Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Empat Syarat Pembaiatan Khalifah untuk Kasus Suriah Dewasa Ini

Kamis, 12 Desember 2024 | 12:05 WIB Last Updated 2024-12-13T05:28:00Z

Tintasiyasi.ID -- Menyikapi runtuhnya rezim Basyar Al-Asad yang kafir pada hari Ahad yang lalu, 08 Desember 2024 di Suriah, membawa harapan baru yang besar bagi umat Islam untuk terjadinya perubahan yang mendasar, Ahli Fikih Islam K.H. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menyatakan bahwa perubahannya tidak hanya perubahan rezim, tetapi juga perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler menjadi pemerintahan Islam (khilafah).

“Runtuhnya rezim Basyar Al-Asad yang kafir pada hari Ahad yang lalu, 08 Desember 2024 di Suriah, membawa harapan baru yang besar bagi umat Islam untuk terjadinya perubahan yang mendasar. Perubahan mendasar yang dimaksudkan ialah perubahan yang tidak hanya perubahan rezim, tapi juga perubahan sistem, yaitu dari sistem sekuler yang ada, menjadi sistem pemerintahan Islam (khilafah),” rilisnya kepada TintaSiyasi.ID, Kamis (11/12/2024). 

Kiai Shiddiq menekankan bahwa sistem khilafah inilah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para khalifahnya sesudah beliau, mulai dari Khalifah Abu Bakar Shiddiq (berkuasa tahun 632 M), hingga khalifah terakhir di Turki, yaitu Sultan Abdul Majid II (lengser tahun 1924).

“Tulisan ini bertujuan menjelaskan syarat-syarat pembaiatan khalifah yang wajib dipenuhi oleh sebuah negeri yang hendak menegakkan khilafah dewasa ini, yakni setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924. Saat itu, khalifah yang tengah memimpin umat Islam, yakni Sultan Abdul Majid II, diberhentikan secara paksa pada tanggal 03 Maret 1924 oleh Mustafa Kamal Ataturk yang murtad, berbarengan dengan runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah,” jelasnya.

Pengertian Baiat

Kiai Shiddiq menerangkan definisi baiat, “Menurut makna bahasanya (ma’na lughawi/makna etimologi) ada beberapa makna, antara lain:”

Pertama, baiat bermakna janji setia untuk menaati seorang pemimpin, atau dalam bahasa Arabnya diungkapkan dengan kalimat  اَلْمُبَايَعَةُ عَلىَ الطَّاعَةِ [al-mubāya’ah ‘alā at-thā’ah (janji setia untuk mentaati)].

Kedua, baiat bermakna kesepakatan jual beli, atau bahasa Arabnya diungkapkan dalam kalimat اَلصَّفْقَةُ مِنْ صَفَقَاتِ الْبَيْعِ [ash-shafqah min shafaqāt al-bai’ (yang berarti: satu kesepakatan di antara kesepakatan-kesepakatan berjual beli)]. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 274; Ahmad Mahmūd Ālū Mahmūd, Al-Bai’ah fī al-Islām Tārīkhuhā wa Aqsāmuhā Bayna Al-Nazhariyat wa Al-Tathbīq, hlm.19).

Lanjut diterangkan, adapun ma’na syar’ī (makna terminologi) dari baiat, yang dirumuskan dari berbagai hadits Nabi saw. mengenai baiat, ada banyak definisi dari para ulama, namun maknanya sama, yaitu baiat adalah perjanjian antara umat Islam dengan penguasa muslim, yaitu imam atau khalifah, dengan konsekuensi berupa kewajiban tertentu bagi masing-masing pihak. “Umat Islam berkewajiban untuk menaati imam (khalifah), sedangkan imam (khalifah) berkewajiban mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya, yakni menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali,” jelasnya.

