Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kapitalisme, Ketimpangan, dan Solusi Islam untuk Kesejahteraan Hakiki

Rabu, 11 Desember 2024 | 19:03 WIB Last Updated 2024-12-11T12:03:09Z


Tintasiyasi.id.com -- Pertumbuhan Ekonomi Kalimantan Selatan (Kalsel) triwulan III-2024 dibanding triwulan III-2023 (y-on-y) mengalami pertumbuhan sebesar 5,23%. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel mencatat angka tersebut didominasi dari lapangan usaha pertambangan penggalian sebesar 27,32 %; pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 14,08 %; dan industri pengolahan sebesar 10,63 % (diskominfomc.kalselprov.go.id, 05/11/2024).

Pertumbuhan yang Semu

Klaim tentang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang sering digaungkan pemerintah sering kali terkesan hanya sebagai narasi manis tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Meski angka pertumbuhan ekonomi mungkin terlihat positif, fakta di lapangan menunjukkan bahwa distribusi kekayaan tetap timpang. Angka kemiskinan tidak berkurang signifikan, dan pengangguran tetap menjadi problem besar.

Sistem ekonomi kapitalisme memang mengukur keberhasilan ekonomi dari indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi—definisi yang berfokus pada peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat. 

Namun, pertanyaannya adalah, siapa yang benar-benar menikmati hasil dari pertumbuhan ini? Nyatanya, keuntungan dari kegiatan produksi dan investasi hanya dinikmati oleh para pemilik modal besar, sementara rakyat kecil terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Yang miskin tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya.

Kerusakan Sistem Kapitalisme

Kapitalisme didasarkan pada prinsip kebebasan kepemilikan dan orientasi materi, menyebabkan penguasaan ekonomi oleh segelintir elit. Dalam sistem ini, sumber daya alam yang semestinya menjadi milik publik sering kali dikapitalisasi oleh korporasi besar melalui privatisasi. Akibatnya, rakyat kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air, energi, dan tanah.

Negara dalam sistem kapitalisme cenderung abai terhadap kebutuhan rakyat. Negara hanya hadir sebagai regulator yang melayani kepentingan para kapitalis, bukan sebagai pelayan masyarakat.

Banyak kebijakan ekonomi yang dibuat untuk memfasilitasi investasi korporasi besar, sering kali dengan mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Contohnya adalah privatisasi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Layanan-layanan ini, yang seharusnya menjadi hak rakyat, justru menjadi sumber keuntungan bagi segelintir pihak.

Selain itu, kapitalisme mendorong ketimpangan melalui sistem perbankan berbasis riba. Sistem ini menjadikan utang sebagai alat eksploitasi, di mana individu, bahkan negara, terjebak dalam lingkaran utang berbunga tinggi. Riba tidak hanya memperkaya segelintir pemodal besar tetapi juga menghancurkan ekonomi masyarakat kecil.

Kapitalisme juga gagal menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu. Negara-negara kapitalis hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara kolektif, tanpa memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya.

Akibatnya, terjadi fenomena "pertumbuhan tanpa pemerataan," di mana segelintir orang menikmati hasil ekonomi, sedangkan mayoritas rakyat justru terpinggirkan.

Paradigma kapitalisme yang berorientasi pasar bebas juga menimbulkan instabilitas ekonomi. Krisis ekonomi yang berulang—seperti krisis global 2008—adalah bukti nyata kegagalan sistem ini dalam menjaga stabilitas. 

Kapitalisme membiarkan pasar berjalan tanpa regulasi yang adil, sehingga menciptakan gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu meledak dan menghancurkan tatanan masyarakat.

Sistem Ekonomi Islam: Solusi Hakiki

Islam hadir dengan sistem ekonomi yang berbeda secara fundamental. Sistem ini tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga memastikan distribusi kekayaan yang adil.

Islam menetapkan bahwa sumber daya alam, seperti tambang, air, dan energi, adalah milik umum (milkiyah ‘ammah) yang pengelolaannya dilakukan oleh negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi atau individu.

Instrumen zakat menjadi salah satu solusi dalam mengentaskan kemiskinan. Zakat bukan sekadar amal, melainkan kewajiban yang hasilnya langsung dialokasikan kepada delapan golongan penerima. Sistem ini memastikan kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:

“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Selain zakat, Islam melarang praktik riba yang menjadi akar eksploitasi ekonomi dalam kapitalisme. Tanpa riba, kegiatan ekonomi berjalan secara produktif tanpa menciptakan ketimpangan. Islam juga mengatur mekanisme perdagangan dan investasi yang adil, sehingga mencegah monopoli dan eksploitasi.

Sistem Politik Islam: Pemimpin Sebagai Pelayan Umat

Dalam Islam, pemimpin bertugas sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Khalifah bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu dalam masyarakat. Rasulullah SAW bersabda:

“Imam adalah pemimpin, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Negara dalam sistem Islam menjadi pengurus langsung rakyat. Khalifah memastikan distribusi kekayaan berjalan secara adil, layanan publik tersedia tanpa biaya, dan hukum Islam diterapkan secara kaffah.

Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil menciptakan masyarakat yang sejahtera secara merata. Selama masa pemerintahannya, tidak ada lagi fakir miskin yang membutuhkan zakat, karena kebutuhan mereka telah terpenuhi. Hal ini membuktikan bahwa penerapan syariat Islam secara kaffah mampu menghadirkan kesejahteraan nyata.

Landasan Akidah: Pilar Penyelenggaraan Sistem Islam

Semua sistem dalam Islam tegak di atas landasan akidah Islam yang menanamkan keyakinan bahwa hukum Allah SWT adalah solusi terbaik bagi manusia. Akidah ini menumbuhkan ketundukan total kepada syariat sebagai panduan hidup. Allah SWT berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Dengan landasan ini, para pemimpin Islam memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Mereka mengutamakan kesejahteraan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Wallahu a'lam []

Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)

Opini

×
Berita Terbaru Update