Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Amerika akan Mainkan Aktor Regionalnya Kendalikan Proses Perubahan di Suriah

Minggu, 15 Desember 2024 | 14:13 WIB Last Updated 2024-12-15T07:14:05Z
TintaSiyasi.id -- Menanggapi jatuhnya rezim Bashar Al Assad di Suriah, Direktur Forum on Islamic World Studies Farid Wadjdi mengungkapkan bahwa Amerika tidak akan membiarkan berjalan begitu saja, tetapi akan berusahan mendendalikan perubahan di suriah dengan memainlan aktor regionalnya.

"Amerika tidak membiarkan ini berjalan begitu saja. Maka Amerika kemudian berusaha mengendalikan proses perubahan di Suriah. Maka apa yang kemudian dilakukan Amerika? Amerika memainkan aktor regionalnya," ujarnya di kanal YouTube Khilafah News, Assad is Gone, Pengamat Bongkar Pengendali Krisis Suriah, Senin (09/12/2024).

Hal ini cukup beralasan, kata Farid, karena Amerika tidak punya cukup energi yang besar sekarang ini untuk memback-up penuh perang dalam suatu negara. Maka Amerika menggunakan aktor regional dalam hal ini adalah Turki.

"Maka bisa kita lihat sebagian besar pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam hal ini adalah milisi-milisi yang di back up oleh Turki. Meskipun ada juga milisi Kurdi yang bersebrangan dengan Turki. Tetapi semua itu dibelakangnya ada Amerika Serikat," tegasnya.

Menurutnya, Amerika Serikat adalah negara yang sangat concern (khawatir) sejak awal ketika terjadi pergolakan Suriah yang tidak bisa dilepaskan dari Arab spring atau musim semi Arab. Amerika itu awalnya berupaya mengganti rezim Bashar Al Assad dengan oposisi yang dibentuknya. Tetapi tampaknya oposisi ini tidak diterima oleh rakyat Suriah yang menginginkan penerapan syariat Islam. Secara de facto di lapangan para mujahidin yang lebih menginginkan Islam, lebih mendapatkan simpati dari masyarakat.

Politik Dua Kaki

Ia mengatakan, apa yang terjadi di Suriah, amat dikhawatirkan oleh Amerika Serikat. Maka Amerika Serikat yang belum melihat ada pengganti yang pas untuk Bashar Al Assad yang tetap bisa dikendalikan oleh AS kemudian melakukan politik dua kaki. Satu sisi kelihatan mendukung perubahan tetapi sisi lain tetap mempertahankan rezim Bashar Al Assad.

"Untuk itu apa yang dilakukan Amerika, Amerika membiarkan Iran dan milisi Iran dari Lebanon Selatan yang dikenal dengan Hizbullah untuk memback-up rezim Bashar," tegasnya.

Ternyata itu tidak cukup, ungkap dia, Amerika kemudian membiarkan Rusia untuk mendukung rezim Bashar Al Assad. Perlu dicatat masuknya Rusia dalam konflik Suriah tersebut tidak bisa dilepaskan dari pertemuan Putin dengan Obama waktu itu.

"Dan serangan Rusia pertama kali itu terjadi setelah pertemuan itu. Tentu bukan tanpa maksud Amerika membiarkan Rusia, Amerika menginginkan Rusia mem-backup rezim Bashar Al Assad selama tidak ada pengganti rezim Bashar Al Assad," tuturnya.

Disamping itu juga Rusia tidak bisa membackup penuh tampaknya karena memiliki agenda yang merepotkan mereka yaitu terkait dengan krisis Ukraina. Farid menegaskan ketika konflik Suriah terus berjalan, akhirnya cara itu tidak cukup. Maka Amerika kemudian menggerakkan apa yang disebut ISIS, masuk dari negara Irak. Ini kemudian menimbulkan pergolakan internal di kalangan para Mujahidin.

"Akhirnya ketika rezim Bashar Al Assad belakangan kembali menguat maka Amerika menetapkan untuk mempertahankan Bashar Al Assad," tegasnya.

Namun, Farid mengungkap, Bashar Al Assad tampaknya tidak bisa menyelesaikan persoalan-persoalan di Suriah, tidak bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat Suriah. Terutama di kalangan militer yang selama ini mendukung Bashar Al Assad. Di kalangan militer atau para tentara tidak mendapatkan apa yang namanya dukungan yang layak atau gaji yang layak. Ini yang menyebabkan banyak militer yang melakukan disersi. 

"Perlu kita catat ketika serangan ini terjadi banyak tentara-tentara Bashar Al Assad yang meninggalkan senjatanya demikian saja," imbuhnya.[] Heni

Opini

×
Berita Terbaru Update