TintaSiyasi.id -- Problem Kesehatan Belum Usai
Problem kesehatan adalah salah satu pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pemerintah kita hingga kini. Di antara problem kesehatan yang masih dihadapi adalah tidak meratanya nakes antara desa dan kota serta masih banyaknya warga desa yang memilih mengobati diri sendiri (self-medication).
Tidak meratanya nakes misalnya ditemukan di wilayah Kalimantan Tengah. Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Suyuti Syamsul, menegaskan masih banyaknya kebutuhan dokter. Dengan berpedoman mengikuti rasio baru, setiap seribu penduduk, memerlukan satu orang dokter, maka penduduk Kalimantan Tengah yang berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa, memerlukan 2.700 dokter.
Namun saat ini, jumlah dokter hanya ada 800 orang, sehingga masih kurang sekitar 1.900 dokter lagi untuk mencapai ideal. Masalah tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan merupakan masalah yang tidak pernah terselesaikan hingga saat ini karena mayoritas terkonsentrasi hanya di perkotaan (rri.co.id, 01-10-24).
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr dr Muhammad Adib Khumaidi pernah menyampaikan bahwa dari hasil survei yang dilakukan, beberapa faktor yang menyebabkan kesenjangan jumlah dokter antara kota dan daerah adalah karena di daerah memiliki keterbatasan seperti sarana prasarana, alkes, obat, insentif yang rendah, jenjang karier yang tidak menjanjikan, serta kurang didukung fasilitas penunjang untuk keluarga, misalnya fasilitas pendidikan untuk anak atau tempat kerja bagi pasangan (health.detik.com, 23/02/24)
Sementara terkait dengan self-medication, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) hal ini lebih banyak terjadi di desa daripada di kota. Berdasarkan data, pada tahun 2022 penduduk desa mengalami peningkatan self-medication. Kendati pada tahun 2023 menurun tetapi tidak signifikan, hanya 3.5 persen. Sementara masyarakat perkotaan trennya dari tahun 2021 sampai 2023 mengalami penurunan.
Faktor ekonomi, akses jalan, maupun lokasi tempat tinggal adalah hal yang paling memengaruhi kemampuan berobat. Semakin tinggi penghasilan, semakin mudah orang mengobati dirinya melalui nakes di faskes dan mengakses jalan menuju kesana, sebaliknya bagi yang ekonomi sulit tidak demikian. Masyarakat desa cenderung berpenghasilan rendah dan lokasi rumahnya jauh dari faskes. Sedangkan untuk mengakses faskes yang jauh tentu membutuhkan juga biaya akomodasi. (goodstat.id, 01/06/24).
Kasus-kasus tersebut hanyalah contoh dari sederet problem kesehatan yang belum mencapai solusi tuntas.
Berdasarkan hal ini, seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap pemerataan akses kesehatan bagi masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Hal itu wajib diwujudkan melalui jaminan kesehatan yang layak dan baik agar seluruh masyarakat dapat mengaksesnya tanpa terkecuali.
Kapitalisme dan Abainya Pemerintah
Tidak meratanya nakes dan masih banyaknya warga yang berobat mandiri merupakan potret yang menunjukkan bahwa negara belum benar-benar memberikan jaminan ketersediaan nakes sebagai subjek yang menjalankan proses pelayanan kesehatan dan belum semua masyarakat bisa mengakses layanan kesehatan secara optimal.
Hal ini sangat disayangkan, sebab sektor kesehatan merupakan salah satu komponen penting yang harus diutamakan selain dari sektor lainnya.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Semua ini berpangkal dari paradigma kapitalis yang mengkomersilkan pelayanan kesehatan. Akibatnya kesehatan dijadikan ladang bisnis yang menggiurkan. Mulai dari bisnis obat, vaksin, alat
-alat kesehatan dan sebagainya. Maka tak heran, kalaupun ada program kesehatan yang berbiaya murah atau gratis, biasanya warga harus menempuh birokrasi yang panjang dan berbelit. Kalau ingin mendapatkan pelayanan yang cepat, maka penggunaan dana pribadi adalah pilihan yang tepat namun biaya yang dikeluarkan pastilah tidak sedikit.