Ia mengemukakan, Syekh Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M) mendefinisikan baiat dalam pengertian syariahnya sebagai berikut :

اَلْبَيْعَةُ هِيَ عَقْدٌ يَتِمُّ بَيْنَ طَرَفَيْنِ اَلْإِمَامِ وَأَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَيُعْطِي الْمُسْلِمُوْنَ عَهْداً عَلىَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَيُعْطِهِمُ اْلإِمَامُ عَهْداً عَلىَ الْعَمَلِ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Baiat adalah suatu akad antara dua pihak, yaitu imam (khalifah) dan ahlul ḥalli wal ‘aqdi dari kaum Muslim [wakil-wakil umat Islam], yang dengannya kaum Muslim berjanji kepada imam/khalifah untuk mendengar dan menaati (imam/khalifah), dan imam (khalifah) berjanji kepada kaum Muslim untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.” (Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Madzāhib al-Islāmiyyah fī al-Siyāsah wa al-‘Aqā’id wa Tārīkh al-Madzāhib Al-Fiqhiyyah, Kairo: Darul Fikri Al-‘Arabi, hlm. 135).

“Jadi baiat dalam pengertian syariatnya adalah akad atau perjanjian antara dua pihak, yaitu pihak pertama, umat Islam atau wakil-wakilnya, yang sering disebut dengan istilah ahlul halli wal ‘aqdi; pihak kedua, imam (khalifah), sebagai kepala negara dari negara khilafah,” ujarnya.

Kiai Shiddiq kembali menegaskan, “Dengan adanya baiat itu, khalifah berjanji untuk menegakkan syariat Islam di tengah umat Islam secara kafah (keseluruhan) dalam segala aspek kehidupan, sedangkan umat Islam berjanji untuk menaati imam (khalifah) itu selama imam (khalifah) tidak memerintahkan sesuatu yang bersifat maksiat.”

Hukum dan Dalil Baiat

“Baiat hukumnya wajib atas seluruh kaum Muslim, dan sekaligus merupakan hak bagi setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan. Yang demikian itu dikarenakan baiat itu merupakan metode satu-satunya (al-tharīqah al-wahīdah) untuk mengangkat khalifah sebagai kepala negara dari negara Khilafah Islamiyah,” kutipnya dari kitab yang ditulis Maḥmūd ‘Abdul Majīd Al-Khālidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 106.

Dalil wajibnya baiat untuk mengangkat seorang khalifah (imam), lanjutnya, ada dua, “Pertama, hadis-hadis Nabi Muhammad saw.; kedua, ijmak sahabat (konsensus para sahabat Nabi saw.”

Adapun dalil dari hadits-hadtis Nabi saw., di antaranya sabda Rasulullah saw.:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً. رواه مسلم (1851)

Barang siapa yang mati padahal tidak ada baiat (kepada imam/khalifah, bukan kepada pemimpin/amir sebuah kelompok) di lehernya, maka dia mati adalah mati secara jahiliah (mati dengan membawa dosa, bukan mati dalam keadaan kafir). (HR Muslim, no. 1851)

Sabda Rasulullah saw.:

مَن بايَعَ إمَامًا فأعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وثَمَرَةَ قَلبِه، فَليُطِعْهُ مَا اسِتَطَاعَ، فإنْ جَاءَ آخَرُ يُنازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ. رواه مسلم (1844).

Barangsiapa yang membaiat seorang imam (khalifah), lalu dia memberikan genggaman tangannya kepadanya dan kesungguhan hatinya kepadanya, maka hendaklah dia menaati imam itu dengan sekuat kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaan imam itu, penggallah leher orang lain itu. (HR Muslim, no. 1844)

“Adapun dalil wajibnya baiat dari ijmak sahabat, terbukti dalam peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Nabi saw., para sahabat dari golongan Anshar dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk memilih pemimpin umat pengganti Rasululullah saw. Para sahabat Nabi saw. akhirnya sepakat (ijmak) untuk membaiat Abu Bakar Ash Shiddiq RA sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah saw. dalam urusan kepemimpinan umat,” sitatnya dari kitab karya Maḥmūd ‘Abdul Majīd Al-Khālidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 111.

Baiat Satu-satunya Metode Pengangkatan Khalifah

“Baiat dalam pengertian syariatnya, merupakan metode satu-satunya (al-tharīqah al-wahīdah) untuk pengangkatan khalifah (nashbul khalīfah) sebagai kepala negara khilafah, tidak ada metode yang lain,” tegas Kiai Shiddiq. 

