pihak asing) oleh negara. Negara juga memberlakukan pengelolaan keuangan secara syar'i. Dari sinilah negara akan memiliki kekayaan yang lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyatnya. Negara pun tidak berlaku sebagai tukang palak yang memajaki apa saja yang bisa dipajaki.

Inilah bedanya Khilafah dengan kapitalisme. Khilafah memosisikan pemimpin sebagai pengurus rakyat yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyat, sedangkan kapitalisme justru memalak rakyat dengan pajak. 

Semestinya ini menjadi penguat kita untuk memenuhi panggilan agar hidup dengan aturan-Nya. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Anfal ayat 24 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila ia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”

Sebagai langkah awal, maka kaum muslim perlu mewujudkan institusi penegak aturan Islam, yakni Khilafah Islam, sebagai satu-satunya institusi yang bisa menegakkan syariat Islam di tengah-tengah manusia. 

Penerapan syariat Islam merupakan hal yang wajib dan merupakan wujud ketakwaan kita kepada Allah SWT. Dengan ini kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat akan menjadi kenyataan. Pada akhirnya, kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya, dari langit dan bumi. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update