Pada sisi yang lain, pemerintah juga belum berhasil melakukan pemerataan nakes di tiap daerah. Meskipun pemerintah pusat maupun daerah telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk meningkatkan jumlah dokter di pedesaan dan terpencil, seperti memberikan insentif daerah yang cukup tinggi, membuat program penugasan khusus melalui Nusantara Sehat, memfasilitasi rumah dan kendaraan dinas, atau mewajibkan setahun pengabdian untuk dokter spesialis, akan tetapi kebijakan yang diterapkan tersebut belum cukup berdampak dalam menjamin kesediaan dokter untuk bekerja dalam jangka panjang di wilayah desa atau terpencil (rsation.com, 28/08/19).
Sekali lagi, inilah bukti bahwa pemerintah abai dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk warganya. Walaupun ada pilihan murah atau gratis tapi belum semua diikuti dengan pelayanan, fasilitas dan juga obat-obatan yang berkualitas. Bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas akan lebih mudah memperoleh pelayanan dengan kualitas terbaik, karena mampu membayar dengan harga tinggi. Tentu saja ini akan memberikan keuntungan pada para kapitalis yang terjun di bisnis kesehatan.
Kebijakan kapitalisme meniscayakan penguasa hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Penguasa sesungguhnya adalah para pemain bisnis kesehatan yang memiliki modal raksasa sehingga bisa menyetir berbagai kebijakan untuk memuluskan jalan mereka.
Jaminan Layanan Kesehatan Prima Dalam Islam
Telah nyata bahwa jaminan layanan kesehatan prima tidak akan diperoleh dalam sistem kapitalisme. Kondisinya akan berbeda jika Islam yang dijadikan sebagai asas dalam mengurus rakyat dan negara. Islam memandang bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok umum yang wajib disediakan negara.
Pelayanan kesehatan prima diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa ada perbedaan. Tidak ada birokrasi rumit, karena sistem administrasi yang dimudahkan. Semua berhak mendapatkan pelayanan kesehatan paripurna dan dilayani dengan segenap hati oleh seluruh nakes berikut para pegawainya.
Negara dengan sistem Islam (daulah) akan memerhatikan juga ketersediaan tenaga medis di setiap inci wilayah dan menjamin pemerataannya agar tidak ada tempat yang kekurangan dokter atau pun tenaga medis lain.
Dari sisi fasilitas kesehatan pun daulah memberikan perhatian penuh. Daulah menyediakan rumah sakit-rumah sakit, klinik-klinik ataupun puskesmas dengan alat-alat yang lengkap dan terbaik. Begitu pula dengan penyediaan obat-obatan halal dengan kualitas yang tidak diragukan lagi. Semua diberikan secara gratis karena memberikan pelayanan kesehatan adalah bentuk pengurusan yang wajib diberikan Daulah kepada seluruh warganya tanpa melihat status sosial, agama, etnis, dan golongan.
Seluruh nakes mulai dari dokter, perawat, apoteker dan para pegawainya termasuk para peneliti atau pakar-pakar di bidang kesehatan akan memperoleh gaji yang sepadan dan layak dengan jasa yang diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa mereka. Dengan jaminan seperti ini otomatis akan semakin menambah kualitas kinerja mereka dalam melayani masyarakat yang membutuhkan pengobatan.
Dengan totalitas pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Daulah, semua lapisan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang cepat dan terbaik. Masyarakat juga tidak akan merasa malas berobat karena semuanya dipermudah. Daulah tidak akan menerapkan pelayanan kesehatan dengan skema berdagang antara penjual dan pembeli yang tujuannya mencapai keuntungan materi, seperti realitas yang terjadi pada saat ini.
Semua dilakukan Khalifah (pemimpin negara yang menerapkan Islam) sebagai bentuk tanggung jawab dari amanah yang diberikan Allah Swt. sekaligus sebagai bentuk kewajiban mengurus warganya sesuai standar syariat Islam. Bahkan bukan hanya dari segi pelayanan kesehatan saja, Daulah juga akan memberikan pelayanan prima dari aspek lainnnya seperti ekonomi, sosial, pendidikan, keamanan dan sebagainya.
Jaminan layanan kesehatan prima ini bagi seluruh rakyat ini hanya mungkin terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam. Dimana
Khalifah berperan sebagai pengurus rakyat, yang menjamin terpenuhinya layanan kesehatan mulai dari perkotaan hingga pedesaan, dengan fasilitas yang memadai, berkualitas, dan gratis.Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
Aktivis Muslimah