Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Hanafi Rais: Apakah Melalui Parlemen Bisa Menegakkan Agama Islam?

Selasa, 10 Desember 2024 | 05:10 WIB Last Updated 2024-12-09T22:10:53Z

Tintasiyasi.ID -- Pengamat Politik Ahmad Hanafi Rais, S.I.P., M.P.P. mengungkapkan kegelisahannya dari banyaknya pertanyaan yang muncul, baik yang dilakoni di parlemen maupun di partai. Pada waktu itu ia merasa harus menemukan jawabannya.

“Mencari jawaban atas kegelisahan, apakah melalui parlemen bisa menegakkan agama Islam?” paparnya pada Fokus YouTube UIY Channel, Bincang Hangat: Pertama Kali, Hanafi Rais Bicara tentang Hal Ini... Ternyata Politik tuh Begini, Ahad (01/12/2024).

Ia memulai ceritanya, “Mengutip salah satu kitabnya Imam Al-Ghazali yang mengatakan kekuasaan dan agama dalam, hal ini agama Islam, (karena Al-Ghazali kan hidup dalam kekhilafan Islam pada waktu itu) ya kekuasaan dan agama itu seperti saudara kembar.’.” 

Nah, artinya ya satu pondasi, yang satunya itu pagar. Kalau pondasi tanpa pagar pondasinya bisa hilang, pagar tanpa pondasi pagarnya bisa roboh begitu. Sehingga seperti saudara kembar yang namanya agama dan kekuasaan itu. 

“Dari kutipan yang secuil itu, membuat saya, oh ya, mestinya memang saya berada dalam kekuasaan atau punya jabatanlah gampangannya yang memang untuk  menegakkan agama,” pikirnya. 

Lalu dengan bekal pengetahuan yang secuil itulah kemudian, “Oh, kalau begitu ketika ada kesempatan maju legislatif, majulah!. Begitu dapat, maka bisa berbuat banyak hal untuk mengokohkan, menegakkan agama Islam tadi,” gumamnya.  

“Dari situ kemudian proses berjalan dan lims tahun saya menjabat di DPR, tahun 2014-2019. Hanya saja ketika mungkin di akhir tahun 2019, muncul banyak pertanyaan-pertanyaan. Setelah lima tahun sudah banyak berkecimpung baik di parlemennya, maupun di partainya pada waktu itu. Karena kalau permainan politik di parlemen itu aktor utamanya kan partai bukan komisi, bukan fraksi, tetapi partainya. Yang mengatur itu semua tergantung partainya. Jadi ada dua, satu partai, satu parlemen ” tuturnya.  

Hanafi membeberkan, selama di lima tahun itu banyak membuat keputusan. Banyak terlibat dalam berbagai macam perancangan undang-undang legislasi maupun revisi, juga fungsi monitoring terhadap pemerintah. 

“Misalnya begini, salah satu hal yang saya ingat ya karena waktu itu terlibat di sebuah pansus revisi undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Karena Pansus itu, berarti yang terlibat beberapa komisi itu jadi satu. Kemudian membahas revisi undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. Kalau enggak salah waktu itu tentang revisi undang-undang anti terorisme. Waktu itu menjadi wakil ketua pansus dan beberapa teman juga wakil ketuanya. Ada satu momen yang sudah agak lupa teknis berapa penentuannya, karena waktu itu ada sebuah perdebatan yang kebetulan kubu kanan dan kubu kirilah begitu, untuk menentukan berapa lama seseorang itu perlu diberi hukuman penjara. Ketika tervonis sebagai teroris. Waktu itu situasinya ada dua perbedaan  mendasar. Katakanlah  yang satu inginnya mungkin 20 tahun yang satu inginnya 10 tahun. Nah, tapi sebelum memutuskan itu dia bertanya nih  ke pemerintah, karena waktu itu pengusulnya adalah dari pemerintah,” bebernya. 

“Pak, ibu, sebenarnya apa dasarnya seseorang itu memutuskan, bahwa kalau sudah  divonis begitu maka hukumnya adalah sekian tahun penjara,” tanyanya. Kemudian dijawabnya, ya dasarnya KUHP. “Oke, kalau KUHP. Lantas dasarnya KUHP mengatakan itu sekian tahun penjara itu apa? Ya dasarnya konsensus dong, antara kita berdua ini pemerintah dan DPR,” gelengnya.