“Inilah pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1398 H/1977 M), raḥimahullāh, dalam berbagai kitabnya,” tuturnya berdasar kitab yang ditulis Maḥmūd ‘Abdul Majīd Al-Khālidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 106; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 40; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125; ‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhāmul Ḥukm fī Al-Islām, hlm. 57.

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sebutnya, telah mengkritik 3 (tiga) metode lainnya untuk mengangkat khalifah (nashbul khalīfah), yakni 2 (dua) metode dari golongan ahlusunah, dan 1 (satu) metode dari golongan Syiah. 

“Tiga metode tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Istikhlāf al-imām min qablu, yaitu penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya; (2) Al-Qahru wa al-istīlā`, yaitu pengambilan kekuasaan secara paksa dengan senjata; (3) Nas atau wasiat, yaitu adanya nas atau wasiat dari imam sebelumnya,” urainya bersumber dari kitab karangan Imam Al-Qalqasyandi, Ma’ātsirul Ināfah fī Ma’ālim Al-Khilāfah, Beirut : ‘Alam Al-Kutub, Juz I, hlm. 39, 47, dan 58; Imam Nawawi, Rawdhat Al-Thālibīn, Beirut: Dar Ibn Hazm, Cet. I, 1423/2002, hlm. 1715-1717.

Ia mengatakan, mengenai istikhlāf al-imām min qablu, yaitu penunjukan pengganti oleh khalifah sebelumnya, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani bukanlah metode pengangkatan, melainkan sekadar pencalonan (tarsyīkh, nomination/promotion) dari khalifah sebelumnya. “Kandidat khalifah ini menjadi khalifah bukan karena penunjukan pengganti itu, melainkan karena baiat yang diberikan oleh umat setelah meninggalnya khalifah sebelumnya. Ini seperti yang terjadi di masa pembaiatan Umar bin Khaththab RA yang dicalonkan oleh Abu Bakar Shiddiq RA,” jelasnya mengutip pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 40, Bab Al-Istikhlāf aw Al-‘Ahdu.

“Mengenai al-qahru wa al-istīlā`, yakni pengambilan kekuasaan secara paksa dengan senjata, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, juga bukan metode pengangkatan khalifah, karena kalau pun terjadi baiat, pasti baiatnya terjadi dengan adanya unsur paksaan (al-ikrāh), padahal pembaiatan khalifah hakikatnya sama saja dengan akad-akad muamalah lainnya, seperti akad jual-beli, akad nikah, dan sebagainya, yang mensyaratkan adanya keridaan, dan tidak sah jika ada unsur paksaan (al-ikrāh),” beber Kiai Shiddiq.

Tetapi, ujarnya lebih lanjut, jika penguasa yang berkuasa secara de facto itu berhasil meyakinkan rakyat bahwa akan ada kemaslahatan jika dia dibaiat umat, lalu dia dibaiat oleh atas dasar keridaan tanpa ada unsur paksaan (al-ikrāh), maka baru pada saat itulah dia menjadi khalifah. Jadi dia menjadi khalifah secara resmi (de jure) menurut syariat Islam bukan saat berhasil merebut kekuasaan secara paksa, namun setelah dibaiat oleh umat berdasarkan keridaan tanpa unsur paksaan (al-ikrāh). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125; Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Ḥukm fī Al-Islām, hlm. 57, Bab Ḥukmu Al-Mutasallith).

"Adapun golongan Syiah berpendapat bahwa pengangkatan khalifah (imam) adalah dengan nas atau wasiat dari khalifah (imam) sebelumnya. Maka menurut Syiah, setelah Rasulullah saw. wafat, seharusnya yang menjadi khalifah adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA, bukan Abu Bakar Shiddiq RA, karena Syiah mengklaim bahwa terdapat nas atau wasiat dari Rasulullah saw. bahwa setelah beliau meninggal, yang menjadi Khalifah adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA," urainya.

Pendapat Syiah tersebut menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani tidak dapat diterima, karena –salah satu alasannya– justru bertentangan dengan hadis-hadis tentang baiat itu sendiri. "Adanya hadis-hadis tentang baiat, justru menjadi bukti bahwa dalam pengangkatan khalifah (nashbul khalīfah), Rasulullah saw. hanya menentukan metode pengangkatannya, yaitu baiat, tapi tidak menentukan person-nya (yaitu siapanya, Arab: al-syaksh) yang akan menjadi khalifah," bebernya menukil pendapat imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 54-95.

Baiat dalam Kondisi Tiadanya Khilafah

"Pembaiatan khalifah (imam) yang dijelaskan sebelumnya, adalah pembaiatan khalifah ketika khilafahnya sendiri masih ada atau masih eksis, yaitu ketika khalifah sebelumnya meninggal, atau ketika khalifah sebelumnya diberhentikan oleh Mahkamah Mazhalim," tutur Kiai.

Adapun ketika khilafah tidak ada sama sekali, lanjutnya lagi, seperti kondisi saat ini sejak runtuhnya khilafah di Turki tahun 1924, akibat perbuatan jahat dari Mushthofa Kamal yang murtad, maka metode-metode pengangkatan Khalifah (nashb al-khalifah) yang telah dijelaskan oleh para fukaha, tidak dapat diterapkan, karena metode-metode tersebut, seperti istikhlāf al-imām min qablu, atau al-qahru wa al-istīlā`, atau al-bai’ah (baiat) untuk mengangkat khalifah, mengasumsikan bahwa khilafahnya masih ada, bukan tidak ada sama sekali seperti kondisi dewasa ini.

"Karena itu, kondisi baru pasca-1924 tersebut memerlukan ijtihad baru agar umat Islam dapat melakukan pengangkatan khalifah (nashbul khalifah) secara syar’i, yakni benar atau sah secara syariat Islam. Poin pentingnya adalah pembaiatan khalifah (al-bai’ah) tetap menjadi satu-satunya metode untuk pengangkatan khalifah (nashbul khalifah), dengan tambahan syarat-syarat di luar pembaiatan khalifah, yakni syarat-syarat untuk sebuah negeri Islam yang hendak menegakkan khilafah dengan membaiat seorang khalifah," urainya.

Lanjut dijelaskan, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, ada 4 (empat) syarat bagi suatu negeri (al-quthr/al-balad) yang akan membaiat khalifah dalam kondisi tiadanya khilafah sama sekali. Empat syarat tersebut adalah sebagai berikut: 

Pertama, kekuasaan (sulthān) yang ada negeri tersebut, haruslah merupakan kekuasaan yang mandiri (sulthān dzāty), yang bersandar kepada kaum Muslim semata, tidak bersandar kepada negara asing (kafir) atau orang asing (kafir). 

Kedua, keamanan (al-amān) di negeri tersebut haruslah merupakan keamanan Islam, dalam arti perlindungan (al-ḥimāyah) bagi negeri tersebut, baik keamanan dalam negeri maupun kemanan luar negerinya, semuanya merupakan keamanan yang berada di tangan kaum Muslim.
 
Ketiga, negeri tersebut harus segera memulai penerapan Islam dengan penerapan yang sempurna dan menyeluruh (dalam segala aspek kehidupan) di dalam negeri, dan harus segera melakukan kegiatan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri.

Keempat, khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat baiat in’iqād, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdaliah (keutamaan), karena yang menjadi standar/patokan (al-‘ibrah) adalah syarat-syarat in’iqād. (‘Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Ḥukm fī Al-Islām, 59-60; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm, 26; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125-130).

Ia mensyarahkan, dalil untuk syarat pertama, yaitu negeri yang akan membaiat khalifah haruslah mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthān dzāty), tidak boleh kekuasaannya bersandar kepada negara atau orang kafir, adalah ayat Al-Qur`an yang telah mengharamkan adanya dominasi atau kekuasaan orang kafir atas kaum muslimin, sesuai firman Allah Swt.:

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًاࣖ

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (QS. Al-Nisā` : 141). (Lihat : Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 125).

"Dalil untuk syarat kedua, yaitu keamanan (al-amān) di negeri tersebut haruslah merupakan keamanan Islam, adalah dalil keamanan yang menjadi satu syarat dari dua syarat Dārul Islām bagi sebuah negeri Islam, yaitu : (1) menerapkan hukum-hukum Islam di negeri tersebut, dan (2) keamanan (al-amān) di negeri tersebut berada di tangan kaum Muslim," jelasnya dengan merujuk kitab Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 126; Manhaj Hizbut Tahrīr, hlm. 4.  

