Tintasiyasi.id.com -- Meningkatnya jumlah perempuan Indonesia yang memilih gaya hidup Child Free. Fenomena child free di Indonesia semakin menarik perhatian, khususnya terkait keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak.
Anggota Komnas Perempuan, Maria Ulfah Ansor, menjelaskan setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk memiliki anak.
Menurutnya, hal ini merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati oleh semua pihak.
“Terserah mereka apakah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, itu bagian dari hak pribadi yang harus dihormati,” ujarnya dalam wawancara bersama Pro 3 RRI, Jumat (15/11/2024).
Ia juga menekankan bahwa pilihan hidup seperti child free tidak boleh dipandang negatif. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa keputusan tersebut adalah bagian dari kebebasan setiap individu dalam memilih gaya hidup.
“Sebaiknya memang pemerintah dan masyarakat harus menghargai keputusan ini. Karena ini sebagai bagian dari hak dasar setiap individu,” katanya.
Komnas Perempuan, sebagai lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan, berkomitmen untuk memberikan literasi pentingnya menghargai pilihan hidup setiap orang. Ini termasuk memberikan edukasi tentang hak untuk memilih, baik itu memiliki anak atau tidak.
“Kami Komnas Perempuan akan berkomitmen memberikan literasi kepada masyarakat. Mengenai keputusan memilih untuk tidak memiliki anak bukanlah pilihan yang salah,” ujarnya (rri.co.id 15/11/2024).
Tak hanya Komnas Perempuan, perhatian dan komentar lain juga datang dari Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dampak yang kemungkinan bakal dirasakan pasangan bila mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak secara suka rela (childfree).
“Keputusan untuk childfree dapat memberikan dampak tertentu pada kesehatan reproduksi wanita, baik positif maupun negatif, tergantung pada kondisi fisik, mental, dan gaya hidup yang dijalani,” kata Ngabila kepada media Antara di Jakarta, Senin.
Kepala Seksi Pelayanan Medik dan Keperawatan RSUD Tamansari itu menyebut keputusan pasangan untuk childfree sebenarnya tidak melulu memiliki dampak buruk. Di sisi lain, keputusan ini membantu mengurangi risiko komplikasi kehamilan dan persalinan
(antaranews.com 18/11/2024).
Adapun fakta yang tak kalah mengejutkan adalah penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia yang merilis laporan periode 2023 terkait kasus childfree. BPS melakukan survei kepada kelompok perempuan dan ditemukan 71 ribu perempuan berusia 15 hingga 49 tahun yang tidak ingin memiliki anak.
"Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi," demikian laporan BPS, dikutip detikcom Selasa (12/11/2024).
Angka childfree pada perempuan di Indonesia terpantau meningkat dalam empat tahun terakhir. Meski prevalensinya sempat menurun di awal pandemi COVID-19 yakni pada angka 6,3 hingga 6,5, tren kembali menanjak di tahun-tahun pasca pandemi. BPS menilai, kebijakan work from home tampaknya bersinggungan dengan keputusan perempuan memilih childfree. (health.detik.com 12/11/2024).
Child Free Penyakit Mental dan Ancaman bagi Regenerasi Negeri
Fenomena banyaknya perempuan-perempuan Indonesia yang mengadopsi gaya hidup child free adalah bukti bahwa produk pemikiran kaum liberal dan sekuler berhasil menginfeksi para perempuan di negeri mayoritas muslim ini. Bahkan Beberapa diantaranya menjadi corong untuk mengkampanyekan gaya hidup mandul ini.
Tak hanya itu kaum yang dibranding sebagai kaum intelektual ini juga berhasil mendapatkan simpati dan dukungan dari pemerintah setempat dengan dalih Hak Asasi Manusia. Padahal jelas-jelas child free adalah ancaman untuk regenerasi di negeri ini. Bukan tak mungkin krisis populasi manusia akan menimpa negeri jika fenomena ini terus diabaikan.
