Tintasiyasi.id.com -- Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan, Kementeriannya akan mengembangkan kurikulum pendidikan berbasis cinta di Madrasah. Kurikulum yang menanamkan nilai-nilai cinta dan toleransi.
Madrasah memiliki peran strategis sebagai benteng bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan global. Maka seluruh tanah air akan menjadi protektor atas segala tantangan di masa mendatang.
Menag menegaskan, semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan cinta kasih, bukan kekerasan. Pendidikan berbasis cinta diharapkan bisa mempererat hubungan antar umat beragama dan memupuk kedamaian. Menurut Menag, tantangan ke depan bagaimana mengkonsolidasikan ajaran agama kepada masyarakat secara mendalam (www.citrasumsel.com, 29/11/2024).
Pertanyaannya, mampukah kurikulum yang diramu kementrian agama tersebut menciptakan kedamaian, serta menjadi solusi atas berbagai permasalahan yang mendera bangsa?
Moderasi Beragama
Kurikulum berbasis cinta tidak akan lepas dari rangkaian program kementerian agama sebelumnya, yakni moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara beragama dijalan tengah, tidak terlalu ekstrim dan tidak juga liberal.
Moderasi beragama dianggap sebagai solusi dari kekhawatiran terjadinya perpecahan ditengah masyarakat yang plural. Maka sikap harus toleran terhadap pemeluk agama lain senantiasa digaungkan.
Namun sayang, sikap toleransi yang dibangun kebablasan, bahkan menjurus pada sinkretisme, yakni mencampuradukkan ajaran agama. Toleransi yang benar adalah menghormati dan membiarkan umat lain melaksankan ibadahnya, dan tidak mengganggunya.
Islam mengakui adanya keberagaman (pluralitas) dan tidak ada paksaan dalam masuk Islam. Namun, sikap menghargai yang dikembangkan dalam kurikulum cinta lebih pada pengakuan semua agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih (pluralisme).
Padahal standar baik buruk, benar salah harusnya dikembalikan pada kacamata akidah Islam. Bukan konsep moderasi beragama ala barat, yang memang bertujuan menjauhkan umat dari ajaran agamanya.
Menurut KH Muhyiddin Junaedi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, moderasi beragama namanya indah, namun merusak. Menurut beliau, moderasi beragama disalah gunakan untuk menciptakan rasa ketakutan dan menciptakan opini bahwa orang yang ingin berislam kaffah adalah manusia-manusia yang radikal, anti moderasi, anti peradaban, dan anti modernisasi (media-umat.info, 10/11/2021).
Menurut cendekiawan Ustaz Ismail Yusanto, moderasi beragama (moderasi Islam) sebenarnya pesanan musuh-musuh Islam (Barat) untuk memperlemah umat Islam.
Barat menyadari ada geliat kebangkitan Umat Islam untuk mengembalikan peradaban dan kejayaan Islam. Hal ini merupakan ancaman bagi peradaban Barat. Moderasi beragama sejatinya proyek Barat untuk menghalangi kebangkitan Islam.
Wajib Berislam Kaffah bukan Islam Moderat
Islam menyeru orang yang beriman agar masuk Islam secara keseluruhan (muslim kaffah) bukan menjadi muslim moderat (Q.S Al Baqarah : 208). Maka yang diperlukan siswa adalah kurikulum yang mengajarkan pemahaman Islam yang menyeluruh, bukan moderasi beragama.
Orang yang moderat dalam beragama akan memandang Islam dengan tidak menyeluruh, dan akan mudah melakukan pelanggaran atau kemaksiatan. Dengan kata lain akan menjadi muslim sekuler karena memahami Islam hanya mengatur urusan ibadah ritual semata, sedangkan urusan kehidupan lepas dari aturan agama. Oleh karena itu moderasi beragama justru menggerus identitas generasi muslim.
Tanpa penguatan terhadap pemahaman Islam maka orang akan cenderung terasa berat melakukan ketaatan dan mudah melakukan pelanggaran syariat. Dengan demikian kerusakan akan terus merajalela.
Sekulerisasi pendidikan akan semakin meningkatkan problematika siswa yang hari ini sudah luar biasa kompleknya. Kasus pergaulan bebas, bunuh diri, bullying, krisis adab, tawuran hingga pembunuhan akan semakin meningkat.
Khatimah
Islam menuntut seorang muslim beragama secara kaffah atau menyeluruh, bukan Islam yang moderat. Artinya Islam harus diterapkan secara menyeluruh untuk mengatur kehidupan. Meski tidak dinyatakan secara langsung, mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka agama yang dikhawatirkan menjadi sumber masalah jika dipahami dan diterapkan sepenuhnya adalah Islam.
Faktanya, Islam jauh dari segala tuduhan tersebut sebab Islam adalah agama yang diturunkan Allah yang Maha Sempurna. Islam agama yang lengkap dan sempurna, jika diterapkan secara menyeluruh (kaffah) akan mendatangkan kemajuan dan kegemilangan peradaban.
Sejarah telah membuktikan bahwa penerapan Islam secara kaffah selama 13 abad dalam naungan Khilafah telah berhasil menyatukan berbagai perbedaan agama, suku, bangsa, bahasa, budaya dan adat istiadat dalam kehidupan yang harmonis, tenteram, damai dan sejahtera. Islam mampu mewujudkan perdamaian dan kedamaian dalam keberagaman. Wallahu 'alam bishshawwab.[]
Oleh: Ida Nurchayati
(Aktivis Muslimah)