Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Jadilah Pemimpin Pengurus Rakyat Bukan menjadi Pemalak Pajak

Senin, 23 Desember 2024 | 17:11 WIB Last Updated 2024-12-23T10:12:05Z


Tintasiyasi.id.com -- Tahun baru, pajak baru. Awal tahun 2025 rakyat Indonesia akan mengalami kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.  Kebijakan ini telah direvisi dan disahkan oleh pemerintah melalui undang-undang nomor 7 tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.  

Kebijakan pemerintah tersebut jelas mencerminkan nir empati atas kondisi perekenomian rakyat yang semakin sulit. Persoalan deflasi yang terjadi sepanjang tahun 2024 saja, pemerintah belum ada upaya serius untuk menanganinya.

Hal demikian menyebabkan tingginya gelombang PHK, menurunnya daya beli masyarakat dan lain sebagainya, yang membuat intensitas kesengsaraan rakyat semakin meningkat. 

Begitulah realitanya, belum selesai persoalan yang satu, bertambah pula persoalan yang lain. Ini menjadi hal yang wajar terjadi ketika landasan kebijakan pemerintah adalah kapitalisme.  

Dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di negeri ini, pajak menjadi instrumen utama untuk menghidupi negara. Pajak seperti urat nadi untuk kehidupan di negara kapitalis demokrasi. Karena itu, pemerintah kian menggelora semangatnya untuk senantiasa menaikkan tarif pajak. 

Keputusan sepihak pemerintah untuk terus menaikkan pajak, tentu memantik reaksi dari berbagai pihak. Gelombang kritik pun membanjiri media sosial, salah satunya di platform X, warganet kompak beramai-ramai  memviralkan tagar bertuliskan #TolakPPN12Persen.

Warganet seolah sudah jengah dan muak atas biaya hidup yang makin sulit dan ditambah lagi dengan pajak yang kian mencekik. Mereka berharap agar pemerintah meninjau ulang keputusan ini dan segera membatalkannya. 

Bisa dibayangkan, kenaikan pajak akan makin membebani kehidupan rakyat kedepan, terutama rakyat menengah kebawah. Untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan perut, rakyat sudah dibikin 'ngos-ngosan', pusing tujuh keliling dan kocar-kacir hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini tentu akan membuat jurang kemiskinan kian meluas. 

Betapa menyedihkan, Inilah potret kezaliman yang dipertontonkan secara nyata. Bagaimana mungkin, pemimpin yang seharusnya menjadi pengurus rakyat, justru malah menjadi pemalak lewat pajak? 

Di dalam Islam jelas, pemimpin adalah pengurus rakyat. Artinya pemimpin (kepala negara) wajib memenuhi kebutuhan setiap individu tanpa terkecuali. Karena mereka paham bahwa rakyat adalah amanah berat yang akan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah Swt.

Sebagaimana Rasulullah Saw telah mengingatkan, "Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat, ia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya."

Pemimpin dalam Islam adalah sosok yang bertakwa yang mau menerapkan segala kebijakan berdasarkan aturan Islam. 

Selain itu, sistem pemerintahan menurut pandangan Islam yakni sistem Khilafah  mengharamkan memungut pajak. Rasulullah Saw telah memberi peringatan keras terkait pajak dalam sebuah hadis riwayat Ahmad, “Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka.” 

Karenanya, negara yang menerapkan aturan Islam secara utuh (kaffah) tidak akan menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Adapun untuk menjalani roda pemerintahan, Negara Islam (Khilafah) punya banyak pemasukan seperti harta kepemilikan umum (pertambangan, hasil hutan, laut), harta kepemilikan negara (zakat, sedekah, ganimah, kharaj, jizyah, harta orang yang tidak punya ahli waris) dan lain-lain. Segala pemasukan ini hasilnya akan dikembalikan kepada masyarakat. 

Adapun jika keadaan yang tidak terduga terjadi. Misalnya seperti terjadinya musibah atau bencana besar, wabah penyakit yang melanda, biaya untuk jihad fiisabilillah serta kebutuhan mendesak lainnya yang mengakibatkan negara mengalami krisis ekonomi.

Dalam kondisi ini (tertentu) ada pengecualian yakni, negara boleh mengambil dharibah (semacam pajak) dengan syarat hanya dibebankan kepada laki-laki muslim yang punya kelebihan harta dan tidak dibebankan kepada wanita, non muslim atau masyarakat secara umum. Pungutan ini juga bersifat sementara hingga kondisi ekonomi negara kembali pulih seperti semula. 

Dengan demikian, adalah sesuatu yang urgent atau kebutuhan yang sangat mendesak agar sistem pemerintahan Islam (Khilafah) untuk segera diterapkan. Karena, berharap pemimpin menjadi pengurus bagi rakyat hanya bisa dirasakan saat Khilafah tegak. 

Sebaliknya, menaruh harapan pada pemimpin yang masih menerapkan paradigma kapitalis demokrasi hanya menjadi angan-angan panjang yang tidak akan pernah terealisasi. Wallahu'alam Bishshowwab.[]

Oleh: Tenira Sawitri
(Analis Mutiara Umat Institite)

Opini

×
Berita Terbaru Update