Bukankah sudah hukum alam bahwa setiap manusia ada masa nya dan setiap masa ada manusia nya?, artinya kehidupan manusia itu butuh adanya regenerasi untuk merefresh peradaban yang sudah usang dan mengurus generasi sebelumnya yang sudah lelah dan menua.
Disadari ataupun tidak kemunculan fenomena ini juga melibatkan tiga elemen penting dalam kehidupan yaitu individu, masyarakat dan negara. Tidak sehatnya sistem sebuah negara memberikan tekanan pada kehidupan sosial masyarakat sehingga tatanan sosial menjadi rusak, kemudian memicu terganggunya kesehatan mental individu sehingga memunculkan ketakutan dan keraguan pada individu untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai orang tua.
Ditambah dengan masuknya faham liberal yang mempromosikan gaya hidup mewah dan hedon sehingga individu-individu yang labil merasa dapat maklumat baru dan ikut-ikutan lalu merasa nyaman dengan dunia sendiri tanpa merasa terganggu oleh kebisingan buah hati. Dari kondisi di atas tadi bisa dikatakan bahwa para pelaku gaya hidup child free sakit secara psikologis sehingga butuh diobati dan didampingi.
Sayangnya pemerintah gagal faham menyikapi permasalahan gerakan pemandulan berjamaah ini sehingga mereka justru memilih memberi simpati dan dukungan. Padahal sejatinya langkah yang mereka ambil ini adalah boomerang yang akan membuat child free mendapatkan panggung yang lebih besar untuk mendapatkan validasi dan eksistensi di tengah masyarakat.
Kedudukan Anak Dalam Islam
Adalah Islam agama samawi yang aturannya dirancang langsung oleh Sang Maha Pencipta, memahami kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dan lainnya. Sehingga dalam Islam, keberadaan buah hati memiliki kedudukan yang istimewa.
Kehadirannya adalah kebahagiaan untuk orang tua, keluarga dan orang-orang di sekitarnya. " Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa." (QS. asy-Syura: 49-50)
Adapun beberapa kedudukan anak dalam Islam sebagai berikut :
1. Anak adalah Amanah dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena anak adalah titipan dan anugerah yang diberikan kepada orang-orang yang Allah Subhanahu Wa Ta'ala percaya mampu diberikan amanah merawatnya. Sekaligus karena ini adalah sebuah amanah yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
2. Anak sebagai jalan ujian dan cobaan. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an yang artinya "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar " (QS. At-Taghabun: 15).
3. Anak adalah anugerah dan nikmat. Karena kehadirannya memberi keberkahan dan warna dalam kehidupan rumah tangga
4. Ladang pahala dan pelestari pahala kedua orang tua. Sebagaimana kasih sayang Allah yang tidak pernah putus pada hamba-Nya, tidak pernah ada satu perbuatan pun yang luput dari pengawasan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Meskipun demikian dengan proses kelahiran, menyusui, merawat dan mendidik.
Proses panjang ini akan menjadi ladang pahala di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadist yang masyhur, " Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda:
"Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan kepadanya (HR. Muslim).
5. Anak adalah makhluk yang independen. Artinya Islam memandang seorang anak adalah orang yang merdeka dan bebas, bukan budak dari orangtuanya. Mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai makhluk Allah di muka bumi.
Karena istimewanya kedudukan seorang anak, Islam memberikan perhatian khusus dengan cara memberikan edukasi dan pendampingan kepada pasangan yang hendak menikah, memastikan dan berupaya memelihara kesehatan mental individu dengan menciptakan suasana tatanan sosial masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, bahagia secara lahir dan batin sehingga mampu menjaga hubungan emosional setiap warga sehat secara mental dan tidak mudah terpengaruh oleh faham kehidupan kaum liberal barat.[]
Oleh: Ummu Alana
(Aktivis Muslimah)