Dalil bahwa keamanan (al-amān) di dalam Dārul Islām harus berada di tangan kaum Muslim, antara lain riwayat dari Ibnu Hisyam dalam kitabnya Al-Shīrah Al-Nabawiyyah (1/468) dari Ibnu Ishaq, bahwa Nabi saw. bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ جَعَلَ لَكُمْ إِخْوَانًا وَدَارًا تَأْمَنُوْنَ بِهَا

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla sungguh telah menjadikan bagi kalian saudara-saudara dan negeri (dār) yang kalian akan aman di dalamnya. (Ibnu Hisyam, Al-Shīrah Al-Nabawiyyah, 1/468). (Lihat : Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 11). 

"Dalil syarat ketiga, yaitu bahwa negeri tersebut harus segera memulai penerapan Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia di luar negeri, adalah : (1) dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam untuk menerapkan syariat Islam, dan (2) dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan jihad fi sabilillah," syarahnya dengan merujuk pandangan Abdul Qadim Zallum, Nizham Al-Hukm fī Al-Islam, hlm. 15-16; Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, 148-149.

Dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, antara lain firman Allah Swt.:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ لِكُلٍّ 

Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS Al-Ma`idah : 48)

Firman Allah Swt.: 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (QS Al-Ma`idah : 44)

Dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan jihad fi sabilillah, antara lain firman Allah Swt.: 

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَࣖ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah sesuai kemampuan (mereka) dan mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum Islam). (QS. Al-Taubah : 29).

Firman Allah Swt.:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَࣖ

Diwajibkan atasmu berperang, padahal perang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah: 216)

"Dalil untuk syarat keempat, yaitu khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat baiat in’iqād, meskipun tidak memenuhi syarat-syarat afdaliah (keutamaan), secara terperinci akan diuraikan di alinea berikutnya," katanya menyitat pendapat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm, 30-36; Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 127-130)," ujarnya lebih lanjut.

Kiai Shiddiq menyebutkan bahwa ada 7 (tujuh) syarat-syarat baiat in’iqad, yaitu baiat pengangkatan khalifah, sebagai berikut:
(1) Muslim.
(2) Laki-Laki.
(3) Aqil (Berakal).
(4) Baligh (Dewasa).
(5) Adil (bukan orang fasik).
(6) Merdeka (bukan budak).
(7) Mampu. (Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Ḥukm fī Al-Islām, hlm. 50-53)

Selain syarat-syarat baiat in’iqād tersebut, ada yang disebut syarat-syarat afdaliah, atau syarat-syarat keutamaan yang sifatnya mandub (sunah), tidak wajib, bagi seorang khalifah. Misalnya, seorang khalifah itu sebaiknya orang keturunan suku Quraisy, sebaiknya seorang mujtahid, dan sebagainya. (‘Abdul Qadīm Zallūm, Nizhāmul Ḥukm fi Al-Islām, hlm. 53-54).

Kiai menerangkan dalil-dalil syar’i untuk 7 (tujuh) syarat-syarat baiat in’iqād khalifah tersebut rinciannya adalah sebagai berikut:

Pertama, seorang khalifah itu harus seorang Muslim, tidak boleh orang kafir (non-Muslim), seperti orang Yahudi, atau Nashrani, menjadi seorang khalifah. Dalilnya firman Allah Swt.:

وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًاࣖ

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (QS Al-Nisā` : 141)

Dalil lainnya bahwa khalifah harus Muslim, adalah karena khalifah itu merupakan ulil amri (pemegang kekuasaan) yang harus merupakan bagian dari orang yang beriman (minkum), sesuai firman Allah Swt.:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu (minkum). (QS Al-Nisā`: 59). (Lihat: Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 128)

Kedua, seorang khalifah itu harus seorang laki-laki, dalilnya adalah sabda Nabi saw. yang mengomentari penggantian (suksesi) Kisra, Persia, yang meninggal, lalu digantikan oleh anaknya yang perempuan:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهَمُ امْرَأَةً

