TintaSiyasi.id -- Musim hujan atau ketika curah hujan deras dibeberapa wilayah di Indonesia sering tergenang banjir, baik di wilayah perkotaan maupun pinggiran kota.
Seperti yang terjadi di Semarang baru-baru ini, hampir di semua sudut kota banjir menjadi pemandangan ketika hujan deras datang. Yang tidak kalah mengherankan, daerah Semarang atas seperti Tembalang, tidak luput dari banjir.
Padahal wilayah tersebut adalah dataran tinggi, tetapi mengapa kini menjadi langganan banjir?
Banyak faktor yang menyebabkan banjir, seperti orang-orang yang membuang sampah di sungai sehingga menyebabkan sungai dangkal akhirnya meluap airnya ketika terjadi hujan deras, kemudian hilangnya daerah resapan air, yang membuat air tidak mengalir semestinya.
Banyaknya pembangunan jor-joran di daerah Tembalang, seperti adanya apartemen, bukan cuma satu, namun ada tiga, meski yang satu mangkrak, kemudian, adanya bangunan besar dari kampus ternama, selain itu banyaknya hunian kos yang dibangun ditengah kota. Bahkan kini, kebun singkong, kunyit, diubah menjadi perumahan baru, cafe, mall. tempat kos. Bisa dibayangkan jika hujan deras datang tentulah banjir ada dimana-mana.
Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan? Tentu saja rakyat. Rakyat sepertinya hanya bisa pasrah, menerima takdir, dan lainnya. Tetapi enggan berpikir bahwasanya banjir datang bukan karena curah hujan yang tinggi, tetapi karena ruang hidup terbuka telah diubah menjadi gedung-gedung pencakar langit.
Manusia hanya memikirkan keuntungan, perkara kerusakan lingkungan bukan urusan mereka, miris memang dengan pola pikir seperti itu. Itu baru Tembalang yang notabene baru beberapa tahun diubah menjadi wilayah metropolitan kini tergenang banjir, lalu apa kabar wilayah Semarang yang lainnya? Banjir seakan-akan menjadi sahabat dimusim penghujan, bukan saja banjir karena luapan sungai, namun juga banjir rob, di daerah sekitar Genuk. Setiap tahunnya tanah di daerah tersebut mengalami penurunan, sehingga mudah sekali terkena banjir.
Inilah realita kehidupan di sistem kapitalisme, maunya untung, namun harus merusak alam. Tata kelola perkotaan yang dikelola secara kapitalis nyatanya membawa kesengsaraan, sudah saatnya tata perkotaan diatur dengan syariat Islam.
Islam bukan hanya ibadah ritual namun sebuah mabda yang mengatur kehidupan, baik sosial, hukum, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Lalu bagaimana Islam mengatur pengelolaan tata kota?
Dilansir dari Sultanate Institute, Islam mengenal konsep tata kota dalam membangun peradabannya. Konsep tata kota dalam Islam ini memiliki makna yang menyeluruh, yang meliputi sistem pertahanan, jalanan kota, fasilitas umum, hingga sistem sosial politik. Selain itu, dalam mengatur masyarakat, Islam juga meletakkan strategi urbannya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber syariah.
Sistem Tata Kota Islam
Masih dilansir dari Sultanate Institute, Ibnu Ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik menjelaskan tentang enam syarat dalam memilih lokasi kota. Syarat-syarat tersebut adalah sumber daya air tawar yang mencukupi, pasokan bahan makanan, lingkungan dan iklim yang bagus, dekat dengan padang pengembalaan dan pasokan kayu bakar, membentengi pemukiman dari musuh dan pengacau, dan membangun tembok keliling untuk melindungi penduduknya.
Lokasi kota yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, kemudian dibangun berdasarkan sistem tata kota Islam. Dalam membangun kota ini, Islam mengatur tentang penataan bangunan kota. Terdapat sejumlah bangunan wajib yang dibangun, yang menjadi pondasi penting pembangunan kota.
Seperti yang dimuat dalam Ahkam Al-Bina, bangunan-bangunan penting penopang kehidupan kota menjadi standar sistem tata kota Islam. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya adalah masjid, ribath atau mushola, benteng, tembok, jembatan, terowongan air atau yang sering disebut kanal, serta bendungan.
Selain itu dianjurkan pula untuk dibangun menara adzan, pasar, tempat tinggal serta kawasan pertokoan. Kemudian sisanya diserahkan kepada para penduduk untuk membangun rumahnya (kawasan pemukiman).
Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute