Tintasiyasi.id.com -- Presiden Prabowo Subianto merasa prihatin dengan kenyataan bahwa Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyebutkan sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta per bulan dan 13 persen di antaranya berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan.
Sebanyak 74 persen guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen di antaranya masih berpenghasilan di bawah Rp500 ribu.
Dengan tingkat penghasilan yang rendah, berbagai upaya dilakukan guru untuk menutupi kebutuhan hidup, salah satunya adalah memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai guru.
Oleh karena itu, saat ia menghadiri Puncak Peringatan Hari Guru Nasional di Velodrome Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis, 28 November 2024, Prabowo memberikan kejutan kepada para guru ASN akan mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar 1 kali gaji pokok. Guru-guru non-ASN, nilai tunjangan profesinya ditingkatkan menjadi Rp2 juta di tahun 2025.(liputan6.com, 3/12/2024)
Dilansir dari cnnindonesia.com, (3/12/2024) Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan bagi gaji guru Non-ASN yang bersertifikasi sebelum 2024 naik, mendapatkan kenaikan tunjangan Rp500 Ribu sehingga yang dulunya mendapat Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta.
Kenaikan Rp500.000 pun dapat diperoleh saat guru mengurus dan mendapatkan SK-inpassing sehingga tunjangan profesi gurunya menjadi Rp2 juta rupiah atau lebih sesuai golongan yang setara ASN.
Sementara itu, guru ASN mengira tunjangan profesinya menjadi dua kali lipat gaji pokok. Padahal, tidak ada perubahan sama sekali kebijakan dari aturan sebelumnya. Tunjangan profesi guru (TPG) bagi guru ASN yang sudah mengantongi sertifikat pendidik memang sebesar 1 kali gaji pokok.
Pernyataan presiden terkait kenaikan gaji guru nyatanya bukanlah kenaikan gaji, namun hanya kenaikan tunjangan untuk guru swasta atau non-ASN itu pun hanya Rp500.000. Kebijakan ini jelas menggambarkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan guru.
Kenaikan tunjangan ini jelas tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru. Pasalnya, kesejahteraan rakyat tidak hanya berkaitan dengan besaran gaji dan tunjangan yang didapatkan, tetapi juga sangat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang melingkupi kehidupan masyarakat.
Bagaimanapun juga, guru adalah salah satu korban sistem rusak kapitalisme yang sedang diterapkan dunia saat ini. Karena di bawah sistem kapitalismelah banyak kebutuhan pokok rakyat yang membutuhkan biaya besar yang harus ditanggung oleh setiap individu termasuk juga guru.
Bahkan kenaikan harga sembako, papan, pendidikan, BBM, listrik, kesehatan, gas dan PPN lebih sering terjadi dibandingkan dengan kenaikan gaji guru.
Faktanya, masih banyak guru yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Bahkan tidak sedikit para guru yang pada akhirnya terjerat utang pinjol akibat terdesak menghadapi kekurangan ekonomi yang tidak sepadan dengan jasanya. Alih-alih guru mampu berdaya dan sejahtera, namun para guru makin lama malah makin terdesak oleh kondisi yang ada.
Hari ini, profesi mereka tidak sebombastis slogan-slogan dunia pendidikan. Gaji tidak layak dan kesejahteraan mereka tidak terjamin seutuhnya, ditambah lagi nasib guru honorer yang masih belum mengalami perbaikan signifikan. Kondisi ini makin diperburuk dengan adanya ancaman kriminalisasi dari para orang tua murid yang arogan.
Dalam sistem kapitalisme, guru dipandang tak ubahnya seperti faktor produksi yang tenaganya digunakan untuk menyiapkan generasi yang siap terjun ke dunia kerja atau industri.
Semakin banyak generasi yang memiliki kemampuan bekerja, maka semakin besar pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi. Inilah yang terus dikejar oleh sistem ekonomi kapitalisme.
Padahal, pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat individu per individu dan hal ini diperparah dengan lenyapnya peran negara sebagai pengurus (raa'in).
Negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Implikasinya, negara mengizinkan pihak swasta dalam mengelola SDA, kesehatan hingga pendidikan. Ditambah
arus deras moderasi beragama menyulitkan guru dalam merealisasikan visi pendidikan kepada anak didiknya.
Karena moderasi beragama justru mendistorsi peran sejati pendidikan demi menghasilkan generasi berkualitas. Standar benar dan salah menjadi abu-abu. Dengan kata lain, moderasi beragama merupakan mekanisme tercanggih untuk melakukan sekularisasi kepada para peserta didik secara sistemis.
Sehingga karakter anak didik semakin jauh dari Islam. Alhasil, pemikiran dan tingkah laku merekapun tidak dilandasi dengan Islam. Dampaknya, mereka akan lebih mudah melakukan tindakan kriminalitas, hilang rasa empati dan peduli kepada kesusahan orang lain. Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekuler memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Cara Islam Menyejahterakan Guru
Nasib guru tentu akan berbeda di bawah penerapan sistem Islam. Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek kehidupan, termasuk juga pendidikan.
Dalam sistem pendidikan Islam, negara menetapkan regulasi terkait kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran, bahan-bahan ajar, termasuk penggajian tenaga pengajarnya dengan regulasi yang manusiawi, bahkan memuaskan.
Islam sangat memperhatikan guru,
karena di antara peran guru yang paling penting adalah membentuk kepribadian muridnya. Oleh karena itu, wajib bagi guru untuk memiliki pola pikir Islami dan mampu menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Karena hal tersebut merupakan salah satu cara yang paling pas dalam upaya pembentukan kepribadian murid.
Guru wajib mengajarkan metode berfikir yang sahih dan tidak rela terhadap semua hal yang bertentangan dengan syariat. Sebaliknya, ia senantiasa menyeru kepada kebenaran, juga tidak zalim dan munafik.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR Muslim)
Mencermati aspek strategis peran guru tersebut, maka kepala negara (khalifah) akan semaksimal mungkin menjamin kesejahteraan guru yang telah berjasa bagi negara.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”
(HR Bukhari dan Muslim)
Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkaam menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat.
Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam, kita akan mendapati betapa besarnya perhatian khilafah kepada para guru tanpa ada pembedaan antara guru honorer dan nonhonorer.
Sebagai gambaran, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadhi’ah bin Atha, bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas). Bila saat ini harga per gram emas Rp1,5 juta, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp95.625.000
Begitu pun masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, gaji guru berkisar antara 11—40 dinar. Artinya, apabila dikurs dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp70- 255 juta.
Selain kebijakan penggajian, penerapan sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara juga menjadikan kebutuhan-kebutuhan guru mudah dijangkau. Harga kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang dan papan dijaga kestabilannya dengan support besar negara di sektor hulu dan hilir. Pelayanan pendidikan, kesehatan hingga keamanan juga diberikan secara gratis.
Demikianlah kesejahteraan guru dalam naungan Khilafah Islam. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan dalam mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya.
Hal tersebut menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara demi membangun peradaban agung dan mulia tanpa harus bekerja sampingan demi tambahan pendapatan.
Penerapan syariat Islam dalam kehidupan sungguh akan memuliakan guru hingga mampu mencetak generasi unggul dan bertakwa. Ya, hanya dengan Khilafah Islamiah, problematik pendidikan (termasuk kesejahteraan guru) dapat terselesaikan dan terlaksana dengan paripurna.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)