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang perempuan. (HR Al-Bukhari, no. 4425)

Ketiga, seorang khalifah haruslah akil, yakni berakal. Maka tidak boleh orang yang gila menjadi khalifah. Sabda Rasulullah saw.: 

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتىَّ يَعْقِلَ

Telah diangkat pena (tidak sah dibebani taklif) dari tiga golongan; dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia mimpi basah, dari orang gila hingga berakal. (HR Abu Dawud, no. 4403)

Keempat, seorang khalifah haruslah balig, yakni dewasa. Maka tidak boleh orang yang masih anak-anak (yang umurnya kurang dari 15 tahun hijriyah) menjadi khalifah. Sabda Rasulullah saw.:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتىَّ يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتىَّ يَعْقِلَ

Telah diangkat pena (tidak sah dibebani taklif) dari tiga golongan; dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia mimpi basah, dari orang gila hingga berakal. (HR Abu Dawud, no. 4403)

Kelima, seorang khalifah haruslah orang yang adil (mempunyai sifat ‘adālah), yaitu lurus dalam menjalankan syariat agama Islam. Maka orang yang fasik, misalnya yang tidak salat lima waktu, atau yang minum minuman keras (khamar), tidak boleh diangkat menjadi khalifah.

Dalilnya adalah Allah Swt. telah mewajibkan sifat adil pada orang yang menjadi saksi (syāhid), misalnya saksi dalam akad nikah, saksi dalam jual-beli, dan sebagainya. Maka khalifah yang tugasnya lebih berat daripada seorang saksi, tentu lebih utama lagi kalau disyaratkan mempunyai sifat adil (‘adālah). Firman Allah Swt.:

وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (QS Al-Thalaq ; 2)

Keenam, seorang khalifah haruslah orang yang merdeka (bukan budak), sebab seorang budak itu statusnya mamlūk, yakni maksudnya di bawah kekuasaan orang lain (pemiliknya), sehingga dia tidak sah melakukan perbuatan hukum (al-tasharruf) sendiri. Firman Allah Swt.:

ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا عَبْدًا مَّمْلُوْكًا لَّا يَقْدِرُ عَلٰى شَيْءٍ  وَّمَنْ رَّزَقْنٰهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَّجَهْرًاۗ 

Allah membuat perumpamaan seorang hamba sahaya (budak) di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu, dan seorang yang Kami beri rezeki yang baik, lalu dia menginfakkan sebagian rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan. (QS An-Nahl : 75)

Ketujuh, seorang khalifah haruslah orang yang mampu (qādir), yakni maksudnya mampu untuk mengemban tugas-tugasnya sebagai khalifah dalam menjalankan roda pemerintahan khilafah. Adanya kemampuan ini wajib hukumnya karena merupakan konsekuensi dari akad baiat itu sendiri (muqtadhā al-bai’at). Jadi orang yang lemah atau tidak mampu (‘ājiz/dhaīf), baik lemah secara fisik (kesehatan) atau lemah secara pemahaman Islam, tidak boleh menjadi khalifah, yang tugasnya sangat berat memimpin umat Islam seluruh dunia dalam segala aspek kehidupan.

Lalu Kiai Shiddiq menyebutkan dalil yang mewajibkan kemampuan pada khalifah, atau yang tidak membenarkan sifat lemah pada khalifah, antara lain hadis-hadis berikut ini:

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قُلتُ: يَا رسُولَ الله، أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ القِيَامَةِ خِزيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيهِ فِيهَا

Dari Abu Dzarr RA, dia berkata,”Aku berkata,’Wahai Rasulullah, mengapa Engkau tidak mengangkatku menjadi pemimpin?” Maka Rasulullah saw. kemudian menepukkan tangannya ke pundakku seraya berkata,’Hai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah, padahal kepemimpinan ini adalah amanah, dan amanah itu pada Hari Kiamat akan menjadi suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil kepemimpinan itu dengan menjalankan haknya, dan dengan memenuhi kewajibannya. (HR Muslim, no 1825)

Dalil lainnya yang mewajibkan kemampuan pada Khalifah, adalah hadits sebagai berikut:

