TintaSiyasi.id -- Pengamat Ekonomi Syariah Ustazah Nida Sa'adah, mengungkapkan dampak yang akan ditimbulkan jika pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan pemerintab menjadi 12 persen.
"Kalau kita lihat bahwa apakah ada dampak? Tentu ada dampak ya! Ketika orang mengalami kenaikan pengeluaran kemudian di saat yang sama dia juga mengalami kenaikan pendapatan tentu pasti akan ada dampak yang cukup membantu, membantu untuk mengatur pengeluarannya," ungkapnya di kanal YouTube Supremacy, Jumat (6/11/2024). Kenaikan Upah Minimum, Apakah Solusi Pajak Pertambahan Nilai?
Pertama, pemerintah telah menyiapkan satgas untuk memastikan perusahaan-perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena ada kenaikan upah minimum nasional.
Padahal, ketika perusahaan tidak diminta menaikkan upah saja itu sudah banyak analisis akan ada gelombang PHK massal pasca dinaikkan PPN 12 persen. Karena itu, kalau bicara PPN berarti termasuk bicara semua bahan baku yang dipakai. Efeknya, multiplayernya akan besar sekali cost akhirnya. Itu menjadi tekanan tersendiri bagi perusahaan sebelum dipaksa untuk menaikkan upah minimum.
"Tetapi kita juga harus ingat bahwa tidak semua rakyat di Indonesia ini yang ketika regulasi PPN 12 persen itu berlaku, maka mereka secara otomatis masuk dalam jalur regulasi ekonomi yang kalau kita bicara aparatur sipil negara para ASN, maka dia juga akan ada buffer dari pemerintah, kalau yang swasta tadi yang dia bekerja maka backup-nya tadi ada kenaikan upah minimum," ungkapnya.
Padahal, kata Nida, komposisi rakyat di Indonesia yang juga jumlahnya jutaan, ada sebagian yang tidak bekerja sebagai ASN maupun di perusahaan. Tetapi bekerja di sektor-sektor informal, sehingga harus mengatur pengeluarannya secara mandiri. Itu problem pertama yang tidak terpecahkan dari rencana kenaikan PPN 12 persen.
"Kemudian yang kedua apakah yang dia berada di sektor pekerja swasta tadi yang di backup oleh pemerintah dengan memaksa pengusaha menaikkan upah minimum, apakah menjadi solusi terhadap perusahaan, terhadap pekerja maka kita lihat juga dampak tekanan pengeluaran ke perusahaan sudah pasti akan makin tinggi," urainya.
Solusi
Pertama, tentang pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan atau apapun itu. Itu adalah pungutan yang dikenakan negara terhadap rakyatnya berbasis regulasi sekular. Jadi dia (negara) mengambil regulasi semacam ini karena Indonesia tidak mengadopsi syariah. Masalahnya berarti disitu. Kalau Indonesia itu menerapkan syariat Islam secara kaffah, maka sebetulnya tidak perlu mengeluarkan berbagai macam jenis pungutan kepada rakyatnya. Karena ada regulasi detail di dalam syariah yang mengatur apa saja, jenis pendapatan negara.
Ia merasa heran, mengapa PPN terus dinaikkan sementara pungutan pada pihak luar (impor), pihak asing yang masuk ke pasar Indonesia yang masuk ke ekonomi Indonesia tidak dikenakan pungutan apapun. Hal ini, kata Nida, berarti ada aspek lain di luar ekonomi yakni hegemoni terjajahnya Indonesia terhadap sistem politik negara luar.
Lebih lanjut, Nida menerangkan, di dalam Al-Qur'an ada banyak sekali ayat yang memerintahkan umat Islam itu tidak boleh menyerahkan urusannya itu kepada negara-negara yang tidak mengatur regulasi negaranya dengan Islam, karena itu membuka ruang untuk dihegemoni dikuasai umat Islam itu oleh negara luar.
Akhirnya, karena pungutan pajak makin bertambah, banyak ragamnya, prosentasenya juga makin bertambah tinggi, karena tadi dalam regulasinya dihegemoni berdasarkan sistem pungutan yang ditiru (negara penjajah), yang dijalankan menurut tekanan dari negara-negara lain.
"Nah sementara kalau kita bahas tentang prinsip syariah, tentang pungutan yang mengacu kepada rakyatnya kita akan lihat ada banyak kebaikan di dalamnya. Pertama, prinsip dasar pungutan yang dijalankan dalam regulasi syariah harus kembali mengacu kepada Al-Qur'an dan as sunah. Kita lihat ketika mengacu kepada Al-Qur'an dan as sunah maka ada banyak sekali kebaikan yang bisa kita lihat di situ. Kalau kita kaji secara ekonomi kita akan temukan bahwa pungutan yang mengacu pada Al-Qur'an dan as sunah itu memperhatikan betul bahwa harta yang dipungut itu adalah harta yang produktif bukan harta yang dikonsumsi," paparnya.
Kedua, pungutan itu dikenakan maka dipastikan juga harta itu menghasilkan sesuatu (manfaat), dan menghasilkan sesuatu itu berkesinambungan sampai ke batas tertentu yang tidak dibutuhkan lagi oleh yang bersangkutan. Jadi memang dipastikan itu harta berlebih ketika dipungut oleh negara. Sementara kalau prinsip sekuler dalam mengatur pemungutan ke rakyat tidak memperhatikan itu semua. Fokusnya adalah bagaimana harta ini memberikan pemasukan yang besar bagi kas keuangan negara.
"Nah kenapa dalam pungutan syariah tadi dia tidak fokus ke sana? Karena ada banyak pungutan dalam APBN yang disebut dengan Baitul mal itu yang tidak bergantung kepada pungutan kepada rakyatnya. Jadi kita akan temukan ada pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum semacam deposit yang melimpah aset sumber daya alam," jelasnya.
Kemudian, ia menjelaskan, dalam pengelolaan harta kepemilikan negara, semacam padang gembalaan yang luas, perkebunan yang luas, itukan produktif sekali kemudian yang ketiga pungutan kepada individu rakyat. Adalah zakat mal dan zakat maal itu kalau ada nisab dan haulnya. Jadi ada batas minimal yang itu terkena zakat. Kalau di bawah itu, berarti enggak terkena zakat dan itu pun masih ditunggu 1 tahun haulnya. Jadi betul-betul dipastikan itu harta tidam kepakai dan tidak dibutuhkan dalam satu tahun.
"Nah dengan regulasi semacam ini maka tidak pernah kita lihat ada catatan bahwa ada keluhan dari masyarakat ketika negara mengambil pungutan kepada rakyatnya. Karena tadi mekanismenya sudah diatur secara sempurna dalam Islam seperti itu. Nah berarti kan kita lihat dari regulasi yang hari ini ramai sekali dibicarakan kalau dibandingkan dengan Islam yang sangat sempurna tadi maka sebetulnya tunggu apalagi kita untuk kembali kepada Islam itu," imbuhnya.
Ia memberikan catatan bahwa problem terbesarnya hari ini adalah umat Islam sendiri yang belum meminta secara tegas mereka itu hanya mau diatur dengan syariah. Kenapa umat belum meminta secara tegas? Karena banyak sekali umat Islam yang belum paham syariat secara kaffah.
"Tidak banyak tau tentang syariah sehingga termakan opini black campaign negatif tentang syariah. Memusuhi syariatnya sendiri padahal kalau kita lihat tadi itu demikian banyak kebaikan yang Allah berikan di dalam syariah," pungkasnya.[] Alfia Purwanti