“Jadi saya piker, saya mungkin mau memberikan amunisi. Ternyata baliknya ke DPR sendiri, karena ya semua dikasih kesepakatannya antara pemerintah dan DPR gitu!” resahnya

Sehingga ia melanjutkan, karena sudah ada semacam pemahaman seperti itu lantas perdebatan waktu itu juga enggak selesai-selesai. Akhirnya kemudian ambil tengah saja,  tadi kan bapak 15 setuju. Nah itu, itu mungkin ketika itu  ya sudah apa ada keputusan bagus nanti bahas ke pasal-pasal berikutnya. Sehingga sampai diketok seluruhnya ini revisi selesai. 

Tetapi kemudian, menyisakan sebuah pertanyaan buat Hanafi pribadi. “Apa ya begitu cara menentukan hukum. Ini kan nasib orang. Ya kalau benar, kalau  salah?” gundahnya. 

Lajutnya, karena waktu itu kan terorisme menjadi sebuah barang politik sebenarnya.  “Saya rasakan sih itu lebih banyak barang politisnya, walaupun memang ada mungkin secara fakta ada, tetapi ada banyak unsur hal yang membuat saya meyakini terorisme itu juga jadi narasitik, bukan lagi narasi keamanan,” akunya . 

Lalu dia merasakan, “Ya, kalau benar, kalau enggak? Kok, cuma diputuskan secara kayak orang jualan di pasar. Sudahlah, pase pinten, Bu? Begitu. Seolah-olah kayak harga pasnya berapa begitu,” jelasnya. 

Itu hal yang menurutnya menyisakan banyak hal yang mungkin masih menggelisahkan pada waktu itu. 

“Itu kan dari sisi parlemen saja. Nah, belum lagi waktu itu ramai mau pembahasan Undang-Undang Penyiaran yang baru karena waktu. Itu kan mau menuju digitalisasi. Nah, kita punya pandangan bahwa digitalisasi ini karena frekuensi barang publik, ya harusnya negara yang mengelolanya,” koreksinya. 

Sehingga, imbuhnya, yang namanya  penyelenggaraan digital itu harus dimiliki dan dikelola oleh negara. “Prosesnya cukup tajam ya, kemudian arahnya memang berpihak kepada negara, karena tadi kesadaran bahwa frekuensi ini adalah barang publik. Tapi kemudian di tengah jalan apa? Ada instruksi dari atasan, dari partai. Sudahlah kita ramah saja sama TV gitu toh nanti pas kampanye butuh mereka juga, begitu,” ulasnya. 

Pada akhirnya kemudian ya enggak bergulir itu, artinya,  pembahasan penyiaran pada waktu itu terhenti, karena  cenderung status quo itu lebih, lebih dipilih daripada menyelesaikan secara tuntas ketika periode itu. “Dan sampai sekarang kita tahu salah satu undang-undang yang enggak pernah selesai itu adalah undang-undang penyiaran,” lontarnya.

Hanafi mengatakan yang di ranah parlemen, di ranah partainya itu juga ia kira memunculkan banyak kegelisahan. Karena  tendensinya itu adalah atau mungkin postur cara mengambil keputusan adalah bagaimana menyenangkan semua orang, karena butuhnya suara. 

“Sehingga kalau ada keputusan-keputusan yang sifatnya itu nanti enggak popular, ya kemudian lantas coba untuk  dihindari atau dibuatkan narasi yang lebih empuk lagi begitu. Agar enggak terlalu apa ya, menimbulkan risiko kehilangan suara. Akhirnyan merasakan keresahan yang tetap muncul,” ucapnya. 

“Apakah ya kayak begini terus sih, ya! Apa ya begini cara mengambil Keputusan. Padahal ini keputusan politik. Itu kan maslahatnya bisa luas, tapi kalau salah mudaratnya juga bisa luas juga,” resah pikirnya.