عَن أبي هُرَيرةَ رَضِيَ الله عَنه قال رَسولُ اللهِ فإذا ضُيِّعَتِ الأمانةُ فانتَظِرِ السَّاعةَ، قال: كيفَ إضاعَتُها؟ قال إذا وسِّدَ الأمرُ إلى غَيرِ أهلِه فانتَظِرِ السَّاعةَ 

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah datangnya Hari Kiamat.” Seseorang bertanya, ”Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Rasulullah saw. bersabda, ”Jika suatu perkara diserahkan kepada orang yang tidak mampu melaksanakannya, tunggulah datangnya Hari Kiamat.” (HR Al-Bukhari, no. 6496). (Lihat Muqaddimat Al-Dustūr, Juz I, hlm. 130)

"Demikianlah rincian dalil-dalil syar’i untuk tujuh syarat baiat in’iqād khalifah; yaitu seorang khalifah yang dibaiat wajib memenuhi tujuh syarat; yaitu: Muslim, laki-laki, berakal, dewasa, adil, merdeka, dan mampu," tegasnya.

Namun wajib diingat, lanjutnya, bahwa ada tiga syarat lainnya yang harus dipenuhi untuk sebuah negeri (al-quthr/al-balad), sebagai syarat tambahan yang sifatnya wajib, sebagaimana sudah diuraikan di atas. "Ini karena pengangkatan khalifah (nashbul khalīfah) dewasa ini pascahancurnya Khilafah Utsmaniyyah di Turki tahun 1924, terjadi dalam situasi ketika khilafah tidak ada sama sekali di muka bumi. Jadi, metode dan syarat pengangkatan khalifah yang dipakai dalam kondisi seperti ini, tidak dapat lagi mengamalkan penjelasan para fukaha mengenai pengangkatan khalifah (nashbul khalīfah) yang asumsinya khilafahnya masih ada," tandasnya.     

Analisis Peluang Suriah Menjadi Khilafah

"Tentunya kita patut bersyukur dengan jatuhnya Basyar Al-Asad yang kafir, pada hari Ahad tanggal 8 Desember 2024 yang lalu, setelah kota Damaskus diambil alih satu koalisi pasukan perlawanan Islam yang dipimpin oleh kelompok HTS (Hai’at Tahrīr Al-Syām) di bawah komando Abu Muhammad Al-Jaulani. Alhamdulillāh, jazāhumullahu khairal jazā`," kata Kiai Shiddiq.   

Terkait apakah ada peluangnya tegaknya khilafah di Suriah, yang ditandai dengan adanya pembaiatan khalifah sebagai pemimpin negara khilafah? Kiai Shiddiq menjawab, "Ada peluang untuk itu, terlepas dari besar kecilnya peluang tegaknya khilafah di Suriah saat ini," ucapnya.

"Faktor-faktor yang menguatkan peluang itu, ada. Di antaranya, negara-negara yang selama ini menjadi pendukung setia Suriah, yaitu Iran dan Rusia, sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun faktor-faktor yang melemahkan peluang tegaknya khilafah juga ada dan sangat perlu diperhatikan, utamanya ada 2 (dua) faktor, yaitu :

(1) Belum kuatnya keinginan HTS untuk menyingkirkan sistem sekuler yang ada dan menggantinya dengan sistem khilafah guna menerapkan yyariat Islam secara kaffah, dan

(2) HTS masih diragukan akan dapat melepaskan diri dari pengaruh Turki yang selama ini menyokong HTS, karena Turki sesungguhnya adalah proxy dari Amerika Serikat yang menjadi sutradara sejati politik Timur Tengah. Amerika Serikat jelas mempunyai kepentingan sangat besar di Timur Tengah untuk melindungi “Israel”," urainya.

Andaikata pun HTS benar-benar memproklamirkan tegaknya khilafah di Suriah, tentu masih perlu menguji lagi apakah sudah benar-benar memenuhi empat syaratnya, baik tiga syarat untuk negeri Suriahnya itu sendiri, maupun satu syarat untuk orang yang dibaiat menjadi khalifah, apakah memenuhi tujuh syarat bai’at in’iqād untuk khalifah yang dibaiat. "Adanya empat syarat untuk sebuah negeri yang akan membaiat khalifah dalam tulisan kami ini, kiranya dapat dijadikan patokan (dhawābith) untuk menganalisis khilafah yang diumumkan tegak di sana, apakah khilafah yang sejati, yaitu Khilāfah ‘alā Minhāj Al-Nubuwwah, dengan indikator empat syarat yang sudah kami jelaskan di muka, ataukah hanya khilafah palsu alias khilafah abal-abal, seperti khilafah ala ISIS, yang tidak memenuhi empat syarat syar’i tersebut," sebutnya.  

"Namun, nampaknya tidaklah mungkin Amerika Serikat membiarkan Suriah berubah sistem dari sistem sekuler menjadi sistem khilafah, karena khilafah yang tegak di Suriah jelas akan menjadi ancaman langsung bagi “Israel” yang berbatasan dengan Suriah," sebutnya.

Meski demikian, ada peluang juga Amerika Serikat akan mengizinkan berdirinya khilafah di Suriah, dengan syarat-syarat khusus yang ditetapkan oleh Amerika Serikat (boleh jadi via Turki), sebagai jalan tengah antara keinginan HTS untuk menegakkan khilafah (andai kata benar HTS punya keinginan kuat untuk menegakkan khilafah), dengan kepentingan Amerika Serikat untuk melindungi Israel. Jalan tengahnya adalah, silakan Khilafah berdiri di Suriah, tapi Khilafah tidak boleh menyerang Israel. Boleh jadi ke arah demikian skenario yang akan dimainkan oleh Amerika Serikat.

"Atau boleh jadi, Amerika Serikat akan mengarahkan perubahan di Suriah ini dengan cara lama, sebagaimana perubahan yang terjadi sebelumnya di Timur Tengah saat “musim semi Arab” yang berawal tahun 2012 yang lalu. Saat itu terjadi memang perubahan di Tunisia, Libia, dan Mesir. Namun perubahan yang terjadi ternyata hanyalah sebatas pergantian rezim, bukan perubahan sistem. Sistemnya tetap sekuler, bukan berubah dari sistem republik-demokrasi yang sekuler ala Barat yang kafir menjadi sistem khilafah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.," pungkasnya.

Penutup

"Berdasarkan uraian sebelumnnya, jelaslah umat Islam di samping turut bergembira dan bersyukur dengan jatuhnya rezim Basyar Al-Asad, berterima kasih kepada kelompok HTS (Hai’at Tahrīr Al-Syām) di bawah komando Abu Muhammad Al-Jaulani, juga wajib terus mewaspadai dan mengawal ke arah mana Abu Muhammad Al-Jaulani membawa HTS dalam perubahan di Suriah ini. Caranya dengan terus memberikan dorongan dan desakan lewat berbagai sarana dan cara, seperti menemuinya lewat kontak khusus, atau membuat opini umum yang kuat di tengah masyarakat Suriah dan masyarakat internasional, agar HTS menerima cita-cita suci tegaknya Khilafah Islam di Suriah. Umat Islam perlu menyampaikan kepada komandan HTS Abu Muhammad Al-Jaulani agar tidak tertipu dan terkecoh dengan Amerika Serikat dan proxy-proxy-nya, yang dapat dipastikan akan mengarahkan perubahan Suriah hanya sebatas perubahan rezim saja, tidak sampai pada perubahan sistem dari sistem sekuler menjadi sistem khilafah," ulasnya.

Kiai Shiddiq mengajak untuk belajar dari “musim semi Arab” tahun 2012 yang hanya mengganti rezim, bukan mengganti sistem. Jangan sampai umat Islam tertipu dan terkecoh untuk kedua kalinya, atau seperti perumpamaan (al-amtsāl) dari baginda Nabi Muhammad saw., jangan sampai kita “disengat hewan berbisa di lubang yang sama untuk kedua kalinya”.   

"Mari kita ingat selalu hadis Nabi saw. berikut ini: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. telah bersabda,”Janganlah seorang yang beriman disengat binatang yang berbisa di lubang yang sama sebanyak dua kali.” (HR Al-Bukhari, no. 6133). Wallāhu a’lam," tutupnya[] Rere

 

Opini

×
Berita Terbaru Update