Tintasiyasi.id.com -- Wacana terkini, pemerintah akan memberi bantuan sosial (bansos), dengan menyasar masyarakat kelas menengah yang terdampak dengan adanya kenaikan Pajak Perambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada Januari 2025 mendatang.
Menteri Sosial Saefullah Yusuf membeberkan, bahwa pemberian bansos ini sedang dalam tahap pendataan oleh Badan Statistik Pemerintah (BPS) (https://katadata.co.id, 2/12/24).
Dalam waktu bersamaan, melansir dari VIVA.co.id Pada Senin, (16/12/24), pemerintah juga memutuskan akan memberikan diskon 50 persen untuk pengguna listrik, selama 2 bulan. Diskon ini menyasar masyarakat kelas menengah untuk pengguna daya listrik dari 450 volt ampere (VA) sampai 2.200 VA. Dengan harapan mampu meredam dari dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan PPN.
Kenaikan PPN adalah sebuah kepastian, karena memang tertuang dalam kebijakan Undang Undang perihal Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, dan pastinya berlaku selama demokrasi ini dijadikan sebagai cara pandang hidup.
Pada hakikatnya, pemasukan APBN negeri ini hampir 80 persen bersumber dari pajak, sedangkan 20 persen lainnya dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) termasuk pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, minyak bumi, perkebunan, perikanan, pertanian, dan lain sebagainya.
Sedikit informasi, sebelum adanya kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen, kemiskinan di negeri ini sudah menggurita. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, jumlah rakyat yang miskin 25,22 juta jiwa, dengan prosentase 9,03 persen. Sedangkan, jumlah rakyat rentan miskin di tahun 2024 sekitar 67,69 juta jiwa.
Ketika berpikir secara lebih mendalam, keberadaan diberlakukan pajak ini sudah jadi beban untuk rakyat. Pasalnya, dengan adanya data yang dirilis BPS, menunjukkan bahwasanya kebutuhan pokok rakyat banyak yang belum terpenuhi.
Bagaimana mungkin rakyat mampu membayar pajak, sedangkan realitasnya saja untuk makan susah. Maraknya, fenomena rakyat menjadikan kolong jembatan untuk tempat hunian, tempat sampah menjadi restoran cepat saji mereka, dan menjadi pengemis sebagai profesi, bukan hal yang tabu.
Anehnya, di tengah-tengah wabah kemiskinan, dan kebijakan pungutan pajak ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang tersohor akan sumber daya alam yang limpah ruah.
Ironis, ternyata rakyat Indonesia menyandang gelar hidup di negeri kaya akan SDA, namun hanya kebagian sisi gelapnya saja, rakyat yang berhadapan langsung dengan kerusakan alam, polusi udara, kemiskinan, digusur, perampasan lahan, bahkan ketika memberontak gas air mata menemani kesedihan.
Lebih menyedihkan lagi, ketika pengelolaan SDA dilimpahkan kepada pihak swasta, bahkan banyak sekali swasta asing yang bercokol menancapkan hegemoninya di dalam negeri. Rakyat tidak dipercaya mengelola, dengan dalih sdm rendah.
Mengapa Tidak Mengubah Cara Pandang Saja?
Ketika SDM rakyat rendah, mengapa tidak meningkatkan sarana dan prasarana dunia pendidikan. Dari fasilitas penunjang sampai sosok pendidik yang mumpuni.
Realitas dunia pendidikan sekarang, permasalahnya berkubang pada kurikulum, belum lagi dengan budaya pungutan liar, korupsi, bullying senior, dan lain sebagainya.
Ironis, ketika SDM rakyat diklaim rendah, namun sejalan dengan buramnya dunia pendidikan negeri ini. Bukankah, ketika pengelolaan sdm dilimpahkan kepada negara dan sepenuhnya dikelola negara, semua keuntungan masuk ke negara?
SDM sudah kita punya, tinggal fokus olah sdm berintegritas dan kualitas tinggi sehingga mampu diberdayakan negara dengan akad kerja. Kemudian harapan besar bisa naik level itu lebih nyata, yaitu menjadikan APBN sepenuhnya dari anggararan Penerimaan Negara Nukan Pajak (PNBP), sehingga rakyat tidak dibebani dengan pajak.
Menyoal dengan adanya bansos, sejatinya memang kewajiban negara untuh hadir membantu rakyat apabila terdapat rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, dengan alasan tidak ada pemasukan atau pengangguran, bahkan tidak mampu mencari nafkah karena sakit, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk subsidi listrik, seharusnya tidak ada subsidi listrik, karena listrik itu merupakan fasilitas umum yang harus didapatkan oleh setiap warga secara cuma-cuma. Sehingga, subsidi listrik harusnya berlaku seumur hidup, bukan hanya dua bulan semata, karena tujuan negara memberikan subsidi listrik untuk meredam dari dampak ditimbulkan pajak, akan terealisasi kepada rakyat yang memiliki penghasilan cukup dan tetap, sedangkan merujuk pada data BPS, tidak semua rakyat itu memiliki pendapatan cukup. Seharusnya, langkah awal adalah meniadakan pajak, kemudian mengoptimalkan sdm masyarakat.
Semua tidak akan terealisasi apabila kapitalisme masih bercokol di negeri ini, karena kapitalisme akan membuat orang memiliki kerangka berpikir, meraup keuntungan sebesar-besarnya, dan mengoptimalkan semua daya dan upaya. Standarnya bukan cukup, namun untung!
Ironis dan kritis, dalam cara pandang kapitalisme, tidak melibatkan peran Sang Pencipta untuk membuat kebijakan. Semua disetting sesuai kepentingan, dan narasi jangan bawa-bawa agama di dalam kehidupan ini sudah menjamur. Artinya, mustahil pajak akan ditiadakan di negeri ini, jika kapitalisme masih bercokol di negeri ini, karena dalam aturan main kapitalisme, semua aspek bisa dijadikan bisnis, dengan realitas koruptor menggurita.
Sejatinya, ini merupakan problema yang kompleks dan sistemik, sehingga harus dicabut dari akar masalahnya, dengan melalukan perubahan secara total dan menyeluruh.
Bukankah, selama ini kita taat kepada aturan manusia? Aturan yang kapan pun bisa berubah dan diubah sesuai kepentingan, sudah saatnya bertransformasi ke aturan Sang Pencipta.
Aturan Sang Pencipta, yang sanga relevan dan sempurna, ialah syariat Islam. Dibuktikan ketika Islam memimpin dunia, kurang lebih sekitar 1400 tahun lamanya, mengatur lebih dari satu entitas agama, dan menyandarkan aturan kepasa syariat Islam. Dalam dunia ekonomi, Islam memiliki sistem ekonomi Islam, yang mengatur sangat detail dan sempurna.
Dalam konteks ini, negara Islam tidak melakukan pungutan pajak, terkecuali ketika baitul maal (lembaga pengelolaan keuangan negara) sedang mengalami defisit. Pungutan pajak dalam negara Islam (dharibah) tidak bersifat tetap dan tidak untuk seluruh warga. Melainkan hanya untuk orang-orang kaya saja, dan bersifat sementara.
Kemudian, untuk pengelolaan SDM dilimpahkan kepada negara, karena sdm merupakan harta milik umum, sehingga manfaatnya dikembalikan untuk rakyat sepenuhnya.
Sekarang, waktu yang tepat untuk melakukan reformasi secara keseluruhan, dari sistem thogut ke sistem Islam. Wallahu'alam Bishshowwab []
Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., (Aktivis Muslimah)