Kemudian, sampai pada sebuah momen, Hanafi harus segera mencari jawabannya sampai ketemu. “Apalagi waktu itu juga mau nyalon periode kedua di tahun 2019. Jadi 2019 itu nyaleg dalam kondisi sudah enggak terlalu  sesemangat dari yang sebelumnya, tapi ya tetap dijalani sambil mencari jawaban tadi,” antusiasnya. 

“Sampailah kira-kira di penghujung atau di medio 2019 sudah ketemu jawabannya, bersamaan ia terpilih lagi di dapil yang sama, cuma suaranya turun sedikit,” ujarnya.

Ia kisahkan jawaban yang diyakini sebagai sebuah keyakinan yaitu Islam. Dari pilihan banyaknya majelis, ia mendatangi guru satu-satu sampai pada sebuah kajian di mana ada kajian yang ia inginkan, yang ia harapkan. “Mulai dari ikut kajian ilmu prasmanan, mencomot yang senang dan sesuai saja dengan kebutuhannya. Misal butuh mengurusi anak-anak ya ikut kajian parenting. Kepingin punya bisnis ya sudah ikut kelas bisnis, untuk bagaimana melakukan bisnis secara syariat dan juga profesional. Dan kajian-kajian lain yang dibutuhkan,” bebernya.

Namun akhirnya sampai pada titik yang sama juga, “Ini kalau kayak begini terus, berarti apa ya agama yang untuk melayani kita ya.” 

Ia juga merasakan itu enggak pas juga kalau begitu. Baru sampailah kepada sebuah kajian akidah, nge-Fast Namanya, yang menurutnya sangat komprehensif, karena memahami Islam, lewat dasarnya dulu yaitu akidah dan yang dipuaskan adalah akalnya. 

“Nah, jadi saya menemukan kajian akidah ini, agak berbeda karena mungkin kalau saya bandingkan dahulu ketika di SMA, dapatnya pelajaran akidah itu ya hafalan saja. Seperti rukun iman berapa, lalu sifat-sifat Tuhan dan seterusnya,” senangnya.

Tetapi kemudian dalam kesempatan itu dia merasakan, “Wah ini beda, sampai pada kesimpulan bahwa Islam itu sudah mengatur semua urusan. Dari urusan bangun tidur, bangun bisnis, bangun rumah tangga, sampai bangun negara,” terangnya.  

Kebetulan, lanjutnya, “Saya yang waktu itu masih di parlemen yang bagian bangun negara. Ini yang harus terus saya telusuri. Walaupun sebenarnya sudah sekomplit itu ya dari bangun tidur kan sifatnya individu, dari bangun rumah tangga sudah urusan sama orang lain, bisnis juga apalagi ini bangun negara.  Lebih, lebih luas lagi begitu impact-nya,” sontaknya.

Nah, dari situ kemudian disimpulkan, “Kita berbuat, termasuk berpolitik itu bagian dari perbuatan kita yang terikat dengan hukum-hukum Allah. Di situ ditemukan bahwa sebenarnya Allah pun juga sudah memberitahu kepada kita, bagaimana kita ini memutuskan segala macam perkara termasuk urusan politik.  Ya, caranya adalah hanya dengan apa yang Allah turunkan, yaitu pada Al-Qur’an maupun yang diteladankan oleh Rasulullah saw.  Wah, berarti yang selama ini saya lakukan salah, dong,” sesalnya. 

“Kesalahan yang paling menohok buat saya adalah ketika saya merasa apa yang saya lakukan dan saya putuskan, untuk urusan-urusan politik di parlemen maupun di partai itu benar, tetapi ternyata itu tidak benar di hadapan Allah, karena tidak memenuhi standar Qur’an dan sunah,” sedihnya

Seperti tadi misalnya, mengurusi urusan orang yang terkena pidana tadi itu harus sekian hukuman penjara. Itu menjadi kemudian sangat jauh berbeda kalau kemudian dikuti standarnya itu. Standarnya yang benar dari Yang Maha Benar Allah, karena Allah sudah punya hukum sendiri atau syariat dalam hal ini. 
 
“Kita enggak mungkin mengurusi perkara-perkara ini kalau tidak memakai standarnya dari yang menciptakan kita, yang hukumnya itu sudah pasti benar,” tutupnya.[] Titin Hanggasari

Opini

×
Berita Terbaru Update